Sabtu, 12 Juni 2010

Prosedur Pendirian Firma / CV

1. Pengertian Firma
Firma adalah suatu bentuk persekutuan bisnis yang terdiri dari dua orang atau lebih dengan nama bersama yang tanggung jawabnya terbagi rata tidak terbatas pada setiap pemiliknya.
2. Ciri dan Sifat Firma :
• Apabila terdapat hutang tak terbayar, maka setiap pemilik wajib melunasi dengan harta pribadi.
• Setiap anggota firma memiliki hak untuk menjadi pemimpin
• Seorang anggota tidak berhak memasukkan anggota baru tanpa seizin anggota yang lainnya.
• Keanggotaan firma melekat dan berlaku seumur hidup
• Seorang anggota mempunyai hak untuk membubarkan firma
• Pendiriannya tidak memelukan akte pendirian
• Mudah memperoleh kredit usaha.
3. Dasar Hukum Tentang Firma diatur dalam Pasal 16 – 35 Kitab Undang- Undang Hukum Dagang (KUHD).
Sementara Pasal 19, 20 dan 21 adalah aturan untuk Persekutuan Komanditer. Pasal 19 (a) KUHD mengatur bahwa “Persekutuan secara melepas uang/Persekutuan komanditer, didirikan atas satu atau beberapa orang yang bertanggung-jawab secara pribadi untuk keseluruhan dengan satu atau beberapa orang pelepas uang”. Terdapatnya aturan Persekutuan komanditer diantara/ didalam aturan mengenai firma, karena Persekutuan komanditer juga termasuk kedalam bentuk firma dalam arti khusus, yang kekhususannya terletak dari adanya persekutuan komanditer, sementara sekutu jenis ini tidak ada pada bentuk firma (yang ada dalam firma hanya bentuk “sekutu kerja” atau “Firman”).
4. Prosedur Pendirian Firma
A. Pendirian Firma
Menurut Ketentuan Pasal 22 KUHD, Perseroan Firma harus didirikan dengan akta Otentik, akan tetapi ketiadaan akta yang demikian tidak dapat dikemukakan untuk merugikan pihak ketiga.
B. Pendaftaran Firma
Menurut ketentuan Pasal 23 KUHD, mewajibkan pendiri Firma (yang juga berlaku juga pada CV) untuk mendaftarkan akta pendiriannya kepada Panitera Pengadilan Negeri yang berwenang dimana Firma tersebut berdomisili; dan
Menurut ketentuan Pasal 24 KUHD, yang didaftarkan hanyalah akta pendirian firma atau ihtisar resminya saja.
Adapun ihtisar isi resmi dari Akta Pendirian Firma meliputi :
a. nama lengkap, pekerjaan & tempat tinggal para pendiri;
b. penetapan nama Firma;
c. keterangan mengenai Firma itu bersifat umum atau terbatas untuk
menjalankan sebuah jenis usaha khusus;
d. saat mulai dan berlakunya Firma;
e. hal-hal lain dan clausula-clausula mengenai pihak ketiga terhadap para
pesero.

C. Pengumuman
Diatur dalam Ketentuan Pasal 28 KUHD bahwa setelah mendapat nomor dan tanggal pendaftaran dari kepaniteraan Pengadilan Negeri, Akta Pendirian atau ikhtisar resminya tersebut harus diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
5. Prosedur Pembubaran Firma
Firma dari suatu perseroan yang telah dibubarkan dapat dilanjutkan oleh seorang atau lebih, baik atas kekuatan perjanjian pendiriannya maupun bila diizinkan dengan tegas oleh bekas pesero yang namanya disebut di situ, atau bila dalam hal adanya kematian, para ahli warisnya tidak menentangnya, dan dalam hal itu untuk membuktikannya harus dibuat akta, dan mendaftarkannya dan mengumumkannya dalam surat kabar resmi atas dasar dan dengan cara yang ditentukan dalam pasal 23 dan berikutnya, serta dengan ancaman hukuman yang tercantum dalam pasal 29.
Pembubaran sebuah perseroan firma sebelum waktu yang ditentukan dalam perjanjian, atau terjadi karena pelepasan diri atau penghentian, perpanjangan waktu setelah habis waktu yang ditentukan, demikian puia segala perubahan yang diadakan dalam petikan yang asli yang berhubungan dengan pihak ketiga, diadakan juga dengan akta otentik, dan terhadap ini berlaku ketentuan-ketentuan pendaftaran dan pengumuman dalam surat kabar resmi seperti telah disebut.
Kelalaian dalam hal itu mengakibatkan, bahwa pembubaran, pelepasan diri, penghentian atau perubahan itu tidak berlaku terhadap pihak ketiga. Terhadap kelalaian mendaftarkan dan mengumumkan dalam hal perpanjangan waktu perseroan, berlaku ketentuan-ketentuan pasiti 29. (KUHPerd. 1646 dst.; KUHD 22, 26, 30.)
Pada pembubaran perseroan, para pesero yang tadinya mempunyai hak mengurus harus membereskan urusan-urusan bekas perseroan itu atas nama firma itu juga, kecuali bila dalam perjanjiannya ditentukan lain , atau seluruh pesero (tidak termasuk para pesero komanditer) mengangkat seorang pengurus lain dengan pemungutan suara seorang demi scorang dengan suara terbanyak. Jika pemungutan suara macet, raad van justitie mengambil keputusan sedemikian yang menurut pendapatnya paling layak untuk kepentingan perseroan yang dibubarkan itu. (KUHPerd. 1652; KUHD 17, 20, 22, 31, 56; Rv. 6-50, 99.)
Bila keadaan kas perseroan yang dibubarkan tidak mencukupi untuk membayar utang-utang yang telah dapat ditagih, maka mereka yang bertugas untuk membereskan keperluan itu dapat menagih uang yang seharusnya akan dimasukkan dalam perseroan oleh tiap-tiap pesero menurut bagiannya masing-masing (KUHD 18, 22.). Uang yang selama pemberesan dapat dikeluarkan dari kas perseroan, harus dibagikan sementara. (KUHD 33.)
Setelah pemberesan dan pembagian itu, bila tidak ada perjanjian yang menentukan lain, maka buku-buku dan surat-surat yang dulu menjadi milik perseroan yang dibubarkan itu tetap ada pada pesero yang terpilih dengan suara terbanyak atau yang ditunjuk oleh raad van justitie karena macetnya pemungutan suara, dengan tidak mengurangi kebebasan para pesero atau para penerima hak untuk melihatnya. (KUHPerd. 1801 dst., 1652, 1885; KUHD 12, 56.)




