Senin, 26 April 2010

Kejahatan Berat dan Hukum Humaniter

Oleh: Harkristuti Harkrisnowo

Pendahuluan
Dalam keadaan perang atau situasi darurat umum (istilah yang juga dikenal dalam berbagai konvensi international), dimungkinkan adanya pembatasan penikmatan HAM. Kondisi yang dimaksudkan adalah "in time of public emergency with threatens the life of a nation, to the extent strictly required by the exigencies of the situation…."

Konflik bersenjata, di manapun di dunia ini, selalu membawa korban; mulai dari tingkat individu, komunitas, sampai ke tingkat nasional. Sebut saja beberapa peristiwa, misal ; konflik bersenjata di Aceh, perselisihan antar warga di Ambon, di Poso, dan konflik bersenjata pasca tragedi Gedung WTC (World Trade Centre) dan Pentagon. Ironisnya, dari berbagai peristiwa tersebut, selain mengorbankan jutaan jiwa, korbannya bukan hanya militer/pasukan atau angkatan bersenjata yang terlibat langsung dalam konflik. Akan tetapi, rakyat atau masyarakat sipil yang tidak berdosa yang justru menerima akibat lebih tragis.

Berdasarkan pengalaman yang dialami banyak negara di berbagai kurun waktu dan belahan dunia. Maka, tercetuslah dasar-dasar hukum humaniter yang bertujuan melindungi dan membatasi akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa tersebut

Prinsip Hukum Humaniter
Hukum humaniter merupakan sejumlah prinsip dasar dan aturan mengenai pembatasan penggunaan kekerasan dalam situasi konflik bersenjata. Tidak seperti perangkat hukum lainnya, hukum humaniter mempunyai sejarah yang belum cukup panjang namun sangat signifikan. Tujuan Hukum Humaniter yang dirumuskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah sebagai berikut:

  1. untuk melindungi orang yang tidak terlibat atau tidak lagi terlibat dalam suatu permusuhan (hostilities), seperti orang-orang yang terluka, yang terdampar dari kapal, tawanan perang, dan orang-orang sipil;
  2. untuk membatasi akibat kekerasan dalam peperangan dalam rangka mencapai tujuan terjadinya konflik tersebut.

Pada dasarnya, masyarakat international mengakui bahwa peperangan antar Negara atau dalam suatu Negara dalam banyak kasus tidak dapat dihindari. Kemudian, sudah pasti dalam situasi perang atau konflik bersenjata tersebut akan jatuh korban, bukan hanya dari pihak-pihak yang bermusuhan. Akan tetapi, orang-orang yang tidak terlibat secara langsung dengan situasi tersebut juga ikut menjadi korban. Dengan demikian semua orang harus tetap dilindungi HAM-nya, baik dalam keadaan damai maupun perang.

Kelahiran hukum humaniter dapat dikatakan dimulai dengan kepedulian dan keprihatinan Henry Dunant. Ia adalah satu dari ribuan prajurit Prancis dan Austria yang terluka setelah perang di Solferino (Italia Utara) pada tahun 1859. Dalam buku yang ditulisnya, "Un Souvenir de Solferino", Dunant menghimbau dua hal, pertama, agar dicipatkan suatu lembaga international yang khusus menangani orang-orang sakit dan terluka, apapun kebangsaan, agama maupun rasnya. Kedua, negara-negara di dunia dihimbau untuk membuat kesepakatan yang mengakui keberadaan lembaga semacam ini, termasuk memberi jaminan agar orang-orang sakit dan luka lebih diperhatikan.

Hal yang paling menyenangkan adalah bahwa Dunant bukan sekedar menghimbau belaka, ia bersama beberapa orang temannya juga beraksi dengan mendirikan Inter-national Committee for Aid to the Wounded - yang kemudian diberi nama International Committee of the Red Cross. Komite ini pada akhirnya mendapat tanggapan positif dari sejumlah Negara dan selanjutnya menghasilkan konvensi Jenewa yang pertama, yang diadopsi oleh 16 Negara Eropa pada tahun 1864, dan Konvensi ini dinamakan Convention for the Amelioration of Condition of the Wounded in Armies in the Field.

Tidak dapat diingkari bahwasanya konvensi ini menjadi simbol peletakkan batu pertama dari Hukum Humaniter Internasional, dengan mengutamakan prinsip-prinsip universalitas dan toleransi dalam hal ras, kebangsaan dan agama. Tragedi kemanusiaan yang ditimbulkan oleh perang Saudara di Spanyol (1936-1939) dan Perang Dunia Kedua (1939-1945), menggugah Liga Bangsa-Bangsa untuk melanjutkan penetapan sejumlah konvensi berikutnya. Konvensi Kedua, berkenaan dengan anggota tentara yang terluka, sakit, terdampar di lautan; Konvensi Ketiga tentang Tawanan Perang, dan Konvensi Keempat, tentang korban-korban masyarakat sipil. Kesemua konvensi ini mempunyai kesamaan, yakni adanya penetapan mengenai aturan minimum yang harus dipatuhi pada saat terjadinya konflik bersenjata secara internal.

Dari uraian di atas, nampak bahwasanya konflik bersenjata yang dimaksudkan dapat terjadi secara internal maupun inetrnasional. Pasal 3 Konvensi Jenewa tahun 1949 meletakkan dasar Hukum Humaniter dengan merumuskan bahwa dalam masa konflik bersenjata. Maka, orang-orang yang dilindugi oleh konvensi ini harus "in all circumstances be treated humanely, without any adverse distinction founded on race, color, religion or faith, sex, birth, or wealth, or other similar criteria…" padahal sebelum tahun 1949, perlindungan hukum hanya diberikan pada personel militer.

Perangkat internasional yang paling signifikan dalam konteks ini mencakup tiga golongan besar, yakni:

  1. Law of Geneva, yakni Konvensi-konvensi dan protokol-protokol Internasional yang ditetapkan di bawah lingkup Komite Palang Merah Intersional atau ICRC, di mana perlindungan bagi korban konflik menjadi perhatian utama;
  2. Law of the Hague, ketentuan ini dilandasi oleh hasil Konferensi Perdamaian yang diselenggarakan di Ibukota Belanda pada tahun 1899 dan 1907, yang utamanya menyangkut sarana dan metode perang yang diperkenankan;
  3. Upaya-upaya PBB untuk memastikan agar dalam situasi konflik bersenjata, HAM tetap dihormati, dan sejumlah senjata dibatasi pemakaiannya.

Protokol I dari konvensi Jenewa memberikan perlindungan bagi orang-orang sipil yang jatuh ke tangan musuh, sedangkan Protokol II memuat ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan korban konflik bersenjata internal (bukan inter-national). Indonesia telah meratifikasi Konvensi Jenewa beserta dengan 185 Negara lainnya (menurut data tahun 1977). Konvensi Jenewa ini diterapkan melalui kerjasama a Protecting Power, atau Negara ketiga yang menjadi pihak netral dalam konflik tersebut, di bawah pengawasan ICRC.

Dalam kaitannya dengan kondisi di Indonesia saat ini, yang paling relevan adalah konflik bersenjata internal yang sampai detik ini masih terjadi. Situasi konflik internal yang tengah terjadi di Aceh misalnya (atau Ambon?) yang sering disebut sebagai perang saudara ini lebih kompleks sifatnya, dan memerlukan penanganan yang arif.

Internal disturbances dirumuskan sebagai berikut:
"…..situations, in which there is no international armed conflict as such, but there exists a confrontation within the country, characterized by a certain seriousness or duration, and which involves acts of violence from the spontaneous generation of acts of revolt to the struggle between more or less organized groups the authorities in power call upon extensive police force or even armed forces to restore internal order the high number of victims had made necessary the applications of minimum of humanitarian rules…"

Dengan demikian unsur-unsur yang harus diperhatikan dalam situasi seperti di atas adalah:
· Intensitas dan lamanya konflik
· Perilaku dengan kekerasan yang terjadi
· Dilakukan secara spontan ataukah terorganisir
· Kekuatan kepolisian yang besar
· Kekuatan angkatan bersenjata.

Dalam Geneva Convention III, tahun 1949, pasal 3 ayat (1) dicantumkan bahwa:
"…Person taking no active part in the hostilities shall in all circum stance be treated humanely without any adverse distinctions….."

Angkatan bersenjata dan kepolisian dilarang untuk melakukan tindakan-tindakan di bawah ini terhadap orang-orang dalam kelompok tersebut:
1. Kekerasan terhadap tubuh maupun nyawa
2. Menyandera orang
3. Melakukan tindakan yang melecehkan martabat, menghina dan merendahkan orang
4. Menjatuhkan dan melaksanakan pidana tanpa proses peradilan yang menjamin hak-hak seseorang.

Dalam pasal 4 Protocol II to The Geneva Convention, 1977 dirumuskan bahwa:
All persons who do not take part or have ceased to take part in hostilities whether or not their liberty has been restricted, are entitled to respect to their persons, honors, and conviction and religious practices, to be treated humanely without any adverse distinction.

Perilaku yang dilarang terhadap orang-orang dalam kelompok tersebut mencakup:

  • Melakukan kekerasan terhadap nyawa, kesehatan dan kesejahteraan mental maupun jasmani orang Collective Punishment;
  • Menyandera orang;
  • Melakukan terorisme;
  • Melecehkan harkat dan martabat seseorang terutama perilaku yang merendahkan dan menghina, perkosaan, pemaksaan prostitusi, dan semua bentuk serangan terhadap kesusilaan.
  • Melakukan perbudakan dan perdagangan budak dalam segala bentuknya.
  • Melakukan penjarahan.
  • Mengancam untuk melakukan perilaku-perilaku di atas.

Bentuk-Bentuk Kejahatan Berat
Tindak-tindak pidana yang termasuk dalam pelanggaran berat atau grave breaches dalam Konvensi Jenewa mencakup:

  1. Willful killing;
    Willful Killing
    merupakan tindakan pembunuhan dengan sengaja yang ekuivalen dengan pasal 340 dan 338 KUHP.
  2. Torture or in human treatment, including biological experiment;
    Penyiksaan atau perlakuan yang tidak manusiawi memang tidak dijumpai secara eksplisit dalam KUHP, akan tetapi menurut Konvesi Menentang Penyiksaan yang telah diratifikasi RI tindakan ini mencakup perilaku yang cukup luas, tidak hanya berkenaan dengan penderitaan jasmani belaka, yakni:
    "… Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada sese-orang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau me-maksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada bentuk dikriminasi apapun, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbul-kan oleh, atas hasutan, dengan persetuju-an, atau sepengetahuan pejabat publik…"
  3. Willfully causing suffering or serious injury to body are health;
    Dengan sengaja mengakibatkan penderitaan atau luka yang serius pada kesehatan atau tubuh seseorang.Ketentuan ini dapat memakai pasal 351 dst dari KUHP yang berkenaan dengan penganiayaan.
  4. Extensive destruction or appropriation of property
    Perusakan atau penghancuran atau perampasan harta benda seseorang. Pasal 406 KUHP merupakan salah satu contoh ketentuan domestik yang dapat digunakan sehubungan dengan perilaku ini.
  5. Compelling a prisoner of war or protected person to serve in the armed force of hostile power,
    Memaksa seorang tawanan perang atau orang yang melindungi (oleh hukum) untuk bekerja bagi angkatan bersenjata pihak musuh
  6. Willfully depriving a prisoner of war of protected person of the right to a fair and regular trial.
    Dengan sengaja menghalang-halangi tawanan perang untuk mempergunakan haknya untuk memperoleh peradilan yang bebas dan tidak memihak.