PROSEDUR PENDIRIAN DAN PEMBUBARAN
COMMANDITAIRE VENNOOTSCHAP (CV)
(KETENTUAN PASAL 19 – 35 KUHD)

1. Pengertian Commanditaire Vennootschap (CV)
ialah Persekutuan firma yang memiliki satu atau beberapa orang sekutu komanditer. Sekutu Komanditer ialah sekutu yang hanya menyerahkan uang, barang atau tenaga sebagai pemasukan kepada Persekutuan, dan ia tidak ikut campur dalam pengurusan atau-pun penguasaan dalam Persekutuan.
2. Sifat Dan Ciri Commanditaire Vennootschap (CV).
• Sulit untuk menarik modal yang telah disetor
• Modal besar karena didirikan banyak pihak
• Mudah mendapatkan kredit pinjaman
• Ada anggota aktif yang memiliki tanggung jawab tidak terbatas dan ada yang pasif tinggal menunggu keuntungan
• Relatif mudah untuk didirikan
• Kelangsungan hidup perusahaan CV tidak menentu.
3. Dasar Hukum Pendirian Commanditaire Vennotschap (CV) Pasal 19 – 35 KUHD.
Sementara Pasal 19, 20 dan 21 adalah aturan untuk Persekutuan Komanditer. Pasal 19 (a) KUHD mengatur bahwa “Persekutuan secara melepas uang/Persekutuan komanditer, didirikan atas satu atau beberapa orang yang bertanggung-jawab secara pribadi untuk keseluruhan dengan satu atau beberapa orang pelepas uang”. Terdapatnya aturan Persekutuan komanditer diantara/ didalam aturan mengenai firma, karena Persekutuan komanditer juga termasuk kedalam bentuk firma dalam arti khusus, yang kekhususannya terletak dari adanya persekutuan komanditer, sementara sekutu jenis ini tidak ada pada bentuk firma (yang ada dalam firma hanya bentuk “sekutu kerja” atau “Firman”).
4. Prosedur Pendirian Commanditaire Vennotschap (CV)
Tata cara atau prosedur pendirian Perseroan Komanditer (CV) dapat dilakukan dengan lisan ataupun tulisan, baik akta di bawah tangan maupun akta notaris
Pendataran serta pengumuman pendirian Perseroan Komanditer (CV) tidak di atur di KUHD, tetapi di dalam praktek di adakan juga pendirian, pendaftaran, dan pengumumanberdasarkanakta notaris. Jadi pendirian CV Mengenai hal tidak ada pengaturan khusus bagi CV, sehingga dalam pendirian CV adalah sama dengan pendirian Firma, bisa didirikan secara lisan (konsesuil diatur dala Pasal 22 KUHD dikatakan bahwa tiap-tiap perseroan firma harus didirikan dengan AKTA OTENTIK, akan tetapi ketiadaan akta demikian, tidak dapat dikemukakan untuk merugikan publik / pihak ketiga).
Pada prakteknya di Indonesia telah menunjukkan suatu kebiasaan bahwa orang mendirikan CV berdasarkan Akta Notaris (Otentik), didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang berwenang, dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara R.I. Karena adanya kesamaan dalam pendirian tersebut dengan CV.

Pendirian, Pendaftaran Dan Pengumuman CV.
Para pendiri CV diwajibkan untuk mengumumkan ihtisar resmi akta pendiriannya dalam Tambahan Berita Negara R.I. (Pasal 28 KUHD); kedua pekerjaan ini bisa dilimpahkan kepada Notaris yang membuat akta.
Adapun ihtisar isi resmi dari Akta Pendirian CV meliputi :
a. Nama lengkap, pekerjaan & tempat tinggal para pendiri;
b. Penetapan nama CV;
c. Keterangan mengenai CV itu bersifat umum atau terbatas untuk menjalankan
sebuah perusahaan cabang secara khusus;
d. Nama sekutu yang tidak berkuasa untuk menandatangani perjanjian atas nama
persekutuan;
e. Saat mulai dan berlakunya CV;
f. Clausula-clausula lain penting yang berkaitan dengan pihak ketiga terhadap sekutu pendiri;
g. Pendaftaran akta pendirian ke PN harus diberi tanggal;
h. Pembentukan kas (uang) dari CV yang khusus disediakan bagi penagih dari pihak ketiga, yang jika sudah kosong berlakulah tanggung jawab sekutu secara pribadi untuk keseluruhan;
i. Pengeluaran satu atau beberapa sekutu dari wewenangnya untuk bertindak atas nama persekutuan.
5. Prosedur Pembubaran CV
Firma dari suatu perseroan yang telah dibubarkan dapat dilanjutkan oleh seorang atau lebih, baik atas kekuatan perjanjian pendiriannya maupun bila diizinkan dengan tegas oleh bekas pesero yang namanya disebut di situ, atau bila dalam hal adanya kematian, para ahli warisnya tidak menentangnya, dan dalam hal itu untuk membuktikannya harus dibuat akta, dan mendaftarkannya dan mengumumkannya dalam surat kabar resmi atas dasar dan dengan cara yang ditentukan dalam pasal 23 dan berikutnya, serta dengan ancaman hukuman yang tercantum dalam pasal 29.
Pembubaran sebuah perseroan firma sebelum waktu yang ditentukan dalam perjanjian, atau terjadi karena pelepasan diri atau penghentian, perpanjangan waktu setelah habis waktu yang ditentukan, demikian puia segala perubahan yang diadakan dalam petikan yang asli yang berhubungan dengan pihak ketiga, diadakan juga dengan akta otentik, dan terhadap ini berlaku ketentuan-ketentuan pendaftaran dan pengumuman dalam surat kabar resmi seperti telah disebut.
Kelalaian dalam hal itu mengakibatkan, bahwa pembubaran, pelepasan diri, penghentian atau perubahan itu tidak berlaku terhadap pihak ketiga. Terhadap kelalaian mendaftarkan dan mengumumkan dalam hal perpanjangan waktu perseroan, berlaku ketentuan-ketentuan pasiti 29. (KUHPerd. 1646 dst.; KUHD 22, 26, 30.)
Pada pembubaran perseroan, para pesero yang tadinya mempunyai hak mengurus harus membereskan urusan-urusan bekas perseroan itu atas nama firma itu juga, kecuali bila dalam perjanjiannya ditentukan lain , atau seluruh pesero (tidak termasuk para pesero komanditer) mengangkat seorang pengurus lain dengan pemungutan suara seorang demi scorang dengan suara terbanyak. Jika pemungutan suara macet, raad van justitie mengambil keputusan sedemikian yang menurut pendapatnya paling layak untuk kepentingan perseroan yang dibubarkan itu. (KUHPerd. 1652; KUHD 17, 20, 22, 31, 56; Rv. 6-50, 99.)
Bila keadaan kas perseroan yang dibubarkan tidak mencukupi untuk membayar utang-utang yang telah dapat ditagih, maka mereka yang bertugas untuk membereskan keperluan itu dapat menagih uang yang seharusnya akan dimasukkan dalam perseroan oleh tiap-tiap pesero menurut bagiannya masing-masing (KUHD 18, 22.). Uang yang selama pemberesan dapat dikeluarkan dari kas perseroan, harus dibagikan sementara. (KUHD 33.)
Setelah pemberesan dan pembagian itu, bila tidak ada perjanjian yang menentukan lain, maka buku-buku dan surat-surat yang dulu menjadi milik perseroan yang dibubarkan itu tetap ada pada pesero yang terpilih dengan suara terbanyak atau yang ditunjuk oleh raad van justitie karena macetnya pemungutan suara, dengan tidak mengurangi kebebasan para pesero atau para penerima hak untuk melihatnya. (KUHPerd. 1801 dst., 1652, 1885; KUHD 12, 56.)

Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan

Pencegahan Perkawinan

1. Tujuan
Untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang oleh hukum Islam dan peraturan perundang-undangan

2. Syarat
a. Apabila calon suami atau isteri tidak memenuhi syarat-syarat hukum Islam dan perundang-undangan.
b. Apabila calon mempelai tidak sekufu karena perbedaan agama

3. Pihak yang dapat melakukan pencegahan
a. Keluarga garis lurus ke atas dan ke bawah.
b. Saudara.
c. Wali nikah.
d. Wali pengampu.
e. Suami atau isteri (lain) yang masih terikat perkawinan dengan calon suami atau isteri tersebut.
f. Pejabat pengawas perkawinan.

4. Prosedur pencegahan.
a. Pemberitahuan kepada PPN setempat.
b. Mengajukan permohonan pencegahan ke Pengadilan Agama setempat.
c. PPN memberitahukan hal tersebut kepada calon mempelai.

1. Akibat hukum: perkawinan tidak dapat dilangsungkan, selama belum ada pencabutan pencegahan perkawinan.

2. Cara pencabutan dengan menarik kembali permohonan pencegahan perkawinan pada Pengadilan Agama oleh yang mencegah dan dengan putusan Pengadilan Agama.

3. PPN tidak boleh melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan walaupun tidak ada pencegahan perkawinan, jika ia mengetahui adanya pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, 9,10 atau 12 UUP.

? Penolakan Perkawinan
a. Penolakan dilakukan oleh PPN, apabila PPN berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut terdapat larangan menurut UUP.
b. Acara :
1) Atas permintaan calon mempelai, PPN mengeluarkan surat keterangan tertulis tentang penolakan tersebut disertai dengan alasannya.
2) Calon mempelai tersebut berhak mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama (wilayah PPN tersebut) dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut untuk memberikan.
3) Pengadilan Agama akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memberikan ketetapan berupa : menguatkan penolakan tersebut atau memerintahkan perkawinan tersebut dilangsungkan.

B. Pembatalan Perkawinan

Ketentuan Pasal 22 UUP menyatakan bahwa: ?Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan? Dalam Penjelasan Pasal 22 disebutkan bahwa pengertian ?dapat? pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain. Dengan demikian, jenis perkawinan di atas dapat bermakna batal demi hukum dan bisa dibatalkan.
Lebih lanjut menurut Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 3 Tahun 1975 ditentukan bahwa ?Apabila pernikahan telah berlangsung kemudian ternyata terdapat larangan menurut hukum munakahat atau peraturan perundang-undanagan tentang perkawinan, maka Pengadilan Agama dapat membatalkan pernikahan tersebut atas permohonan pihak-pihak yang berkepentingan?.

1. Perkawinan dapat dibatalkan (Pasal 71 - 76 KHI), apabila:
a) Suami melakukan poligami tanpa ijin dari Pengadilan Agama.
b) Perempuan yang dinikahi ternyata masih menjadi isteri pria lain yang mafqud.
c) Perempuan yang dinikahi ternyata masih dalam masa iddah dari suami lain.
d) Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan.
e) Perkawinan yang dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak..
f) Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

2. Perkawinan batal (Pasal 70) apabila:
a) Seorang suami melakukan poligami padahal dia sudah mempunyai 4 orang isteri, sekalipun salah satu dari keempat isteri tersebut sedang dalam iddah talak raj?i.
b) Menikahi kembali bekas isteri yang telah di li ?an.
c) Menikahi bekas isterinya yang telah ditalak tiga kali (kecuali ?).
d) Perkawinan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda dan susuan.
e) Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari isterinya.

3. Pembatalan perkawinan karena adanya ancaman, pempuan atau salah sangka. Suami atau isteri dapat mengajukan pembatalan perkawinan apabila:
a) Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.
b) Pada waktu dilangsungkan perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isterinya.
c) Bila ancaman telah terhenti atau yang bersalah sangka menyadari keadaannya, dan dalam waktu 6 bulan setelah itu tetap hidup sebagai suami isteri dan tidak menggunakan haknya, maka haknya menjadi gugur.

4. Pihak yang dapat mengajukan pembatalan:
a) Pihak keluarga suami atau isteri dalam garis lurus ke atas dan ke bawah.
b) Suami atau isteri
c) Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan.
d) Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacad pada rukun dan syarat perkawinan menurut hukum.

5. Acara pembatalan perkawinan
Permohonan pembatalan diajukan ke Pengadilan Agama dimana suami atau isteri bertempat tinggal atau di tempat perkawinan dilangsungkan.