Pelaku Kejahatan Berat
Pertanggungjawaban pidana atas kejahatan berat yang diurai di sini ini dapat diletakkan pada orang-orang yang:

  1. memenuhi semua unsur tindak pidana,
  2. memerintahkan dilakukannya tindakan ter-sebut, termasuk dalam bentuk percobaan,
  3. gagal mencegah atau menindak perilaku kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya, sedangkan si atasan mengetahui bahwa bawahannya tengah atau akan melakukan kejahatan tersebut,
  4. dengan sengaja membantu dilakukannya kejahatan tersebut, baik secara langsung maupun secara substansial, termasuk menye-diakan sarana untuk penyele-saian kejahatan tersebut,
  5. langsung berpartisipasi dalam merencanakan atau menye-pakati keja-hatan tersebut, dan kejahatan itu dilakukan,
  6. secara langsung dan umum menghasut seseorang untuk melakukan kejahatan terse-but, dan kejahatan itu dilakukan,
  7. mencoba melakukan keja-hatan itu dengan memulai perbuatan, namun tidak selesai karena hal-hal yang ada di luar dirinya.

Melihat uraian di atas, untuk Indonesia pasal 55 (tentang penyertaan tindak pidana), pasal 56 (tentang pembantuan tindak pidana), dan Pasal 53 (tentang percobaan tindak pidana), sudah jelas akan menjadi acuan apabila kasus-kasus semacam ini diproses dalam peradilan di Indonesia.

Pemidanaan
Dasar-dasar pemidanaan yang berlaku secara umum juga berlaku dalam hukum huma-niter. Satu hal yang sangat penting adalah penegasan asas legalitas, bahwasanya seseorang tidak dapat dihukum atas se-suatu perbuatan yang belum dirumuskan sebagai suatu tin-dak pidana dalam Undang-Undang Negara yang bersang-kutan. Hukum Acara Pidana yang dipergunakan dalam proses peradilan bagi kasus-kasus se-macam ini tentu saja mendapat perhatian yang sangat besar.

Pasal 6 Protokol Tambahan pada Konvensi Jenewa 1949 misalnya, memberikan rambu-rambu bagi penuntutan dan penghukuman terhadap tindak pidana yang berkaitan dengan situasi konflik bersenjata. Pidana tidak dapat dijatuhkan dan dilaksanakan terhadap sese-orang yang dibuktikan bersalah dalam proses peradilan yang menjamin adanya kebebasan dan ketidakberpihakan penga-dilan. Secara khusus ditentuka pula bahwa:

  1. Prosedur yang diterapkan harus memberikan hak pada terdakwa untuk diberitahu dengan segera mengenai tindak pidana yang dituduh-kan padanya, beserta se-jumlah hak dan sarana untuk melakukan pembelaan, baik sebelum maupun selama persidangan.
  2. Tak seorangpun dapat dija-tuhi pidana atas tindak pida-na yang dilakukannya kecuali berdasarkan pertanggungja-waban pidana secara pribadi.
  3. Tak seorangpun dapat di-nyatakan bersalah atas suatu tindak pidana yang pada saat dilakukannya perbuatan ter-sebut tidak dirumuskan oleh hukum sebagai suatu tindak pidana; tidak dibenarkan menjatuhkan pidana yang lebih berat daripada sanksi pi-dana yang dirumuskan dalam hukum yang ada pada saat dilakukannya perbuatan ter-sebut; apabila setelah terjadi-nya perbuatan dilakukan perubahan perundang-un-dangan yang menjatuhkan sanksi yang lebih ringan. Maka, terdakwa harus dijatuhi pidana yang lebih ringan tersebut;
  4. Setiap orang yang dituduh melakukan tindak pidana harus dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahan-nya menurut hukum;
  5. Setiap orang yang diadili berhak untuk menghadiri persidangannya;
  6. Tak seorangpun dapat di-paksa untuk memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya sendiri atau untuk mengakui kesalahannya.

Bagian selanjutnya dari pasal ini menetukan sejumlah ketentuan lain yakni:

  1. Bahwa setiap orang yang dijatuhi pidana harus diberi-tahukan mengenai upaya-upaya hukum yang dapat dilakukannya,
  2. Pidana mati tidak boleh di-jatuhkan pada orang-orang yang berusia di bawah 18 ta-hun, wanita hamil, dan perempuan yang mempunyai anak kecil.
  3. Pada akhir masa konflik atau permusuhan, pihak penguasa harus berupaya untuk mem-berikan amnesti pada orang-orang yang terlibat dalam konflik bersenjata, atau orang-orang yang ditahan/dipenjara berdasarkan alas-an-alasan yang berkenaan dengan konflik bersenjata.

Kewajiban untuk melakukan proses peradilan yang bebas dan tidak memihak merupakan suatu ketentuan internasional yang telah dirumuskan dalam berbagai konvensi internasional. Hak-hak yang wajib diberikan pada seorang tersangka/terdakwa telah jelas dalam ketentuan Internasional Covenant on Civil and Political Rights, terutama pasal 9 sampai dengan Pasal 15, yang pada dasarnya berisikan asas-asas antara lain:

  1. Praduga tak bersalah (pre-sumption of innocence)
  2. Persamaan di muka hukum (equality before the law)
  3. Asas legalitas (principle of legality)
  4. Ne bis in idem (double jeopardy)
  5. Asas tidak berlaku surut (non retroactivity), kecuali apabila ada perubahan UU yang meringankannya.

Apabila yang bersangkutan dijatuhi pidana penjara. Maka, yang harus diperhatikan adalah Basic Principles for the Treatment of Prisoners, beserta pula Body of Principles for the Protection of all Persons under any form of Detention or Imprisonment.

Sumber : Komisi Hukum Nasional

Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum Nasional Indonesia

Oleh: Lies Sulistianingsih, SH

1. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi banyak mempengaruhi kehidupan bangsa - bangsa di dunia. Sejalan dengan perkembangan kehidupan bangsa – bangsa di dunia, semakin berkembang pula permasalahan – permasalahan dalam masyarakat internasional dan menyebabkan terjadinya perubahan – perubahan dalam Hukum Internasional.

2. Hukum Internasional merupakan sistem aturan yang digunakan untuk mengatur negara yang merdeka dan berdaulat (1).
Hukum Internasionall terdiri atas sekumpulan hukum, yang sebagian besar terdiri dari prinsip – prinsip dan aturan tingkah laku yang mengikat negara – negara dan oleh karenanya ditaati dalam hubungan antara negara, yang juga meliputi:

  • Peraturan – peraturan hukum tentang pelaksanaan funsi lembaga – lembaga dan organisasi – organisasi Internasional serta hubungannya antara negara – negara dan individu – individu.
  • Peraturan – peraturan hukum tertentu tentang individu – individu dengan kesatuan – kesatuan bukan negara, sepanjang hak – hak dan kewajiban individu dengan kesatuan kesatuan tersebut merupakan masalah kerjasama internasional.

3. Pada dasarnya berklakunya Hukum Internasional didasarkan pada 2 prinsip :

  • Pacta Sunt Servanda, yaitu perjanjian harus dan hanya ditaati oleh pihak – pihak yang membuat perjanjian.
  • Primat Hukum Internasional , Yaitu perjanjian internasional mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari undang – undang Nasional Suatu negara perserta perjanjian.

Namun dalam perkembangan hubungan Internasional dewasa ini terdapat ajaran (doktrin) Tentang hubungan Hukum Internasional, yang dikenal sebagai Doktrin Inkoporasi.
Doktrin ini menganggap bahwa perjanjian Internasional adalah bagian dari Hukum Nasional yang mengikat, dan berlaku secara langsung setelah penanda tanganan, kecuali perjanjian Internasional yang memerlukan persetujuan lembaga legislatif, dan baru dapat mengikat setelah diatur dalam peraturan perundang – undangan nasional suatu negara. Doktrin ini dianut oleh Inggris dan negara negara Anglo Saxon lainnya.
Amerika juga menganut doktrin ini, namun membedakannya dalam:

  • Perjanjian Internasional yang berlaku dengan sendirinya (Self Execuing Treaty), dan
  • Perjanjian Internasional yang tidak berlaku dengan sendirinya (Non Self Executing Treaty)

Perjanjian – perjanjian Internasional yang tidak bertentangan dengan konstitusi Amerika dan termasuk dalam Self Executing Treaty, akan langsung berlaku sebagai Hukum Nasionalnya. Sedangkan Perjanjian Internasional yang Non Self Executing baru dapat mengikat pengadilan di Amerika setelah adanya peraturan perundang – undangan yang menjadikannya berlaku sebagai Hukum Nasional.

Perbedaan antara self executing dan non self executing Treaty tidak berlaku untuk perjanjian – perjanjian yang termasuk golongan executive agreement karena tidak memerlukan persetujuan Badan Legislatif (Parlemen), dan akan dapat langsung berlaku.

Dalam Sistem hukum kontinental di Jerman dan Perancis, suatu perjanjian internasional baru dapat berlaku apabila sesuai dengan ketentuan hukum nasional tentang Pengesahan Perjanjian, dan diumumkan secara resmi. Indonesia menganut sistem hukum kontinental.

4. Menurut Pasal 38 (1) Piagam Makamah Internasional, Perjanjian Internasional merupakan salah satu sumber hukum Internasional. perjanjian Internasional yang diakui oleh pasal 38 (1) Piagam Makamah Internasional hanya perjanjian – perjanjian yang dapar membuat hukum (Law Making Treaties).

5. Pada Tahun 1969, negara – negara telah menandatangani Konvensi Wina tentang perjanjian Internasional, yang mulai berlaku tahun 1980. Pasal 2 Konvensi Wina 1980 mendefinisikan Perjanjian Internaional sebagai persetujuan (agreement) antara dua negara atau lebih, dengan tujuan mengadakan hubungan timbal balik menurut Hukum Internasional.

6. Bentuk dan istilah perjanjian Internasional antara lain adalah :

  • Konvensi / Covenant
    Istilah ini digunakan untuk perjanjian – perjanjian resmi yang bersifat multilateral, termasuk perjanjian perjanjian yang dibuat oleh lembaga dan organisasi internasional, baik yang berada si bawah PBB maupun yang independen (berdiri sendiri).
  • Protokol
    • Bisa termasuk tambahan suatu kovensi yang berisi ketentuan – ketentuan tambahan yang tidak dimasukkan dalam kovensi, atau pembatasan – pembatasan oleh negara penandatangan.
    • Protokol juga dapat berupa alat tambahan bagi kovensi, tetapi sifat dan pelaksanaannya bebas, dan tidak perlu diratifikasi.
    • Ada juga protokol sebagai perjanjian yang sama sekali berdiri sendiri (independen).
  • Persetujuan (agreement)
    Persetujuan (agreement) biasanya bersifat kurang resmi dibanding perjanjian atau kovensi. Umumnya persetujuan (agreement) digunakan untuk persetujuan – persetujuan yang ruang lingkupnya lebih sempit atau yang sifatnya lebih tehnis dan administratif, dan pihak – pihak yang terlibat lebih sedikit dibandingkan kovensi biasa.
    Persetujuan (agreement) cukup ditandatangani oleh wakil – wakil departemen pemerintahan dan tidak perlu ratifikasi.
  • Arrangement
    Hampir sama dengan persetujuan (agreement), umumnya digunakan untuk hal – hal yang sifatnya mengatur dan temporer.
  • Statuta
    Bisa berupa himpunan peraturan – peraturan penting tentang pelaksanaan funsi lembaga Internasional
    Statuta juga bisa berupa himpunan peraturan – peraturan yang di bentuk bedasarkan persetujuan internasional tentang pelaksanaan fungsi – fungsi suatu institusi (lembaga) khusus dibawah pengawasan lembaga / badan – badan internasional.
    Dapat juga statuta sebagai alat tambahan suatu kovensi yang menetapkan peraturan – peraturan yang akan di terapkan.
  • Deklarasi
    Istilah ini dapat berarti :
    - Perjanjian yang sebenarnya
    - Dokumen tidak resmi, yang dilampirkan pada suatu perjanjian
    - Persetujuan tidak resmi tentang hal yang kurang penting
    - Resolusi oleh Konferensi Diplomatik
  • Mutual Legal Assistance
    Perjanjian yang diadakan antara dua negara atau lebih dalam rangka memberikan bantuan yang bersifat untuk saling membantu.