6. Akibat hukum
a) Pembatalan perkawinan berarti adanya putusan pengadilan yang menyatakan bahwa perkawinan yang dilaksanakan adalah tidak sah. Akibat hukum dari pembatalan tersebut adalah bahwa perkawinan tersebut menjadi putus dan bagi para pihak yang dibatalkan perkawinannya kembali ke status semula karena perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada dan para pihak tersebut tidak mempunyai hubungan hukum lagi dengan kerabat dan bekas suami maupun isteri.
b) Batalnya perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum telap, tetapi berlaku surut sejak saat berlangsungnya perkawinan.
c) Keputusan pembatalan tidak berlaku surut terhadap :
? Perkawinan yang batal karena suami atau isteri murtad;
? Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
? Pihak ketiga yang mempunyai hak dan beritikad baik.;
? Batalnya perkawinan tidak memutus hubungan hukum anak dengan orang tua.
d) Perbedaan dengan perceraian dalam hal akibat hukum :
(1) Keduanya menjadi penyebab putusnya perkawinan, tetapi dalam perceraian bekas suami atau isteri tetap memiliki hubungan hukum dengan mertuanya dan seterusnya dalam garis lurus ke atas, karena hubungan hukum antara mertua dengan menantu bersifat selamanya.
(2) Terhadap harta bersama diserahkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk bermusyawarah mengenai pembagiannya karena dalam praktik tidak pernah diajukan ke persidangan dan di dalam perundang-undangan hal tersebut tidak diatur.

e) Catatan: Dalam pembatalan perkawinan ada istilah fasaakh dan fasid

Perbedaan antara Legalisasi dan Register (Waarmerking)

1. Legalisasi

Artinya, dokumen/surat yang dibuat di bawah tangan tangan tersebut ditanda-tangani di hadapan notaris, setelah dokumen/surat tersebut dibacakan atau dijelaskan oleh Notaris yang bersangkutan. Sehingga tanggal dokumen atau surat yang bersangkutan adalah sama dengan tanggal legalisasi dari notaris. Dengan demikian, notaris menjamin keabsahan tanda-tangan dari para pihak yang dilegalisir tanda-tangannya, dan pihak (yang bertanda-tangan dalam dokumen) karena sudah dijelaskan oleh notaris tentang isi surat tersebut, tidak bisa menyangkal dan mengatakan bahwa ybs tidak mengerti isi dari dokumen/surat tersebut.

Untuk legalisasi ini, kadang dibedakan oleh notaris yang bersangkutan, dengan Legalisasi tanda-tangan saja. Dimana dalam legalisasi tanda-tangan tersebut notaris tidak membacakan isi dokumen/surat dimaksud, yang kadang-kadang disebabkan oleh beberapa hal, misalnya: notaris tidak mengerti bahasa dari dokumen tersebut (contohnya: dokumen yang ditulis dalam bahasa mandarin atau bahasa lain yang tidak dimengerti oleh notaris yang bersangkutan) atau notaris tidak terlibat pada saat pembahasan dokumen di antara para pihak yang bertanda-tangan.

2. Register (Waarmerking)

Artinya, dokumen/surat yang bersangkutan di daftar dalam buku khusus yang dibuat oleh Notaris. Biasanya hal ini ditempuh apabila dokumen/surat tersebut sudah ditanda-tangani terlebih dahulu oleh para pihak, sebelum di sampaikan kepada notaris yang bersangkutan.

Contohnya: Surat Perjanjian Kerjasama tertanggal 1 Januari 2008 yang ditanda-tangani oleh Tuan A dan Tuan B. Jika hendak di legalisir oleh Notaris pada tanggal 18 Januari 2008, maka bentuknya tidak bisa legalisasi biasa, melainkan hanya bisa didaftar (waarmerking) saja.

Jika ditinjau dari sudut kekuatan hukumnya untuk pembuktian, maka tentu saja lebih kuat Legalisasi daripada Register (waarmerking). Ada dokumen-dokumen tertentu yang akan digunakian sebagai kelengkapan suatu proses mutlak diminta harus dilegalisir, misalnya: di kantor Pertanahan, surat persetujuan dari ahli waris untuk menjaminkan tanah dan bangunan, atau surat persetujuan isteri untuk menjual tanah yang terdaftar atas

nama suaminya dan lain sebagainya. Kalau surat/dokumen tersebut tidak dilegalisir oleh notaris, maka biasanya dokumen tersebut tidak dapat diterima sebagai kelengkapan proses Hak Tanggungan atau jual beli yang dimaksud. Terpaksa pihak yang bersangkutan harus membuat ulang persetujuan dan melegalisirnya di hadapan notaris setempat.

Rabu, 02 Juni 2010

Pengembalian Nama Baik dan Rehabilitasi

Ganti kerugian terdapat dalam hukum perdata dan pidana. Namun antara keduanya memiliki perbedaan. Dalam hukum pidana, ruang lingkup pemberian ganti kerugian lebih sempit dibandingkan dengan pemberian ganti kerugian dalam hukum perdata. Ganti kerugian yang akan dibicarakan dalam talkshow kali ini adalah ganti kerugian dalam hukum pidana.

Ruang lingkup ganti kerugian dalam hukum perdata lebih luas daripada ganti kerugian dalam hukum pidana, karena ganti kerugian dalam hukum perdata (mengacu pada Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata) adalah mengembalikan penggugat ke dalam keadaan yang semula sebelum kerugian yang ditimbulkan oleh tergugat terjadi. Dalam hukum perdata ganti kerugian bisa dimintakan setinggi tingginya (tidak ada jumlah minimum dan maksimum) mencakup kerugian materil dan kerugian immaterial. Kerugian materil yaitu kerugian yang bisa dihitung dengan uang, kerugian kekayaan yang biasanya berbentuk uang, mencakup kerugian yang diderita dan sudah nyata-nyata ia derita. Sedangkan kerugian immaterial/kerugian idiil atau kerugian moril, yaitu kerugian yang tidak bisa dinilai dalam jumlah yang pasti. Misalnya rasa ketakutan, kehilangan kesenangan atau cacat anggota tubuh Sebagai contoh A beli buku tulis. Namun A tidak mendapat buku tulis itu meskipun ia telah membayar sejumlah uang untuk membeli buku tulis tersebut (kerugian materil). Seandainya A mendapat buku tulis tersebut, buku itu bisa ia pakai untuk menulis, dan dari hasil menulis itu A bisa membuat novel dan menjual novel tersebut untuk mendapatkan uang (kerugian immaterial).

Sedangkan ganti kerugian dalam hukum pidana hanya terhadap ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak korban. Artinya yang immateril itu tidak termasuk. Ganti kerugian dalam hukum pidana dapat diminta terhadap 2 perbuatan, yaitu karena perbuatan aparat penegak hukum dan karena perbuatan terdakwa.

Dalam ganti kerugian karena perbuatan aparat penegak hukum, pihak yang berhak mengajukan permohonan ganti kerugian terhadap perbuatan aparat penegak hukum itu adalah tersangka, terdakwa atau terpidana. Tersangka atau terdakwa dapat mengajukan ganti kerugian jika terjadi penghentian penyidikan ataupun penuntutan atas perkaranya dia. Tersangka atau terdakwa juga dapat melakukan gugatan ganti kerugian lewat praperadilan. Tetapi untuk terdakwa yang sudah diputus perkaranya, dan dalam putusan itu dia dinyatakan tidak bersalah, maka dia bisa mengajukan ganti kerugian juga atas perbuatan ini karena dia sudah dirugikan. Dia bisa mengajukan permohonan ke pengadilan setidak-tidaknya dalam jangka waktu 3 bulan sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap (diatur di dalam PP 27/1983. 3 bulan). Jika permohonan diajukan setelah lewat 3 bulan maka ia sudah tidak memiliki hak lagi untuk mengajukan ganti kerugian.

Seorang tersangka, terdakwa, terpidana dapat mengajukan ganti kerugian jika penahanan, penangkapan, penggeledahan, pengadilan dan tindakan lain (tindakan diluar penangkapan, penahanan, penyidikan, penuntutan, dan tindakan tersebut memang tidak seharusnya dilakukan kepada tersangka oleh aparat penegak hukum) atas dirinya tanpa alasan yang berdasarkan UU atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Sebagai contoh adalah kasus Baasyir. Baasyir menuntut ganti kerugian atas tindakan terhadap dirinya yang diambil paksa oleh aparat pada saat dirinya dirawat di rumah sakit. Pada kenyataannya Ba’asyir memang mengajukan praperadilan dan ganti kerugian atas tindakan itu, karena tindakan yang dilakukan oleh aparat dalam melakukan penangkapan dan penahanannya itu menurut Ba’asyir dan penasehat hukumnya tidak sah.

Saat yang tepat untuk mengajukan ganti kerugian atas sah tidaknya penangkapan atau sah tidaknya penahanan adalah sekaligus pada saat mengajukan praperadilan (sebelum pengadilan dimulai). Seorang tersangka atau terdakwa tidak bisa menuntut ganti kerugian yang besarnya semaunya/sesuka-suka dia, karena KUHAP menentukan jumlah maksimal tuntutan ganti kerugian yang dapat dimintakan, yaitu minimal Rp.5.000,- dan maksimal Rp. 1 juta atau Rp.3 juta (jika tindakan aparat penegak hukum telah menyebabkan sakit atau cacat).

Apabila permohonan ganti kerugian atas akibat penghentian penyidikan ataupun penuntutan, itu melawati jalur praperadilan. Itu sama saja berarti seperti kita mengajukan praperadilan. Acara praperadilan diatur dalam Pasal 82 ayat (1) KUHAP, acaranya itu sama saja seperti mengajukan praperadilan, yaitu mengajukan permohonan ke pengadilan negeri, yang memang berwenang, 3 hari setelah saya mengajukan permohonan tersebut pengadilan harus sudah menetapkan hari sidang,. Hakim dalam praperadilan hanya berjumlah satu orang dengan persidangan yang dilakukan secara cepat paling lama selama 7 hari. Setalah itu hakim harus sudah menjatuhkan putusan atas permohonan praperadilan ganti kerugian yang dimohonkan tersebut.

Jika terdakwa bebas, tuntutan ganti kerugian dimohonkan ke pengadilan negeri dalam jangka waktu maksimal 3 bulan sejak putusan bebas berkekuatan hukum tetap. Dalam jangka waktu 3 hari setelah permohonan diterima pengadilan negeri harus menentukan hakim yang akan memutus permohonan tersebut. Dalam hal ini (masalah ganti kerugian) sebisa mungkin hakimnya adalah hakim yang memutuskan yang dulu menangani perkara yang bersangkutan. Namun tidak terutup kemungkinan pada prakteknya hakim yang menangani permohonan ganti kerugian akan berbeda misalnya karena hakim yang menangani dimutasi atau sibuk dengan kasus lain. Permohonan ganti kerugian tersebut harus sudah diputus maksimal 7 hari setelah sidang pertama. Bentuk putusan tersebut berupa penetapan yang berisi besar jumlah ganti kerugian atau mungkin juga penolakan atas permohonan ganti kerugian.

Setelah penetapan dikeluarkan maka akan dilaksanakan eksekusi yang dilaksanakan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan mengenai eksekusi. Prosesnya adalah sebagai berikut: ketua pengadilan negeri setempat yang memeriksa perkara tersebut mengajukan permohonan penyediaan dana kepada menteri kehakiman c.q. sekretaris jenderal depkeh yang selanjutnya akan meneruskan kepada menteri keuangan c.q. dirjen anggaran dengan menerbitkan surat keputusan otorisasi. Ada surat keputusan SKO gitu. Kemudian aslinya itu akan disampaikan kepada si terdakwa. Setelah SKO itu diterima maka ia mengajukan pembayaran kepada kantor perbendaharaan negara melalui ketua pengadilan setempat. Jadi pada dasarnya terdakwa itu hanya ke pengadilan negeri dan yang melaksanakan segala prosedur adalah pengadilan negeri. Proses ini biasanya akan memakan waktu sekitar 6 bulan sampai 1 tahun.

Ganti kerugian karena perbuatan aparat penegak hukum syarat-syaratnya antara lain adanya penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, dsb yang diminta melalui praperadilan. Tapi tanpa praperadilan pun bisa yaitu melalui permohonan permintaan ganti kerugian yang jumlahnya minimal adalah Rp.5000,- dan maksimal 1 juta rupiah, sementara kalau misalnya ada cacat tetap maupun tidak itu maksimalnya 3 juta rupiah. Prosedur untuk permintaan ganti kerugian melalui praperadilan itu berbarengan, bersamaan dengan gugatan praperadilan. Sementara prosedur permintaan ganti kerugian diluar praperadilan itu diajukan kepada PN yang memeriksa perkara atau kasus tersebut.