7. Ratifikasi suatu kovensi atau perjanjian Internasional lainnya hanya dilakukan oleh Kepala Negara / Kepala Pemerintahan.
Pasal 14 Kovensi Wina 1980 mengatur tentang kapan ratifikasi memerlukan persetujuan agar dapat mengikat.
Kewenangan untuk menerima atau menolak ratifikasi melekat pada kedaulatan negara.
Hukum Internasional tidak mewajibkan suatu negara untuk meratifikasi. Suatu perjanjian. Namun bila suatu negara telah meratifikasi Perjanjian Internasional maka negara tersebut akan terikat oleh Perjanjian Internasional tersebut, Sebagai konsekuensi negara yang telah meratifikasi perjanjian internasional tersebut akan terikat dan tunduk pada perjanjian internasional yang telah ditanda tangani, selama materi atau subtansi dalam perjanjian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan Nasional.Kecuali dalam perjanjian bilateral, diperlukan ratifikasi.

Dalam sistem Hukum Nasional kita, ratifikasi Perjanjian Internasional diatur dalam Undang – Undang No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

8. Sistem Hukum nasional
Sebagai Negara merdeka yang berdaulat Indonesia telah aktif berperan dalam pergaulan hubungan Internasional dan mengadakan perjanjian-perjanjian Internasional dengan negara-negara lain, baik yang bersifat bilateral maupun multilateral.

Dalam melaksanakan perjanjian-perjanjian Internasional tersebut, Indonesia menganut prinsip Primat Hukum Nasional dalam arti bahwa Hukum Nasional mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada hukum Internasional.
Dasar kewenangan presiden dalam pembuatan Perjanjian Internasional diatur dalam pasal 11 Undang-Undang dasar 1945 mengatur tentang perjanjian Internasional sebagai berikut:
(1). Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan Negara lain.
(2). Presiden dalam membuat perjanjian Internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, dan/ atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3). Ketentuan lebih lanjut tentang perjajian Internasional diatur dalam Undang-undang.

Berdasarkan pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, telah diterbitkan surat Presiden nomor : 2826/Hk tentang Pengesahan Perjanjian Internasional yang berisi ketentuan - ketentuan sebagai berikut:

  • Bila Perjanjian Internasional tersebut mengatur perjajian tentang masalah – masalah yang terkait dengan politik dan kebijaksanaan Negara Republik Indonesia, Diratifikasi dengan undang – undang.
  • Dalam hal Perjanjian Internasional tersebut mengatur tentang masalah-masalah yang bersifat tehnis dan segera, diratifikasi dengan keputusan Presiden.
    Pada tahun 2000 surat Presiden nomor: 2826 tersebut dihapus dengan juga adanya Undang-undang nomor: 24/2000 tentang Perjanjian Internasional yang juga memuat ketentuan-ketentuan sebagaimana telah diatur dalam Surat Presiden nomor: 2826.

Perjanjian Internasional tidak termasuk dalam susunan jenis peraturan perundang-undangan diatur dalam Pasal 7 ayat (1) sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar 1945.
b. Undang-Undang / Peraturan pengganti Undang-undang (Perpu).
c. Peraturan Pemerintah (PP).
d. Peraturan Presiden.
e. Peraturan Daerah
f. Peraturan Desa

Tentang kedudukan Perjanjian Internasional dalam sistem peraturan perundang-undang Nasional, meskipun dalam Undang-Undang nomor: 10 tahun 2004 tentang Peraturan, Perundang-undangan tidak masuk sebagai jenis peraturan Perundang-undangan, namun perjanjian Internasional juga diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan mengikat sebagaimana diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (pasal 7 ayat 4 undang-undang nomor 10 tahun 2004 tentang Perjajian Internasional).

9. Berdasarkan sistem Hukum Nasional kita, maka dengan meratifikasi suatu konvensi baik regional maupun multilateral, perjanjian bilateral, negara sudah terikat untuk tunduk pada ketentuan – ketentuan dalam konvensi atau perjanjian tersebut. Suatu konvensi atau perjanjian internasional yang telah diratifikasi, baru dapat dilaksanakan apabila telah dimasukkan dalam suatu undang – undang yang dikenal sebagai Undang – Undang tentang Pengesahan Ratifikasi Perjanjian Internasional.

Dalam sistem Hukum Nasional Indonesia, meskipun suatu perjanjian Internasional telah diratifikasi dengan Undang – undang tentang Pengesahan Ratifikasi, tetapi perjanjian belum dapat dilaksanakan apabila tidak sesuai dengan isi ketentuan peraturan perundang – undangan Nasional yang mengatur tentang materi yang sama dengan yang ditentukan dalam perjanjian yang diratifikasikan tersebut.

10. Kesimpulan
Perjanjian Internasional yang telah diratifikasikan dengan peraturan perundang – undangan Nasional, diakui keberadaannya sebagai bagian dari sistem Hukum Nasional dan mempunyai kekuasaan hukum yang mengikat, setelah diatur dengan undang Undang – undang Ratifikasi suatu Perjanjian Internasional. Namun dalam hal ada perbedaan isi ketentuan suatu Undang – Undang Nasional dengan isi Perjanjian Internasional yang telah Diratifikasi, atau belum ada peraturan pelaksanaan Undang – undang Ratifikasi suatu perjanjian, maka Perjanjian Internasional Tersebut tidak dapat dilaksanakan.

Sabtu, 24 April 2010

Konsep Konsep Sosiologi Hukum

Konsep-Konsep Sosiologi Hukum terdiri dari :

I. Hukum Berfungsi Sebagai Sarana Social Control (Pengendalian Sosial)

Hukum sebagai sosiol control : kepastian hukum à UU yang dilakukan benar benar terlaksana oleh penguasa, penegak hukum. Fungsinya masalah penginterasian tampak menonjol, dengan terjadinya perubahan perubahan pada faktor tersebut diatas, hukum harus menjalankan usahanya sedemikian rupa sehingga konflik konflik serta kepincangan kepincangan yang mungkin timbul tidak mengganggu ketertiban serta produktivitas masyarakat

Pengendalian sosial adalah upaya untuk mewujudkan kondisi seimbang di dalam masyarakat, yang bertujuan terciptanya suatu keadaan yang serasi antara stabilitas dan perubahan di dalam masyarakat.

Maksudnya adalah hukum sebagai alat memelihara ketertiban dan pencapaian keadilan. Pengendalian sosial mencakup semua kekuatan-kekuatan yang menciptakan serta memelihara ikatan sosial. Hukum merupakan sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari perbuatan dan ancaman yang membahayakan dirinya dan harta bendanya.

II. Hukum Berfungsi Sebagai Sarana Social Engineering

Hukum dapat bersifat sosial engineering : merupakan fungsi hukum dalam pengertian konservatif, fungsi tersebut diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk dalam masyarakat yang sedang mengalami pergolakan dan pembangunan. Mencakup semua kekuatan yang menciptakan serta memelihara ikatan sosial yang menganut teori imperative tentang fungsi hukum.

Hal ini dimaksudkan dalam rangka memperkenalkan lembaga-lembaga hukum modern untuk mengubah alam pikiran masyarakat yang selama ini tidak mengenalnya, sebagai konsekuensi Negara sedang membangun, yang kaitannya menuju modernisasi dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Maksudnya adalah hukum sebagai sarana pembaharuan dalam masyarakat. Hukum dapat berperan dalam mengubah pola pemikiran masyarakat dari pola pemikiran yang tradisional ke dalam pola pemikiran yang rasional/modern.

III. Wibawa Hukum

Melemahnya wibawa hukum menurut O. Notohamidjoyo, diantaranya karena hukum tidak memperoleh dukungan yang semestinya dari norma-norma sosial bukan hukum, norma-norma hukum belum sesuai dengan norma-norma sosial yang bukan hukum, tidak ada kesadaran hukum dan kesadaran norma yang semestinya, pejabat-pejabat hukum yang tidak sadar akan kewajibannya untuk memelihara hukum Negara, adanya kekuasaan dan wewenang, ada paradigma hubungan timbal balik antara gejala sosial lainnya dengan hukum.

Dalam artian sebagai berikut :

  • hukum tidak memperoleh dukungan yang semestinya dari norma norma sosial bukan hukum, melemahnya value sistem dalam masyarakat pada umumnya sebagai akibat dari modernisasi
  • norma norma hukum tidak batau belum sesuai dengan norma norma sosial yang bukan hukum, hukum yang dibentuk terlalu progresif sehingga dirasakan sebagai norma norma asing bagi rakyat
  • tidak ada kesadaran hukum dan kesadaran norma yang semestinya
  • pejabat pejabat hukum tidak sadar akan kewajibannya yang mulia untuk memelihara hukum Negara, lalu mengkorupsikan, merusak hukum Negara itu
  • pemerintah pusat dan daerah berusaha membongkar hukum yang berlaku untuk madsud maksud tertentu. Dapat terjadi bahwa pemerintah yang seharusnya mendukung hukum sebagai kewajibannya, malah menghianati hkum yang berlaku

IV. Ciri-ciri Sistem Hukum Modern

Sistem hukum yang modern haruslah merupakan hukum yang baik, dalam arti hukum tersebut harus mencerminkan rasa keadilan bagi para pihak yang terlibat/diatur oleh hukum tersebut. Hukum tersebut harus sesuai dengan kondisi masyarakat yang diaturnya. Hukum tersebut harus dibuat sesuai dengan prosedur yang ditentukan. Hukum yang baik harus dapat dimengerti atau dipahami oleh para pihak yang diaturnya.

Ciri ciri hukum modern margalante : jujur, tepat waktu, efisiensi, orientasi, kemasa depan, produktif, tidak status symbol 91

  • terdiri dari peraturan yang isi dan pelaksanaannya seragam
  • sistem hukum yang transaksional dimana hak dan kewajiban dalam perjanjian tidak memandang usia, kelas, agama dan jenis kelamin
  • bersifat universal dan dilaksanakan secara umum
  • adanya hirarkis yang tegas
  • melaksanakan hukum sesuai dengan prosedur
  • rasional
  • dilaksanakan oleh orang yang berpengalaman
  • spesialisasi dan diadakan penghubung diantara bagian bagian
  • hukum mudah berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat
  • penegak hukum dan lembaga pelaksana hukum adalah lembaga kenegaraan, artinya Negara memonopoli kekuasaan
  • perbedaan yang tegas diantara 3 lembaga Negara ( eksekutif – legislative – yudicatif )

V. Suatu kenyataan bahwa hukum hanya diperlukan untuk mereka yang stratanya rendah sedangkan strata tinggi seolah kebal hukum.

Hingga saat ini banyak pelaku kejahatan kelas atas atau yang disebut kejahatan Kerah Putih (White Colour Crime) yang dihukum sangat ringan bahkan tidak sedikit yang divonis bebas, karena mereka memegang kekuasaan dan wewenang yang dapat mengintervensi para penegak hukum, hal ini berakibat bahwa mereka yang berstrata tinggi seolah kebal hukum dan sebaliknya hukum hanya dipergunakan untuk mereka yang berstrata rendah.