Dasar hukum adanya ganti kerugian karena perbuatan terdakwa adalah Pasal 98 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan bahwa jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam pemeriksaan perkara pidana oleh PN menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara ganti kerugian itu kepada perkara pidana. Ganti kerugian karena perbuatan terdakwa diajukan oleh korban. Korban disini bisa korban atas perbuatan (misalnya terdakwa melakukan perbuatan tindak pidana yang mengakibatkan luka berat atau meninggal yang disebabkan karena pengeroyokan atau kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama) atau misalnya pelanggaran terhadap pasal 187/188 KUHP (kebakaran yang disebabkan karena kelalaian atau kesengajaan terdakwa), kejahatan-kejahatan terhadap kesusilaan yang menimbulkan kerugian, kejahatan yang dilakukan dengan kekerasan termasuk penganiayaan, pembunuhan. Intinya adalah kejahatan-kejahatan yang menimbulkan korban dan korban tersebut mendapatkan kerugian.

Korban dapat menggabungkan perkara ganti kerugian tersebut kepada perkara pidana. Tujuannya adalah untuk mempercepat proses memperbaiki ganti kerugian tersebut. Korban juga bisa mengajukan gugatan ganti kerugian melalui hukum acara perdata, namun prosesnya akan lama dibandingkan jika permohonan ganti kerugian digabungkan dengan perkara pidananya. Besarnya jumlah ganti kerugian ini hanya terbatas pada penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan. Artinya kalau misalnya korban mengalami luka-luka dan dia harus ke rumah sakit, maka hanya biaya Rumah Sakit saja yang dapat diminta ganti kerugian. Jika korban mempunyai tuntutan lain seperti tuntutan immateril karena dirinya cacat, maka gugatan immaterilnya itu harus diajukan sebagai perkara perdata biasa dan tidak bisa digabungkan ke perkara pidana. Jika tindak pidana dilakukan oleh banyak orang (tindak pidana massal) maka polisi akan mencari siapa-siapa saja yang menjadi tersangka/terdakwa sebagai orang yang bertanggungjawab secara pidana dan hanya kepada tersangka/terdakwa itulah ganti kerugian dimintakan.

Penggabungan perkara ganti kerugian dalam suatu perkara pidana ini merupakan suatu hak yang diberikan oleh KUHAP kepada korban. Kepada korban KUHAP memberikan hak kepada mereka untuk mengajukan gugatan ganti kerugian. Gugatan ganti kerugian ini memang pada saatnya bersifat perdata namun diajukan pada saat perkara pidana ini berlangsung dengan alasan agar prosesnya lebih cepat.

Ganti kerugian yang dimohonkan oleh korban dilakukan bersamaan dengan proses pemeriksaan terdakwa di pengadilan, yaitu sebelum jaksa penuntut umum mengajukan tuntutannya atau requisitornya. Bisa juga dia tidak mengajukannya sendiri melainkan meminta tolong kepada jaksa penuntut umum untuk memasukkan permohonan ganti kerugian dalam tuntutannya. Namun hal ini sangat jarang terjadi. Dalam persidangan dengan acara cepat (seperti praperadilan, pelanggaran lalu lintas, pencemaran nama baik, penghinaan ringan, tindak pidana ringan) dimana persidangan dilakukan tanpa adanya jaksa penuntut umum, korban dapat mengajukan permintaan ganti kerugian setidak-tidaknya sebelum hakim memutus perkara tersebut.

Dalam hal penggabungan perkara pidana dan perdata, maka eksekusi ganti kerugian dilakukan menurut hukum acara perdata. Seandainya pihak terdakwa, terpidana dapat membayar ganti kerugian kepada korban maka menurut Surat Keterangan Menteri Kehakiman pihak korban bisa mengajukan permintaan secara lisan maupun tertulis kepada ketua PN yang memeriksa perkara tersebut agar permohonan ganti kerugian itu dieksekusi. Berdasarkan permohonan eksekusi tersebut ketua PN memanggill terpidana untuk membayar ganti kerugian. Jika ternyata terpidana tidak mampu atau tidak bisa membayar maka hakim menetapkan untuk menyita barang bergerak milik terpidana sesuai dengan jumlah ganti kerugian yang ditetapkan. Jika ternyata barang bergerak tersebut jumlahnya tidak mencukupi, maka hakim dapat menetapkan penyitaan eksekutorial, yaitu penyitaan terhadap barang yang tidak bergerak. Jadi dalam eksekusi pidana pihak yang melakukan eksekusi adalah jaksa. Namun dalam perkara penggabungan pidana dan perdata, eksekusi pidana dilakukan oleh jaksa, sedangkan untuk masalah ganti kerugian perdatanya eksekusi dilaksanakan oleh panitera dibantu dengan juru sita.

Jika korban tidak mengetahui bahwa dalam permohonan ganti kerugian diajukan oleh korban kepada terdakwa hanya sebatas biaya yang telah dikeluarkan, maka putusan hakim kemungkinan akan berbunyi putusan tidak dapat diterima dan harus diajukan sebagai perkara perdata biasa karena permohonannya lebih dari jumlah yang dikeluarkan dan harus diajukan sebagai perkara perdata biasa, maka korban dapat mengajukan gugatan secara perdata biasa, tidak digabungkan dengan pidananya, korban dapat langsung menggugat secara perdata saja. Atau mungkin juga hakim memutus tidak dapat diterima gugatan tersebut tanpa adanya embel-embel perintah untuk mengajukan secara perdata. Hal ini bisa dibilang menimbulkan masalah nebis in idem, artinya kalau memang tidak dapat diterima tanpa ada perintah mengajukan secara perdata saja maka korban tidak bisa mengajukan secara perdata.

Sebagai contoh, misalnya terjadi pembunuhan dimana korban meninggal dunia, kemudian terdakwa membayar ganti kerugian kepada keluarga korban dengan akta yang disahkan oleh notaris. Pembayaran ganti kerugian seperti itu tidak membatalkan kasus pidananya. Jadi pembayaran ganti kerugian secara sukarela dari terdakwa untuk korbannya itu tidak menghapuskan perkara pidananya untuk perbuatan dia. Mengenai apakah si korban bisa lagi meminta ganti kerugian maka hal itu tergantung pada isi dari akta notaris tersebut.

Apabila dari pihak korban ngga sesuai dengan permintaannya dia itu tergantung dengan terdakwa atau terpidananya. Kalau misalnya terpidananya mengajukan banding. Misalnya terpidananya diputus bersalah dan harus membayar ganti kerugian, lalu terpidananya mengajukan banding atas kasus itu, maka ganti kerugian itu juga bisa dimintakan banding. Kalau misalnya terpidananya tidak mengajukan banding, dia sudah langsung di pengadilan negeri selesai dan putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap maka korban tidak bisa meminta banding karena permohonan ganti kerugian ini mengikuti perkara pidana. Perkara pidana selesai maka permohonan ganti kerugian juga selesai.

Pengertian rehabilitasi menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah pemulihan kepada kedudukan atau keadaan yang dahulu atau semula. Pasal 9 UU No.14 tahun 1970 itu tentang kekuasaan kehakiman mengatakan bahwa seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan berdasarkan UU, atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi. Pengertian rehabilitasi dalam UU ini adalah pemulihan hak seseorang dalam kemampuan atau posisi semula yang diberikan oleh pengadilan. Kemudian menurut Pasal 1 butir 22 KUHAP rehabilitasi adalah hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan berdasarkan UU atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam UU ini. Rehabilitasi mengikuti ganti kerugian. Artinya praperadilan dilakukan karena permohonan ganti kerugian, karena aparat salah melakukan penangkapan, atau tidak sesuai dengan hukum dan sebagainya dan setelah itu (setelah praperadilannya dikabulkan oleh hakim) maka yang bersangkutan bisa meminta rehabilitasi agar nama baiknya dipulihkan kembali.

Pihak-pihak yang berhak mengajukan rehabilitasi itu adalah pihak yang diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Misalnya seseorang diadili, kemudian diputuskan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, maka dia itu berhak memperoleh rehabilitasi atas pemulihan nama baiknya.

Perbedaan antara rehabilitasi dengan pencemaran nama baik adalah bahwa rehabilitasi dilakukan karena perbuatan aparat penegak hukum. Artinya si pemohon rehabilitasi adalah tersangka, terdakwa, terpidana yang permohonan praperadilannya dikabulkan (ada campur tangan aparat) karena rehablitasi itu adalah hak yang diberikan oleh KUHAP kepada tersangka atau terdakwa. Rehabilitasi lebih kepada hal yang tidak berhubungan dengan materi melainkan hanya menyangkut nama baik saja karena rehabilitasi adalah pemulihan hak seseorang hak atau kemampuan seseorang dalam posisi semula. Sementara pencemaran nama baik diatur dalam KUHP (mengenai pencemaran nama baik) adalah gugatan dari seseorang kepada orang lain yang dianggap telah mencemarkan nama baiknya. Jadi tidak ada campur tangan aparat dalam hal upaya paksa.

Permintaan rehabilitasi bisa diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya. Jadi ahli waris juga bisa mengajukan rehabilitasi. Begitu juga halnya dengan ganti kerugian.


Bentuk Kesalahan

  1. 1.Kesengajaan

Menurut sejarah dahulu pernah direncanakan dalam undang-undang 1804 bahwa kesengajaan adalah kesengajaan jahat sebagai keinginan untuk bebuat tidak baik, juga pernah dicantumkan di dalam pasal 11 Criminal Wetboek 1809 yang menerangkan bahwa kesengajaan keinginan/maksud untuk melakukan perbuatan atau diharuskan oleh undang-undang. Di dalam WvSr tahun 1881 yang milai berlaku 1 September1886 tidak lagi mencantumkan arti kesengajaan seperti rancangan terdahulu (Jonkers 1946: 45).

Seseorang yang berbuat dengan sengaja itu, harus dikehendaki apa yang diperbuat an harus diketahui pula atas apa yang diperbuat. Tidak termasuk perbuatan dengan sengaja adalah suatu gerakan yang ditimbulkan oleh reflek, gerakan tangkisan yang tidak dikendalikan oleh kesadaran.

Kesengajaan itu secara alternatif, dapat ditujukan kepada tiga elemen perbuatan pidana sehingga terwujud kesengajaan terhadap perbuatan, kesengajaan terhadap akibat dan kesengajaan terhadap hal ikhwal yang menyertai perbuatan pidana.

Teori kehandak yang diajarkan oleh Von Hippel (Jerman) dengan karanganya tentang “Die Grenze von Vorzatz und Fahrlassigkeit” 1903 menerangkan bahwa sengaja adalah kehendak untuk membuat suatu perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan akibat dari perbuatn itu, dengan katta alin apabila seseorang melakukan perbuatan yang tertentu, tentu saja melakukannya itu kehendak menimbulkan akibat tertentu pula, karena ia melakukan perbuatan itu justru dapat dikatan bahwa ia menghendaki akibatnaya, ataupun hal ikhwal yang menyertai.

Teori pengetahuan/dapat membayangkan/persangkaan yang diajarkan oleh Frank (Jerman) dengan karanganya tentang “Vorstelung un Wille in der Moderner Doluslehre” 1907, menerangkan bahwa tidaklah mungkin sesuatu akibat atau hal ikhwal yang menyertai itu tidak dapat dikatakan oleh pembuatnya tentu dapat dikehendakinya pula, karena manusia hanya dapat membayangkan/menyangka terhadap akibat atau hal ikhwal yang menyertai.

Menurt teori keehendak (willstheorie) adalah hal baik terhadap perbuatnnya maupun terhadap akibat atau hal ikhwal yang menyertai, dapat dikehendaki oleh si pembuat, sehingga kesengajaan si pembuat dapat ditujukan kepada perbuatan, akibat dan hal ikhwal yang menyertai. Sebaliknya menurut teori pengetahuian/membayangkan/persangkaan (voorstellingstheorie)bahw aakibat atau hal ikhwal yang menyertai itu tidak dapat dikehendaki oleh si pembuat, sehingga kesengajaan si pembuat hanya dapat dtujukan kepada perbuatan saja.