VI. Efektifitas Hukum dan Peranan Sanksi

Merupakan naskah yang berisikan sorotan sosial hukum terhadap peranan sanksi dalam proses efektivikasi hukum. Efektivikasi hukum merupakan proses yang bertujuan agar supaya hukum berlaku efektif. Keadaan tersebut dapat ditinjau atas dasar beberapa tolok ukur efektivitas, diantaranya : hukumnya, penegak hukum, fasilitas, kesadaran hukum masyarakat dan budaya hukum masyarakat.

Cara mengatasinya :

  1. eksekutif harus banyak membentuk hukum dan selalu mengupdate,
  2. para penegak hukumnya harus betul betul menjalankan tugas kewajiban sesuai dengan hukum hukum yang berlaku dan tidak boleh pandang bulu
  3. lembaga MPR sesuai dengan ketentuan UUD 1945 melakukan pengawan terhadap kerja lembaga lembaga Negara.

VI. Efektifitas Hukum

Efektifitas dari hukum Suryono :

  • hukumnya à memenuhi syarat yuridis, sosiologis, filosofis
  • penegak hukumnya à betul betul telah melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana digariskan oleh hukum yang berlaku
  • fasilitasnya à prasarana yang mendukung dalam proses penegakan hukumnya
  • kesadaran hukum masyarakat à warga masyarakat bilamana terjadi seorang warga tertabrak di daerah Pamanukan dan Kapetakan ( Cirebon ) tidak main hakim sendiri
  • budaya hukumnya à perlu ada syarat yang tersirat yaitu pandangan Ruth Benedict tentang adanya budaya malu, dan budaya rasa bersalah bilamana seseorang melakukan pelanggaran terhadap hukum hukum yang berlaku

VII. Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum

Kesadaran hukum merupakan konsepsi abstrak didalam diri manusia, tentang keserasian antara ketertiban dan ketentraman yang dikehendaki atau sepantasnya. Kesadaran hukum sering dikaitkan dengan pentaatan hukum, pembentukan hukum, dan efektivitas hukum. Kesadaran hukum merupakan kesadaran/nilai-nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan.

Kesadaran hukum berkaitan dengan kepatuhan hukum, hal yang membedakannya yaitu dalam kepatuhan hukum ada rasa takut akan sanksi.

  • kesadaran : tidak ada sanksi, merupakan perumusan dari kalangan hukum mengenai penilaian tersebut, yang telah dilakukan secara ilmiah, nilai nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada.

Indicator kesadaran hukum :

  1. pengetahuan hukum
  2. pemahaman hukum
  3. sikap hukum

pola perilaku hukum

  • kepatuhan : ada sanksi positif dan negative, ketaatan merupakan variable tergantung, ketaatan hukum tersebut didasarkan kepada kepuasan diperoleh dengannn dukungan sosial

faktor yang menyebabkan masyarakat mematuhi hukum

1. compliance :

kepatuhan yang didasarkan pada harapan akan suatu imbalan dan usaha untuk menghidarkan diri dari hukuman yang mungkin dikenakan apabila seseorang melanggar ketentuan hukum. Adanya pengawasan yang ketat terhadap kaidah hukum tersebut.

2. identification

terjadi bila kepatuhan terhadap kaidah hukum ada bukan karena nilai intrinsiknya, akan tetapi agar ke anggotaan kelompok tetap terjaga serta ada hubungan baik dengn mereka yang diberi wewenang untuk menerapkan kaidah kaidah hukum tersebut

3.internalization

seseroang mematuhi kaidah kaidah hukum dikarenakan secara intrinsic kepatuhan tadi mempunyai imbalan. Isinya sesuai dengan nilai nilainya dari pribadi yang bersangkutan.

4. kepentingan kepentingan para warga yang terjamin oleh wadah hukum yang ada

Apakah Sosiologi Hukum

Apakah Sosiologi Hukum…?

Sosiologi Hukum berisi mengenai implementasi dari kehidupan dan peristiwa sehari-hari yang dihubungkan dengan sosiologi hukum dan filsafat hukum. Hukum secara sosiolog adalah penting dan merupakan suatu lembaga kemasyarakatan (social institution) yang merupakan himpunan nilai-nilai, kaidah kaidah dan pola-pola perikelakuan yang berkisar pada kebutuhan-kebutuhan pokok manusia. Jadi sosiologi hukum berkembang atas dasar suatu anggapan dasar bahwa proses hukum berlangsung didalam suatu jaringan atau sistem sosial yang dinamakan masyarakat. Artinya adalah bahwa hukum hanya dapat dimengerti dengan jalan memahami sistem sosial terlebih dahulu dan bahwa hukum merupakan suatu proses. Seorang ahli sosiologi menaruh perhatian yang besar kepada hukum yang bertujuan untuk mengkoordinasikan aktivitas-aktivitas warga-warga masyarakat serta memlihara integrasinya karena warga-warga masyarakat menggunakan, menerapkan, dan menafsirkan hukum dan dengan memahami proses tersebut barulah akan dapat dimengerti bagaimana hukum berfungsi dan bagaimana suatu organisasi sosial memeberi bentuk atau bahkan menghalang-halangi proses hukum.

Sosiologi hukum diperlukan dan bukan merupakan penamaan yang baru bagi suatu ilmu pengetahuan yang telah lama adaJadi pada dasarnya ruang lingkup sosiologi hukum adalah pola-pola perikelakuan dalam masyarakat yaitu cara-cara bertindak atau berkelakuan yang sama daripada orang-orang yang hidup bersama dalam masyarakat, dengan demikian dapatlah dirumuskan bahwa sosiologi hukum merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang antara lain meneliti mengapa manusia patuh pada hukum dan mengapa dia gagal untuk mentaati hukum tersebut serta faktor-faktor sosial lain yang mempengaruhinya.

Beberapa Masalah yang Disoroti Sosiologi Hukum :

  1. Hukum dan Sistem Sosial Masyarakat
  2. Persamaan-persamaan dan Perbedaan-perbedaan Sistem-sistem Hukum
  3. Sifat Sistem Hukum yang Dualistis
  4. Hukum dan Kekuasaan
  5. Hukum dan Nilai-nilai Sosial Budaya
  6. Kepastian Hukum dan Kesebandingan
  7. Peranan Hukum sebagai Alat untuk Mengubah Masyarakat

Suatu sistem hukum pada hakekatnya merupakan kesauan atau himpunan berbagaicita-cita dan cara-cara dengan mana manusia berusaha mengatasi masalah-masalah yang nyata maupun potensilyang timbul dari pergaulan hidup sehari-hari yang menyangkut kedamaian. Penelitian-penelitian sosiologis telah menghasilkan data untuk membuktikan bahwa ketertiban dan ketentraman pada hakekatya merupakan suatu refleksi daripada nilai-nilai sosial dan pertentangan kepentingan-kepentingan didalam suatu sistem sosial. Walaupun hukum mengatur semua aspek sosial tetapi hukum mempunyai batasan-batasan untuk dapat dipergunakan sebagai alat pencipta maupun pemelihara tata tertib pergaulan hidup manusia. Agar tidak terjadi penyelewengan hukum maka ilmu-ilmu sosial pada umumnya dan sosiologi pada khususnya dapat memberikan petunjuk dan manfaat yang banyak demi terciptanya iklim sosial yang mnguntungkan pelaksanaan hukum secara efektif.

Apabila dikaitkan dengan filsafat hukum, bahwa perlu cara untuk memandu sesorang agar memperoleh gambaran yang jelas tentang apa hukum itu. Banyak literatur yang mencoba memecahkan persoalan ini, demikian halnya dengan teori dan filsafat hukum. Keragamanan tidak harus membingungkan, paling tidak menurut tulisan dalam buku ini akrena pada dasarnya argumentasi tertentu bertolak dari cara berpikir yang tidak seragam yang dilator belakangi oleh pendidikan serta kehidupan seharai-hari yang berbeda pula.

Dilihat dari perkembangan aliran pemikiran (hukum) satu aliran pemikiran akan bergantung pada aliran pemikiran lainnya sebagai sandaran kritik untuk membengun kerangka teoritik berikutnya. Munculnya aliran pemikiran baru tidak otomatis bahwa aliran atau pemikran lama ditinggalkan. Sulitnya untuk meramu seluruh ide yang berkembang dalam hukum, karena dua alasan yaitu :

- Hukum adalah objek kajian yang masih harus dikonstruksi (dibangun) sebagaimana kaum konstrukvitis menjelaskan, diciptakan menurut istilah positivistic atau menggunakan bahasa kaum hermeniam ‘ditafsirkan’ sehingga dengan demikian cara pandang seseorang tentang hukum akan ditentukan oleh bagimana orang tersebut mengonstruksi, menciptakan atau menafsirkan mengenai apa yang disebut hukum itu.

- Satu pemikiran (aliran tertentu) akan memiliki latar belakang atau sudut pandang yang berbeda dengan aliran (pemikiran) lain, ini merupakan ragam kelemahan dan keunggulan masing-masing. Kondisi ini pada dasarnya memberikan keleluasaan karena hukum akan menjadi wilayah terbuka yang mungkin saja hailnya lebih positif.

Kata ‘hukum’ digunakan banyak orang dalam cara yang sangat umum sehingga mencakup seluruh pengalaman hukum, betapapun bervariasinya atau dalam konteksnya yang sederhana. Namun dalam sudut pandang yang paling umum sekalipun, hukum mancakup banyak aktivitas dan ragam aspek kehidupan manusia.

Memahami hukum berarti memahami manusia, ini merupakan bukan semata-mata gambaran secara umum tentang hukum yang ada selama ini, pandangan yang mengarah kepada “the man behin the gun” membuktikan bahwa actor dibelakang memegang peran yang lebih dominant dari sekedar persoalan struktur. Apabila Cicero mengatakan bahwa ada masyarakat ada hukum, maka yang sebenarnya dia bicarakan adalah hukum hidup ditenga-tengah masyarakat (manusia). Hukum dan manusia memiliki kedekatan yang khas dan tidak dapat dipisahkan, artinya tanpa manusia hukum tidak dapat disebut sebagai hukum. Dalam hukum manusia adalah sebagai actor kreatif, manusia membangun hukum, menjadi taat hukum namun tidak terbelenggu oleh hukum.

Sulit untuk menguraikan penyebab utama dari seluruh persoalan yang menimpa hukum di Indonesia, tidak saja bersangkut-paut dengan masalah substansial (produk hukum yang ketinggalan zaman), lebih dari itu penegakan dan komitmen moral yang lemah telah ikut menyebabkan banyaknya persoalan yang muncul.

Tetapi, terlepas dari semuanya, kita harus menyadari bahwa persoalan yang terjadi saat ini bersifat akumulatif dan bervariasi, masalah tidak bergerak linier tetapi berputar-putar sehingga sulit mencari akar permasalahannya, saling terkait, tapi itulah sebuah konsekuensi yang harus ditanggung dari kondisi kehidupan hukum yang kumuh.

Harmoni Pembangunan Hukum [1])

Kita telah terlanjur terbiasa untuk memandang hukum sebagai suatu yang bersifat represif dan memandang konstitusi hanya sebagai wadah perjanjian persetujuan belaka sehingga kita mengabaikan kekuatan besar yang sebenarnya terkandung didalam konstitusi dan didalam setiap sistem hukum manapun yaitu kekuatan yang mampu memaksa hukum agar dapat diterima dan lestari hidup.

Agar sistem hukum dapat berjalan baik, ada empat gagasan menurut Parsons :

1. Masalah legitimasi (landasan bagi pentaatan kepada aturan).

2. Masalah interpretasi (penetapan hak dan kewajiban subjek hukum, melalui proses penerapan aturan tertentu).

3. Masalah sanksi (sanksi apa, bagaimana penerapannya dan siapa yang menerapkannya).

4. Masalah Yuridiksi (Penetapan garis kewenangan yang kuasa menegakkan norma hukum dan golongan apa yang hendak diatur oleh perangkat norma itu).

Namun harus dipahami bahwa sistem hukum akan berkaitan dengan sistem politik (khususnya mengenai yuridiksi) oleh karena itu meski secara analitis dapat dipisahkan, hal ini berkaitan dengan diletakkannya peradilan sebagai posisi sentral di dalam tertib hukum sedangkan perumusan kebijakan melalui badan legislatif sebagai inti kekuasaan politik.

Apabila berbicara mengenai proses yang tertuang dalam UUD 1945 yang terdiri dari beberapa alenia, maka dapatlah diambil kesimpulan bahwa yang terkandung didalam 4 alenia pembukaan tersebut adalah :

1. Pembukaan alenia pertama, secara substansial mengandung pokok pri keadilan, konsep pemikiran yang mengarah kepada kesempurnaan dalam menjalankan hukum didalam kehidupan.

2. Pembukaan alenia kedua, adil dan makmur, merupakan implementasi dari tujuan hukum yang pada dasarnya yaitu memberikan kesejahteraan kepada masyarakat.

3. Pembukaan alenia ketiga, mengatur mengenai hubungan manusia denganTuhan atau penciptanya yang telah mengatur tatanan di dunia ini.

4. Pembukaan alenia keempat, mengenai lima sila dari Pancasila yang merupakan cerminan dari nilai-nilai bangsa yang diwariskan turun-temurun dan abstrak yang Pancasila merupakan kesatuan sistem yang berkaitan erat tidak dapat dipisahkan.

Itulah hakikat utama dari pemahaman dan pemaknaan holistik. Secara keilmuan pemahaman ini akan memberikan warna yang berbeda tentang apa yang kita pahami dan apa yang akan kita lakukan. Dan tidak semata-mata hanya berbicara tentang persoalan hukum negara tetapi lebih jauh memahami konteks yang realistis dari upaya pembangunan hukum yang lebih terarah.


[1]) Otje Salman, Anthon F. Susanto, Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2007.

Sosiologi Hukum

sosiologi : ilmu yang mempelajari individu dengan individu, keluarga dengan keluarga, kelompok dengan kelompok.

Bahmen : perkembangan dan hambatan ( lebih teoritis )

Sorokim : ilmu yang mempelajari gejala sosial, nonsosial dan ciri ciri umum dari gejala sosial à gejala yang ada di masyarakat, yang berkaitan dengan kebutuhan pokok, primary need, yaitu ekonomi, sosial, politik, agama, hukum

Ekonomi : kemakmuran

Politik : kekuasaan

Sosial : status

Budaya : materiil, spiritual ( agama )

Hankam : lahiriah

Agama :

Hukum : keadilan, kepastian, kegunaan, kebahagiaan

Berbicara ( sosiologi ) normal dan ubnormal

Strukur sosial : keseluruhan jalinan dan nilai nilai dari unsure sosiol yang pokok

  1. lembaga sosial : unla/universitas
  2. kelompok sosial : partai, lsm
  3. stratifikasi sosial : kelas yang ada di masyarakat à kelas kaya , kelas miskin ;

kekuasaan à penguasa dan bukan penguasa ; kehormatan à pemuka, bukan pemuka ; keilmu à ilmuwan, bukan ilmuwan

  1. kekuasaan dan wewenang : kemampuan seseorang untuk memaksakan kehendaknya, kepada pihak
    1. otot
    2. kewenangan
  2. budaya

karya, rasa, cipta, karsa à aplikasi

  1. norma : patokan tentang tingkah laku yang seharusnya

norma hukum, agama ( zinah ), kesusilaan ( 289 perkosaan ), kesopanan ( penghinaan depan umum )

abnormal : meresahkan à kejahatan, korupsi, drugs } ada yang manifest ada yang laten

SOSIOLOGI HUKUM

  1. sejarah sosiologi hukum sebagai mata kuliah

Sebelum 1976 di Unpad lahir satu konsepsi hukum yang dikemukakan Prof Mochtar, sebagai jawaban terhadap bapenas yaitu konsepsi hukum yang mendukung pembangunan “Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional” dan “Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional” tahun 1976, bahwa hukum tidak hanya meliputi asas dan kaidah yang mengatur hidup manusia dalam mewujudkan berlakunya kaidah itu dalam kenyataan.

“Hukum dalam masyarakat dan hukum pembangunan nasional tahun 1976 “Hukum keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur hidup manusia dalam masyarakat termasuk lembaga dan proses didalam mewujudkan berlakunya hukum itu dalam kenyataan.

Menurut mazhab Unpad “hukum tidak hanya bertujuan untuk mencapai ketertiban dan keadilan saja, akan tetapi dapat pula berfungsi sebagai saran untuk merubah / memperbaharui masyarakat”. Pandangan itu menggabungkan pandangan normative dan sosiologis dalam pembinaan hukum, yang memandang bagaimana hukum dapat berperan serta terutama didalam menghadapi situasi Negara Indonesia yang lagi melakukan pembangunan. Pembangunan pada dasarnya merupakan suatu proses yang menyangkut seluruh aspek aspek kehidupan manusia, yang hanya dapat didekati dengan pendekatan sosiologis

  1. sejarah sosiologi hukum sebagai ilmu pengetahuan

Lahirnya dipengaruhi 3 disiplin ilmu :

  • Filsafat hukum à hans kelsen à teori hirarki à gunor dasar sosial ( merupakan ruang lingkup filsafat )

Aliran positivisme : aliran filsafat hukum yang menjadi penyebab lahirnya Sosiologi Hukum. Dikemukakan oleh Hans Kelsen dengan Stufenbau des Recht-nya. Hukum itu tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang lebih atas derajatnya. Dimana urutannya adalah sebagai berikut : yang paling bawah itu = putusan badan pengadilan, atasnya = undang undangan dan kebiasaan, atasnya lagi = konstitusi dan yang paling atas = grundnorm ( dasar sosial daripada hukum )

Aliran filsafat hukum yang mendorong tumbuh dan berkembangnya

  • Mazhab sejarah : Carl von Savigny à hukum itu tidak dibuat, akan tetapi tumbuh dan berkembang bersama sama dengan masyarakat
  • Aliran utility : Jeremy Betham à hukum itu harus bermanfaat bagi masyarakat, guna mencapai hidup bahagia
  • Aliran sociological yurisprudence : Eugen Ehrlich à hukum yang dibuat, harus sesuai dengan hukum yang hidup didalam masyarakat ( living law )
  • Aliran pragmatic legal realism : Roscoe Pound à “law as a tool of social engineering“
  • Ilmu Hukum
    • Hukum sebagai gejala sosial, yang mendorong pertumbuhan sosiologi hukum, bahwa hukum harus dibersihkan dari anasir anasir sosiologis
  • Sosiologi yang berorientasi pada hukum
    • Emile Durkheim à setiap masyarakat selalu ada solidaritas yaitu
      • Solidaritas mekanis : terdapat dalam masyarakat sederhana, hukumnya bersifat represip yang diasosiasikan seperti dalam pidana.
      • Solidaritas organis : terdapat dalam masyarakat modern, hukumnya bersifat restitutif yang diasosiasikan seperti dalam perdata.
    • Max Weber à teori ideal typenya
      • Irrasional formal
      • Irrasional materiel
      • Rasional formal : pada masyarakat modern yang didasarkan pada konsep konsep ilmu hukum
      • Rasional materiel
  1. bagaimana sikap para 2 ahli
    1. Prof Soeyono Soekanto

Hukum secara sosiologi merupakan suatu lembaga kemasyarakatan yang diartikan sebagai suatu himpunan nilai nilai, kaidah kaidah dari pola perikelakuan yang berkisar pada kebutuhan kebutuhan pokok manusia dan saling mempengaruhi.

Sosiologi hukum merupakan refleksi dari inti pemikiran pemikiran tersebut.

  1. i. Aliran hukum alam ( aristoteles, Aquinas, Grotius )
    1. hukum dan moral
    2. keepastian hukum dan keadilan sebagai tujuan dari sistem hukum
    3. ii. madzhab formalisme ( Austin, kelsen )
      1. logika hukum
      2. fungsi keajegan dari pada hukum
      3. peranan formal dari petugas hukum
      4. iii. mazhab kebudayaan dan sejarah ( Carl von Savigny, maine )
        1. kerangka budaya dari hukum, termasuk hubungan antara hukum dan sistem nilai nilai
        2. hukum dan perubahan perubahan sosial
        3. iv. aliran utilitarianisme dan sociological jurisprudence ( Bentham, Jhering, Ehrlich, Pound )
          1. konsekuensi konsekuensi sosial dari hukum ( W. Friedman )
          2. penggunaan yang tidak wajar dari pembentuk undang undang
          3. klasifikasi tujuan tujuan mahluk hidup dan tujuan tujuan sosial
          4. v. aliran sociological jurisprudence ( erlich, pound ) dan legal realism ( holmes, Llewellyn, frank )
            1. hukum sebagai mekanisme pengendalian sosial
            2. faktor faktor politis dan kepentingan dalam hukum, termasuk hukum dan stratifikasi sosial
            3. hubungan antara kenyataan hukum dengan hukum yang tertulis
            4. hukum dan kebijaksanaan kebijaksanaan hukum
            5. segi perikemanusiaan dari hukum
            6. studi tentang keputusan keputusan pengadilan dan pola pola perikelakuannya
    1. Prof Sacipto

Pendapat Prof Sacipto Raharjo : cabang dari sosiologi hukum à ilmu yang mempelajari fenomena hukum, dari sisinya tersebut dibawah ini disampaikan bebereapa karakteristik dari studi hukum secara sosiologis

  1. memberikan penjelasan mengenai praktik praktik hukum baik oleh para penegak hukum maupun masyarakat. Apabila praktik praktik tersebut dibedakan ke dalam pembuatan peraturan perundang undangan, penerapan dan pengadilan, maka sosiologi hukum juga mempelajari, bagaimana praktik yang terjadi pada masing masing kegiatan hukum tersebut.
  2. senantiasa menguji keabsahan empiris dari suatu peraturan atau pernyataan hukum, apabila hal itu dirumuskan dalam suatu pertanyaan, pertanyaan itu adalah : bagaimanakah dalam kenyataannya peraturan tersebut?, apakah kenyataan memang seperti tertera pada bunyi peraturan? Terdapat suatu perbedaan yang bvesar antara pendekatan tradisional yang normative dan pendekatan sosiologis yaitu bahwa yang pertama menerima saja apa yang tertera pada aturan hukum, sedang yang kedua senantiasa menguji dengan data empiris.
  3. berbeda dengan ilmu hukum, sosiologi hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum. Perilaku yang mentaati hukum dan yang menyimpang dari hukum sama sama merupakan objek pengamatan yang setaraf. Sosiologi hukum tidak menilai yang satu lebih dari yang lain. Perhatian yang utama hanyalah pada memberikan penjelasan terhadap penjelasan terhadap objek yang dipelajari. Sosiologi hukum tidak memberikan penilaian, melainkan mendekati hukum dari segi objektivitas semata dan bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap fenomena hukum yang nyata

7 KONSEP SOSIOLOG HUKUM:

  • hukum sebagai sosiol control : kepastian hukum à UU yang dilakukan benar benar terlaksana oleh penguasa, penegak hukum. Fungsinya masalah penginterasian tampak menonjol, dengan terjadinya perubahan perubahan pada faktor tersebut diatas, hukum harus menjalankan usahanya sedemikian rupa sehingga konflik konflik serta kepincangan kepincangan yang mungkin timbul tidak mengganggu ketertiban serta produktivitas masyarakat.
  • hukum dapat bersifat sosial engineering : merupakan fungsi hukum dalam pengertian konservatif, fungsi tersebut diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk dalam masyarakat yang sedang mengalami pergolakan dan pembangunan. Mencakup semua kekuatan yang menciptakan serta memelihara ikatan sosial yang menganut teori imperative tentang fungsi hukum.
  • wibawa hukum Noto Hamijoyo
    • hukum tidak memperoleh dukungan yang semestinya dari norma norma sosial bukan hukum, melemahnya value sistem dalam masyarakat pada umumnya sebagai akibat dari modernisasi
    • norma norma hukum tidak batau belum sesuai dengan norma norma sosial yang bukan hukum, hukum yang dibentuk terlalu progresif sehingga dirasakan sebagai norma norma asing bagi rakyat
    • tidak ada kesadaran hukum dan kesadaran norma yang semestinya
    • pejabat pejabat hukum tidak sadar akan kewajibannya yang mulia untuk memelihara hukum Negara, lalu mengkorupsikan, merusak hukum Negara itu
    • pemerintah pusat dan daerah berusaha membongkar hukum yang berlaku untuk madsud maksud tertentu. Dapat terjadi bahwa pemerintah yang seharusnya mendukung hukum sebagai kewajibannya, malah menghianati hkum yang berlaku
  • ciri ciri hukum modern margalante : jujur, tepat waktu, efisiensi, orientasi, kemasa depan, produktif, tidak status symbol 91
    • terdiri dari peraturan yang isi dan pelaksanaannya seragam
    • sistem hukum yang transaksional dimana hak dan kewajiban dalam perjanjian tidak memandang usia, kelas, agama dan jenis kelamin
    • bersifat universal dan dilaksanakan secara umum
    • adanya hirarkis yang tegas
    • melaksanakan hukum sesuai dengan prosedur
    • rasional
    • dilaksanakan oleh orang yang berpengalaman
    • spesialisasi dan diadakan penghubung diantara bagian bagian
    • hukum mudah berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat
    • penegak hukum dan lembaga pelaksana hukum adalah lembaga kenegaraan, artinya Negara memonopoli kekuasaan
    • perbedaan yang tegas diantara 3 lembaga Negara ( eksekutif – legislative – yudicatif )
  • suatu kenyataan hukum hanya berlaku bagi mereka yang strata rendah, strata tinggi kebal hukum

stratifikasi yang ada didalam masyarakat disebabkan adanya penghargaan masyarakat di dalam segala hal, sehingga timbul mereka yang ada pada stratifikasi sosial yang tinggi, hukum yang diperlukan kepadanya lebih sedikit dari pada mereka yang berada pada stratifikasi sosial yang rendah

cara mengatasinya :

  1. eksekutif harus banyak membentuk hukum dan selalu mengupdate,
  2. para penegak hukumnya harus betul betul menjalankan tugas kewajiban sesuai dengan hukum hukum yang berlaku dan tidak boleh pandang bulu
  3. lembaga MPR sesuai dengan ketentuan UUD 1945 melakukan pengawan terhadap kerja lembaga lembaga Negara.
  • efektifitas dari hukum suryono
    • hukumnya à memenuhi syarat yuridis, sosiologis, filosofis
    • penegak hukumnya à betul betul telah melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana digariskan oleh hukum yang berlaku
    • fasilitasnya à prasarana yang mendukung dalam proses penegakan hukumnya
    • kesadaran hukum masyarakat à warga masyarakat bilamana terjadi seorang warga tertabrak di daerah Pamanukan dan Kapetakan ( Cirebon ) tidak main hakim sendiri
    • budaya hukumnya à perlu ada syarat yang tersirat yaitu pandangan Ruth Benedict tentang adanya budaya malu, dan budaya rasa bersalah bilamana seseorang melakukan pelanggaran terhadap hukum hukum yang berlaku
  • kesadaran hukum dan kepatuhan hukum
    • kesadaran : tidak ada sanksi, merupakan perumusan dari kalangan hukum mengenai penilaian tersebut, yang telah dilakukan secara ilmiah, nilai nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada.

Indicator kesadaran hukum :

  1. pengetahuan hukum
  2. pemahaman hukum
  3. sikap hukum

pola perilaku hukum

    • kepatuhan : ada sanksi positif dan negative, ketaatan merupakan variable tergantung, ketaatan hukum tersebut didasarkan kepada kepuasan diperoleh dengannn dukungan sosial

faktor yang menyebabkan masyarakat mematuhi hukum

  1. compliance :

kepatuhan yang didasarkan pada harapan akan suatu imbalan dan usaha untuk menghidarkan diri dari hukuman yang mungkin dikenakan apabila seseorang melanggar ketentuan hukum. Adanya pengawasan yang ketat terhadap kaidah hukum tersebut.

  1. identification

terjadi bila kepatuhan terhadap kaidah hukum ada bukan karena nilai intrinsiknya, akan tetapi agar ke anggotaan kelompok tetap terjaga serta ada hubungan baik dengn mereka yang diberi wewenang untuk menerapkan kaidah kaidah hukum tersebut

  1. internalization

seseroang mematuhi kaidah kaidah hukum dikarenakan secara intrinsic kepatuhan tadi mempunyai imbalan. Isinya sesuai dengan nilai nilainya dari pribadi yang bersangkutan.

  1. kepentingan kepentingan para warga yang terjamin oleh wadah hukum yang ada

Cyber Crime dihubungkan dengan Tindak Pidana Terorisme

A. LATAR BELAKANG


Hak untuk hidup adalah hak asasi yang paling dasar bagi seluruh manusia. Hak hidup merupakan bagian dari hak asasi yang memiliki sifat tidak dapat ditawar lagi (non derogable rights). Artinya, hak ini mutlak harus dimiliki setiap orang, karena tanpa adanya hak untuk hidup, maka tidak ada hak-hak asasi lainnya. Hak tersebut juga menandakan setiap orang memiliki hak untuk hidup dan tidak ada orang lain yang berhak untuk mengambil hak hidupnya.

Dalam hal ini terdapat beberapa pengecualian seperti untuk tujuan penegakan hukum, sebagaimana yang diatur juga dalam Article 2 European Convention on Human Rights yang menyatakan :

protection the right of every person to their life. The article contains exceptions for the cases of lawful executions, and deaths as a result of "the use of force which is no more than absolutely necessary" in defending one's self or others, arresting a suspect or fugitive, and suppressing riots or insurrections ).

Pengecualian terhadap penghilangan hak hidup tidak mencakup pada penghilangan hak hidup seseorang oleh orang lainnya tanpa ada alas hak yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu contoh penghilangan hak hidup tanpa alas hak adalah pembunuhan melalui aksi teror. Aksi teror jelas telah melecehkan nilai kemanusiaan, martabat, dan norma agama. Teror juga telah menunjukan gerakannya sebagai tragedi atas hak asasi manusia ).

Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara karena terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan sehingga hak asasi orang banyak dapat dilindungi dan dijunjung tinggi. Pernyataan tersebut sejalan dengan tujuan bangsa Indonesia yang termaktub dalam Undang-undang Dasar 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Aksi terorisme di Indonesia mencuat ke permukaan setelah terjadinya Bom Bali I pada 12 Oktober 2002, Peristiwa ini tepatnya terjadi di Sari Club dan Peddy’s Club, Kuta, Bali. Sebelumnya, tercatat juga beberapa aksi teror di Indonesia antara lain kasus Bom Istiqlal pada 19 April 1999, Bom Malam Natal pada 24 Desember 2000 yang terjadi di dua puluh tiga gereja, Bom di Bursa Efek Jakarta pada September 2000, serta penyanderaan dan pendudukan perusahaan Mobil Oil oleh Gerakan Aceh Merdeka pada tahun yang sama.

Kembali pada kasus Bom Bali I. Aksi teror melalui peledakan bom mobil di Jalan Raya Legian Kuta ini semula direncanakan dilaksanakan pada 11 September 2002, bertepatan dengan peringatan setahun tragedi di Gedung World Trade Center New York, Amerika Serikat. Seperti diketahui, peristiwa 11 September 2002 ini mengawali “Perang Global” terhadap terorisme yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Kebijakan Amerika Serikat yang berat sebelah seperti pemunculan jargon “Jihad adalah Terorisme” dalam memerangi terorisme telah menjadi alasan beberapa kelompok teroris untuk melakukan perlawanan, salah satunya dilakukan oleh Ali Imron, Ali Gufron, dan Amrozi.

Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat) memiliki kewajiban untuk melindungi harkat dan martabat manusia. Demikian pula dalam hal perlindungan warga negara dari tindakan terorisme. Salah satu bentuk perlindungan negara terhadap warganya dari tindakan atau aksi terorisme adalah melalui penegakan hukum, termasuk di dalamnya upaya menciptakan produk hukum yang sesuai.
Upaya ini diwujudkan pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002, yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Diperlukannya undang-undang ini karena pemerintah menyadari tindak pidana terorisme merupakan suatu tindak pidana yang luar biasa (extraordinary crime), sehingga membutuhkan penanganan yang luar biasa juga (extraordinary measures). Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 ini selain mengatur aspek materil juga mengatur aspek formil. Sehingga, undang-undang ini merupakan undang-undang khusus (lex specialis) dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Dengan adanya undang-undang ini diharapkan penyelesaian perkara pidana yang terkait dengan terorisme dari aspek materil maupun formil dapat segera dilakukan.

Pada sebuah proses penyelesaian perkara pidana, proses pembuktian merupakan suatu proses pencarian kebenaran materiil atas suatu peristiwa pidana. Hal ini berbeda jika dibandingkan proses penyelesaian perkara perdata yang merupakan proses pencarian kebenaran formil. Proses pembuktian sendiri merupakan bagian terpenting dari keseluruhan proses pemeriksaan persidangan.
Hukum acara pidana di dalam bidang pembuktian mengenal adanya Alat Bukti dan Barang Bukti, di mana keduanya dipergunakan di dalam persidangan untuk membuktikan tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa. Alat bukti yang sah untuk diajukan di depan persidangan, seperti yang diatur Pasal 184 Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 8 adalah:
a. keterangan saksi
b. keterangan ahli
c. surat
d. petunjuk
e. keterangan terdakwa


Alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi :
  1. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;
  2. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
  3. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada :
    1. tulisan, suara, atau gambar;
    2. peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;
    3. huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya


Alat bukti yang diatur dalam Pasal 27 ayat (2) dan (3) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003, tersebut berdasarkan KUHAP tidak diakui sebagai alat bukti, tetapi berdasarkan doktrin (ilmu hukum) dikategorikan sebagai Barang Bukti yang berfungsi sebagai data penunjang bagi alat bukti. Akan tetapi dengan adanya Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 ini, kedua alat bukti tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dan mengikat serta memiliki kekuatan pembuktian sama dengan alat bukti yang diatur dalam KUHAP. Meskipun demikian, prinsip lex specialis derogat legi generalis tetap berlaku. Dengan penafsiran secara a contrario, dapat diartikan hal yang tidak diatur dalam ketentuan khusus, dalam hal ini Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003, berlakulah ketentuan umum, dalam hal ini KUHAP.

B. ANALISIS MASALAH


1. Cyber Terrorism

Dalam beberapa kasus, penguasaan terhadap teknologi sering kali disalahgunakan untuk melakukan suatu kejahatan. Diantara ragam kejahatan menggunakan teknologi, terdapat didalamnya suatu bentuk kejahatan terorisme baru, yaitu cyberterrorism.
Akar perkembangan dari cyberterrorism dapat ditelusuri sejak awal 1990, ketika pertumbuhan Internet semakin pesat dan kemunculan komunitas informasi. Di Amerika serikat sejak saat itu diadakan kajian mengenai potensi resiko yang akan dihadapi Amerika Serikat atas ketergantungannya yang begitu erat dengan jaringan (networks) dan teknologi tinggi ). Dikhawatirkan, karena ketergantungan Amerika Serikat yang begitu tinggi terhadap jaringan dan teknologi suatu saat nanti Amerika akan menghadapi apa yang disebut "Electronic Pearl Harbor” ).

Faktor psikologis, politik, dan ekonomi merupakan kombinasi yang menjadikan peningkatan ketakutan Amerika terhadap isu terkait cyberterrorism. Sehingga pada tahun 1999, Presiden Clinton sampai mengajukan proposal anggaran dana untuk menangani aksi cyber terrorisme sebesar $2.8 miliar. Dana tersebut juga diperuntukan bagi penanganan keamanan nasional dari ancaman bahaya internet ).

Ketakutan tersebut cukup beralasan, karena telah terjadi beberapa insiden yang dikategorikan sebagai cyberterrorisme, antara lain pada April dan Maret 2002, di Amerika Serikat, tepatnya negara bagian California, terjadi kehilangan pasokan listrik secara total yang disebabkan oleh ulah cracker dari Cina yang menyusup kedalam jaringan power generator di wilayah tersebut. Contoh lainnya adalah aksi 40 cracker dari 23 negara bergabung dalam perang cyber konflik Israel-Palestina sepanjang bulan Oktober 2000 sampai Januari 2001. Kelompok yang menamakan dirinya UNITY dan memiliki hubungan dengan organisasi Hezbollah merencanakan akan menyerang situs resmi pemerintah Israel, sistem keuangan dan perbankan, ISPs Israel dan menyerang situs e-commerce kaum zionis Israel.

Motif dilakukannya cyberterrorism menurut Zhang ada lima sebab, yaitu ) :
  1. Psychological Warfare. Menurut Zhang, “The study of the modern terrorism also reveals one of the most important characteristics of the terrorism is to raise fear.” Motif ini tidak berbeda dengan motif terorisme konvensional, dimana sasaran utama terorisme adalah menimbulkan rasa ketakutan dalam masyarakat.
  2. Propaganda. Melalui cyberterrorism, kelompok teroris dapat melakukan propaganda tanpa banyak hambatan seperti sensor informasi, karena sifat Internet yang terbuka, upaya ini jauh lebih efektif
  3. Fundraising. Melalui cyberterrorism, khususnya tindakan penyadapan dan pengambilalihan harta pihak lain untuk kepentingan organisasi teroris telah menjadi motif utama dari cyberterrorism. Kelompok teroris juga dapat menambah keuangannya melalui penjualan CD dan buku tentang “perjuangan” mereka.
  4. Communication. Motif selanjutanya dari cyberterrorism adalah komunikasi. Kelompok teroris telah secara aktif memanfaatkan Internet sebagai media komunikasi yang efektif dan jauh lebih aman dibandingkan komunikasi konvensional.
  5. Information Gathering. Kelompok teroris memiliki kepentingan terhadap pengumpulan informasi untuk keperluan teror, seperti informasi mengenai sasaran teror, informasi kekuatan pihak musuh, dan informasi lain yang dapat menunjang kinerja kelompok teroris tersebut seperti informasi rahasia (intelegent information) terkait persenjataan, dan lainnya. Atas dasar motif information gathering lah cyberterrorism dilakukan.


Pergeseran wilayah terorisme konvensional ke cyberterrorisme disebabkan beberapa faktor. Weimann dalam tulisannya http://www.terror.net : How Modern Terrorism Uses the Internet menuturkan delapan alasan mengapa terjadi pergeseran wilayah aktifitas terorisme dari konvensional ke cyberterrorisme yaitu sebagai berikut ) :
  1. Kemudahan untuk mengakses. Cyberterrorism dapat dilakukan secara remote. Artinya tindakan cyberterrorism dapat dilakukan dimana saja melalui pengontrolan jarak jauh.
  2. Sedikitnya peraturan, penyensoran, dan segala bentuk kontrol dari pemerintah.
  3. Potensi penyebaran informasi yang mengglobal.
  4. Anonimitas dalam berkomunikasi. Hal ini merupakan hal yang biasa dalam dunia Internet. Kebanyakan orang berinteraksi di Internet menggunakan nama palsu atau biasa disebut nickname.114
  5. Arus informasi yang cepat.
  6. Biaya yang rendah untuk mengembangkan dan merawat website, selain itu dalam melaksanakan cyberterrorism yang diperlukan umumnya hanya perangkat komputer yang tersambung ke jaringan Internet.115
  7. Lingkungan multimedia yang mempermudah penyampaian maksud dan tujuan teror.
  8. Kemampuan yang lebih baik dari media massa yang tradisional dalam menyajikan informasi.


Untuk mendalami apa dan bagaimana cyberterrorism, perlu terlebih dahulu diberikan definisi terhadap kata tersebut. Beberapa lembaga dan ahli memberikan definisi terkait cyberterrorism. Definisi pertama didapat dari Black’s Law Dictionary, yang menjelaskan sebagai berikut :

Cyberterrorism. Terrorism committed by using a computer to make unlawful attacks and threats of attack againts computer, networks, and electronically stored information, and actually causing the target to fear or experience harm.
Secara bebas dapat diartikan, terorisme yang dilakukan dengan menggunakan komputer untuk melakukan penyerangan terhadap komputer, jaringan komputer, dan data elektronik sehingga menyebabkan rasa takut pada korban. Dari definisi ini terlihat unsur utama dari cyberterrorism, yaitu :

a. penggunaan komputer,
b. tujuannya untuk melakukan penyerangan, serangan tersebut ditujukan kepada sistem komputer dan data,
c. serta adanya akibat rasa takut pada korban.


Definisi selanjutnya dikeluarkan oleh Federal Bureau of Investigation (FBI) yang menyatakan sebagai berikut :

cyber terrorism is the premeditated, politically motivated attack against information, computer systems, computer programs, and data which result in violence against noncombatant targets by sub national groups or clandestine agents.(Secara bebas dapat diterjemahkan menjadi, cyberterrorism adalah serangan yang telah direncanakan dengan motif politk terhadap informasi, sistem komputer, dan data yang mengakibatkan kekerasan terhadap rakyat sipil dan dilakukan oleh sub-nasional grup atau kelompok rahasia).

Definisi berikutnya diberikan oleh Dorothy Denning, yaitu :

Cyberterrorism is the convergence of cyberspace and terrorism. It refers to unlawful attacks and threats of attacks against computers, networks and the information stored therein when done to intimidate or coerce a government or its people in furtherance of political or social objectives (cyberterrorsim adalah konvergensi dari cyberspace dan terorisme. Pengertian tersebut merujuk pada perbuatan melawan hukum dengan cara menyerang dan mengancam melakukan serangan terhadap komputer, jaringan dan informasi yang tersimpan didalamnya untuk tujuan mengintimidasi atau memaksa pemerintah atau masyarakat untuk tujuan politik atau sosial).

The Internet and Terrorism, Lewis menyatakan sebagai berikut :

The Internet enables global terrorism in several ways. It is an organizational tool, and provides a basis for planning, command, control, communication among diffuse groups with little hierarchy or infrastructure. It is a tool for intelligence gathering, providing access to a broad range of material on potential targets, from simple maps to aerial photographs. One of its most valuable uses is for propaganda, to relay the messages, images and ideas that motivate the terrorist groups.
Terrorist groups can use websites, email and chatrooms for fundraising by soliciting donations from supporters and by engaging in cybercrime (chiefly fraud or the theft of financial data, such as credit card numbers).

Berdasarkan pernyataan tersebut, kita ketahui kemungkinan atau bentuk lain dari cyberterrorism, yaitu pemanfaatan teknologi informasi yang dalam hal ini Internet sebagai perangkat organisasi yang berfungsi sebagai alat untuk menyusun rencana, memberikan komando, berkomunikasi antara anggota kelompok. Selain itu, basis teknologi informasi menjadi bagian penting dari terorisme yaitu sebagai media propaganda kegiatan terorisme.

Penggunan basis teknologi informasi sebagai media terorisme telah menunjukan bentuk dan karakter lain dari cyberterrorisme. Dengan demikian secara garis besar, Cyberterrorisme dapat dibagi menjadi dua bentuk atau karakteristik, yaitu sebagai berikut :
  1. Cyberterrorisme yang memiliki karkateristik sebagai tindakan teror terhadap sistem komputer, jaringan, dan/atau basis data dan informasi yang tersimpan didalam komputer.
  2. Cyberterrorisme berkarakter untuk pemanfaatan Internet untuk keperluan organisasi dan juga berfungsi sebagai media teror kepada pemerintah dan masyarakat.


Bentuk atau karakter pertama cyberterrorism adalah sebagai tindakan teror terhadap sistem komputer, jaringan, dan/atau basis data dan informasi yang tersimpan didalam komputer, dan beberapa contoh dari bentuk ini adalah :
  1. Unauthorized Access to Computer System dan Service. Merupakan kajahatan yang dilakukan dengan memasuki/menyusup ke dalam suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa izin atau tanpa sepengetahuan dari pemilik sistem jaringan komputer.
  2. Denial of Service Attacks (DOS). Penyerangan terhadap salah satu servis yang dijalankan oleh jaringan dengan cara membanjiri server dengan jutanan permintaan layanan data dalam hitungan detik yang menyebabkan server bekerja terlalu keras dan berakibat dari matinya jaringan atau melambatnya kinerja server.
  3. Cyber Sabotage and Extortion. Kejahatan ini dilakukan dengan membuat gangguan, pengrusakan atau penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung dengan internet.
  4. Viruses. Virus adalah perangkat lunak yang telah berupa program, script, atau macro yang telah didesain untuk menginfeksi, menghancurkan, memodifikasi dan menimbulkan masalah pada komputer atau program komputer lainnya.
  5. Physical Attacks. Penyerangan secara fisik terhadap sistem komputer atau jaringan. Cara ini dilakukan dengan merusak secara fisik, seperti pembakaran, pencabutan salah satu devices komputer atau jaringan menyebabkan lumpuhnya sistem komputer.


Selanjutnya, beberapa contoh implementasi cyberterrorisme berkarakter untuk pemanfaatan Internet untuk keperluan organisasi dan juga berfungsi sebagai media teror kepada pemerintah dan masyarakat, adalah sebagai berikut :
  1. Propaganda. “The lack of censorship and regulations of the internet gives terrorists perfect opportunities to shape their image through the websites.”126 Propaganda dilakukan melalui website yang dibuat oleh kelompok teroris. Biasanya website tersebut berisi struktur organisasi dan sejarah perjuangan, informasi detail mengenai aktifitas perjuangan dan aktifitas sosial, profil panutan dan orang yang menjadi pahlwan bagi kelompok tersebut, informasi terkait ideologi dan kritik terhadap musuh mereka, dan berita terbaru terkait aktifitas mereka.
  2. Carding atau yang disebut credit card fraud. Carding atau credit card fraud dalam cyber terrorisme lebih banyak dilakukan dalam bentuk pencarian dana. Selain itu carding juga dilakukan untuk mengancam perusahaan yang bergerak di bidang penyedian jasa e-commerce untuk menyediakan dana agar para carder tidak melepaskan data kartu kredit ke internet.
  3. E-mail. Teroris dapat menggunakan e-mail untuk menteror, mengancam dan menipu, spamming dan menyebarkan virus ganas yang fatal, menyampaikan pesan diantara sesama anggota kelompok dan antara kelompok.


Dengan demikian, pembahasan dalam sub bab ini dapat disimpulkan. Dimasa mendatang dimana kehidupan manusia sangat bergantung pada teknologi telah menimbulkan suatu potensi kejahatan model baru yang disebut cyberterrorisme. Untuk itu diperlukan sebuah perangkat hukum yang dapat mengakomodir upaya hukum terhadap tindak pidana cyberterrorism.

Sistem Pembuktian


alat bukti dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme
Pembuktian merupakan proses acara pidana yang memegang peranan penting dalam pemeriksaan sidang di pengadilan. Melalui pembuktian inilah ditentukan nasib terdakwa, apakah ia bersalah atau tidak. Darwan Prinst mendefinisikan pembuktian sebagai “pembuktian suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkannya.”. Sesungguhnya, tujuan dari pembuktian adalah berusaha untuk melindungi orang yang tidak bersalah.
Dalam hal pembuktian, hakim perlu memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa. Kepentingan masyarakat berarti, apabila seseorang telah melanggar ketentuan perundang-undangan, ia harus mendapat hukuman yang setimpal dengan kesalahannya. Sementara yang dimaksud dengan kepentingan terdakwa adalah, terdakwa harus tetap diperlakukan adil sehingga tidak ada seorang pun yang tidak bersalah akan mendapat hukuman, (asas persumtion of innocent) atau sekalipun ia bersalah ia tidak mendapat hukuman yang terlalu berat (dalam hal ini terkandung asas equality before the law).

Sekalipun secara konteks yuridis teoritis, proses pembuktian dilakukan di pengadilan pada tahap pembuktian, sesungguhnya proses pembuktian sendiri telah dimulai pada tahap penyidikan. Pada tahap ini, penyidik mengolah apakah peristiwa yang terjadi merupakan peristiwa pidana atau hanya merupakan peristiwa biasa. Penyidik juga mencari dan mengumpulkan serta menganalisis bukti yang ia temukan.

Dalam proses pembuktian terdapat tiga hal paling utama, yaitu sistem pembuktian, beban pembuktian, dan alat bukti. Pada proses penyelesaian terhadap tindak pidana terorisme, pembuktian sangat terkait erat dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Untuk membuktian seseorang terlibat atau tidak dalam tindak pidana terorisme, proses pembuktian memegang peranan sangat penting, mengingat banyak pemidanaan dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 berupa hukuman seumur hidup atau hukuman mati yang sesungguhnya bertentangan dengan HAM. Untuk itu perlu dikaji mengenai sistem pembuktian, beban pembuktian, dan alat bukti terkait tindak pidana terorisme sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003.

Menurut doktrin, terdapat empat sistem pembuktian, yaitu sebagai berikut :

a. Sistem pembuktian semata-mata berdasarkan keyakinan hakim (conviction intime). Dalam sistem ini, penentuan seorang terdakwa bersalah atau tidak hanya didasari oleh penilaian hakim. Hakim dalam melakukan penilaian memiliki subjektifitas yang absolut karena hanya keyakinan dan penilaian subjektif hakim lah yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Mengenai dari mana hakim mendapat keyakinannya, bukanlah suatu permasalahan dalam sisitem ini. Hakim dapat memperoleh keyakinannya dari mana saja.

b. Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan logis (La Conviction Raisonee/Conviction Raisonee). Dalam hal sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim telah dibatasi. Keyakian hakim dalam sistem pembuktian ini tidak seluas pada sistem pembuktian conviction intime karena keyakinan hakim harus disertai alasan logis yang dapat diterima akal sehat. Sistem yang disebut sebagai sistem pembuktian jalan tengah ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim diberi kebebasan untuk menyebut alasan keyakinannya (vrije bewijstheorie).

c. Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positief wettelijk bewijstheorie). Sistem pembuktian ini merupakan kebalikan dari sistem pembuktian conviction in time. Dalam sistem ini, keyakinan hakim tidak diperlukan, karena apabila terbukti suatu tindak pidana telah memenuhi ketentuan alat bukti yang disebutkan dalam undang-undang, seorang terdakwa akan langsung mendapatkan vonis. Pada teori pembuktian formal/positif (positief bewijstheorie) ini, penekanannya terletak pada penghukuman harus berdasarkan hukum. Artinya, seorang terdakwa yang dijatuhi hukuman tidak semata-mata hanya berpegang pada keyakinan hakim saja, namun berpegang pada ketentuan alat bukti yang sah menurut undang-undang. Sistem ini berusaha menyingkirkn semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan pembuktian yang keras.

d. Sistem pembuktian undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewijstheori). Sistem pembuktian ini menggabungkan antara faktor hukum positif sesuai ketentuan perundang-undangan dan faktor keyakinan hakim. Artinya, dalam memperoleh keyakinannya, hakim juga terikat terhadap penggunaan alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang.


Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tidak secara khusus diatur mengenai syarat minimum alat bukti, atau pun ketentuan mengenai keyakinan hakim, sehingga tidak terlihat sistem pembuktian apa yang digunakan dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003. Namun, dengan menggunakan penafsiran secara a contrario terhadap prinsip lex specialis derogat legi generalis, ketentuan mengenai sistem pembuktian dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 menggunakan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu sistem pembuktian undang-undang secara negatif ). Dengan demikian, hakim dapat memutus seseorang bersalah melakukan tindak pidana terorisme apabila dari dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan kalau terdakwalah yang melakukan tindak pindana terorisme tersebut.

Beberapa undang-undang pidana yang memiliki aspek formil juga mengatur menggenai alat bukti tersendiri. Meskipun demikian, secara umum alat bukti yang diatur dalam undang-undang pidana formil tersebut tetap merujuk pada alat bukti yang diatur dalam KUHAP. Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme selain mengatur tentang pidana material yaitu tentang macam pidana yang diklasifikasikan sebagai terorisme atau unsur tindak pidana terorisme juga mengatur aspek formil atau acara dari pidana terorisme tersebut. Dalam sub bab ini yang akan dibahas secara khusus adalah terkait dengan alat bukti yang diatur dalam Undang-undang No. 15 Tahun 2003.

Pengaturan mengenai alat bukti dalam Undang-undang No. 15 Tahun 2003 diatur dalam Pasal 27, sebagaimana berikut :
Alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi:
  1. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;
  2. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
  3. . data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada :
    1. tulisan, suara, atau gambar;
    2. peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;
    3. huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.


Dikaitkan dengan tindak pidana terorisme, pengaturan alat bukti berupa informasi dan dokumen elektronik sangat diperlukan. Alasannya, aksi terorisme semakin gencar dan menghalalkan segala cara untuk dapat beraksi. Aksi terorisme yang dilakukan pun lebih pintar yaitu dengan digunakannya teknologi modern. Contohnya saja dengan adanya website www.anshar.net. Website tersebut seakan ingin lebih menunjukkan saat ini dunia menghadapi terorisme.

C. KESIMPULAN


1. Subjek dari tindak pidana terorisme yang termaktub dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003.

Telah dijelaskan sebelumnya, dalam hukum pidana awalnya yang menjadi subjek hukum hanyalah manusia sebagai naturelijk persoonen, namun dalam perkembangannya badan hukum juga dapat menjadi subjek hukum Jika membaca ketentuan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 dinyatakan sebagai berikut. “Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang baik sipil, militer, maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual, atau korporasi.” Dari pasal tersebut dapat disimpulkan mengenai subjek dari tindak pidana terorisme yaitu tidak hanya terbatas pada manusia sebagai pribadi kodrati tetapi juga meliputi korporasi. Dengan demikian, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 telah melakukan penafsiran secara ekstensif terhadap pemahaman mengenai subjek hukum. Selain itu, dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 ini juga terdapat pengaturan mengenai konsep penyertaan. Hal ini terlihat dalam Pasal 13 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003, sebagai berikut.

Pasal 13
Setiap orang yang dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, dengan :
  • memberikan atau meminjamkan uang atau barang atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku tindak pidana terorisme;
  • menyembunyikan pelaku tindak pidana terorisme; atau
  • menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme,


Pasal 13 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 ini mengatur hukuman terhadap tindak pidana dalam hal terjadi penyertaan berbentuk perbantuan (medeplichtigheid). Bentuk penyertaan yang lainnya juga terlihat dalam Pasal 14 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 yang mengatur bentuk penyertaan penggerakan (uitlokking), hal tersebut terlihat dari kalimat “Setiap orang yang merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain...”.

Demikian aspek pidana materil dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003. Hal lain terkait ketentuan pidana materil yang tidak diatur dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tetap merujuk kepada KUHP, hal ini berdasarkan penafsiran a contrario terhadap Aturan penutup KUHP dalam Pasal 103 KUHP yang menyatakan ketentuan dalam KUHP berlaku juga bagi undang-undang lain kecuali jika oleh undang-undang lain ditentukan lain (asas lex specialis derogat legi generalis).
Pergeseran wilayah terorisme konvensional ke cyberterrorisme disebabkan beberapa faktor. Weimann dalam tulisannya www.terror.net : How Modern Terrorism Uses the Internet menuturkan delapan alasan mengapa terjadi pergeseran wilayah aktifitas terorisme dari konvensional ke cyberterrorisme yaitu sebagai berikut :
  • Kemudahan untuk mengakses. Cyberterrorism dapat dilakukan secara remote. Artinya tindakan cyberterrorism dapat dilakukan dimana saja melalui pengontrolan jarak jauh.
  • Sedikitnya peraturan, penyensoran, dan segala bentuk kontrol dari pemerintah.
  • Potensi penyebaran informasi yang mengglobal.
  • Anonimitas dalam berkomunikasi. Hal ini merupakan hal yang biasa dalam dunia Internet. Kebanyakan orang berinteraksi di Internet menggunakan nama palsu atau biasa disebut nickname.114
  • Arus informasi yang cepat.
  • Biaya yang rendah untuk mengembangkan dan merawat website, selain itu dalam melaksanakan cyberterrorism yang diperlukan umumnya hanya perangkat komputer yang tersambung ke jaringan Internet.115
  • Lingkungan multimedia yang mempermudah penyampaian maksud dan tujuan teror.
  • Kemampuan yang lebih baik dari media massa yang tradisional dalam menyajikan informasi.


2. Baik tindak pidana korupsi maupun tindak pidana terorisme, kedua tindak pidana tersebut termasuk dalam jenis extraordinary crime.

Akan tetapi, dalam hal pembuktian, khususnya mengenai beban pembuktian terdapat perbedaan. Dalam tindak pidana korupsi, beban pembuktiannya adalah pembuktian terbalik terbatas, sedangkan dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003, beban pembuktiannya adalah beban pembuktian biasa.

Dengan demikian dalam tindak pidana terorisme, Penuntut Umum yang dibebani oleh undang-undang kewajiban untuk membuktikan seorang terdakwa terlibat atau tidak dalam tindak pidana terorisme sesuai dengan yang ia tuliskan dalam surat dakwaan.
Apabila berdasarkan KUHAP, maka yang dinilai sebagai alat bukti dan yang dibenarkan mempunyai “kekuatan pembuktian” hanya terbatas kepada alat bukti yang tercantum dalam Pasal 184 (1) KUHAP.168 Dengan kata lain, sifat dari alat bukti menurut KUHAP adalah limitatif atau terbatas pada yang ditentukan saja. Akan tetapi, seperti yang telah diuraikan sebelumnya, KUHAP bukanlah satu-satunya undang-undang pidana formil yang mengatur mengenai ketentuan pembuktian.

Beberapa undang-undang pidana yang memiliki aspek formil juga mengatur menggenai alat bukti tersendiri. Meskipun demikian, secara umum alat bukti yang diatur dalam undang-undang pidana formil tersebut tetap merujuk pada alat bukti yang diatur dalam KUHAP. Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme selain mengatur tentang pidana material yaitu tentang macam pidana yang diklasifikasikan sebagai terorisme atau unsur tindak pidana terorisme juga mengatur aspek formil atau acara dari pidana terorisme tersebut. Dalam sub bab ini yang akan dibahas secara khusus adalah terkait dengan alat bukti yang diatur dalam Undang-undang No. 15 Tahun 2003.