Dalam kehidupan sehari- hari memang seseorang yang hendak membunuh orang lain, lau menembakkan pistol dan pelurunya meletus ke arah sasaran, maka perbuatan menembak itu dikehendaki oleh si pembuat, akan tetapi akibatnya belum tentu timbul karena meleset pelurunya, yang oleh karena itu si pembuat bukannya menghendaki akibatnya melainkan hanya dapat membayangkan/menyangka (voorstellen) bahwa akibat perbuatannya itu akan timbul. Akibat mati seperti itu tidak tergantung pada kehendak manusia, dan tepatlah alam pikiran dari voorstellingstheorie. De voorstellingstheorie dari Frank menjadi teori yang banyak penganutnya, dan oleh aprof. Moeljanto,S.H untuk teori ini diikuti jalan piikiran bahwa voorstellingstheorielebih memuaskan karena dalam kehendak dengan sendirinya diliputi pengetahuan (gambaran) dimana seseorang untuk menghendaki sesuatu lebih dahulu sudah harus mempunyai pengetahuan (gambaran) tentang sesuatu itu , lagi pula kehendal merupakan arah, maksud atau tujuan, hal mana berhubungan dengan motif (alsan pendorong untuk berbuat) dan tujuannya perbuatan (Prof. Moeljanto,S.H. Kuliah: 224).

3. Beberapa Jenis dan Pengertian Lain Dari Beberapa “Dolus”

Di dalam beberapa literature hokum pidana antara lain tulisan Vos (1950 : 121), Jonkers (1946 : 55) dan D. Hazewinkel Suringa (1968 : !07-108) dapat disusun beberapa jenis dan pengertian yang lain dan pengertian yang lain dari pembagian dolus, yang terdiri atas :

a. dolus generalis, yaitu kesengajaan yang ditujukan kepada orang banyak atau kesengajaan tidak ditujukan kepada orang banyak melainkan kepada seseorang akan tetapi untuk mencapai tujuanya diperlukan lebih banyak perbuatan yang dilakukan. Misalnya, melempar bom ditengah-tengah orang-orang berkerumun.

b. Dolus indirectus, yaittu melakukan suatu perbuatan yang dilarang undang-undang yang terbit akibat lain yang tidak dikehendaki.

Misalnya, mendorong seorang wanita hamil dari suatu tangga sehingga jatuh dengan mengakibatkan gugurnya kandungan. Bangunan dolus yang demikian ini sudah banyak tidak diikuti, seperti halnya sengaja melakukan penganiayaan tetapi akibat perbuatanya si korban menjadi mati, yang dalam peristiwa ini pembuat dituntut pasal 351 ayat 3 dan bukan oleh pasal 338 KUHP.

c. dolus determinatus, yaitu kesengajaan yang ditujukan kepada tukuan tertentu, baik terhadap pada pembuatnya maupun pada akibat perbuatanya. Apabila tujuan yang dimaksudkan hanya semata-mata dipandang sebagai objek tidaklah mempunyai arti karena tidak pernah ada.

d. Dolus indeterminatus, yaitu kesengajaan yang ditujukan kepada sembarang orang atau tidaka mempedulikan apa/siapa saja yang menjadi korban. Misalnya menuangkan racun kedalam mata air sungai dimana tempat itu dipakai untuk keprluan air minum bagi umum.

e. Dolus alternatives, yaitu kesengajaan dari pembuat menghendaki akibat yang satu atau akibat ynag lain, jadi memilih diantara dua akibat. Misalnyasi pembuat bertujuan untuk membunuh terhadap A atau B saja, dan untuk membunuh orang sebanyak mungkin seperti terror yang disebut kesengajaan umum atau generalis;

f. Dolus premiditatus, dan dolus repentitus, yaitu yang peetama merupakan kesengajaan yang dilakukan dengan telah dipertimbangkan masak-masak lebih dahulu dalam hati yang tenang, sedangkan yang kedua merupakan kesengajaan dengan sekonyong-konyong.

Perbedaan antara kedua bentuk kesengajaan itu terletak pada pemberatan pidananya.


4. Suatu Kesengajaan Dapat Terjadi Karena Salah Paham atau Kekeliruan (Dwaling)

Seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang dan diancan dengan pidana oleh peraturan hokum pidana itu dilakukan dengan sengaja karena kekeliruan. Mengenai dwaling ada beberapa bentuk, dan biasanya dibarengi dengan masalah hubungan antara kesengajaan dengan sifat melawan hukum,, yaitu ada tidaknya penginsyafan atas unsur melawan hukum daripada delik. Apabila menginsyafi atas sifat melawan hukum itu berdasarkan atas kesalahfahaman (dwaling) mengenai hal-hal di luar hukum pidana maka di situ tidak ada opzet (feitelijke dwaling), akan tetapi apabila kesalahfahaman itu berdasarkan atas hukum pidan maka di situlah kesalahfaman tidak mempunyai arti sama sekali untuk melepaskan diri dari tuntutan pidana (rechtsdwaling).

a. Feitelijke dwaling

Jika kekeliruan itu ternyata tidak ada kesengajaan yang ditujukan pada salah satu unsur perbuatan pidana, maka perbuatan itu tidak dapat dipidana. Misalnya : seseorang mengira dengan jalan membayar sesuatu barang sudah menjadi pemilik, dengan kemudian atas barng tersebut dipreteli sehingga tidak seperti aslinya laginya lagi padahal pemilikan itu belum sempurna karena belum ada penyerahan yang masih dibebani biaya diluar harga, disini tidak dapat dituntut dengan pasal 406 KUHP. Demikian pula seseorang yang bermaksud mengambil sebuah barang yang dikira kepunyaan orang lain, ternyata barang itu dihibahkan oleh pemilik semula kepadanya, disini tidaka dapat dituntut dengan pasal 362 KUHP

b. Rechtsdwaling & c. Error in persona

Rechtsdwaling


melakukan suatu perbuatan dengan perkiraan bahwa hal itu tidak dilarang oleh undang-undang. Didalam rechtdwaling dapat dibedakan menjadi, kekeliruan yang dapat dimengerti (verscoonbaredwaling) dan kekeliruan yang tidak dapat dimengerti (onverschoonbare dwaling). Misalnya orang irian barat yang biasanya hidup sebelum tahun 1962, masih selalu telanjang bulat, dan kebiasaan telanjang itu dilakukan di tempat lain di jawa, karena itu orang irian barat tidak dapat diharapkan untuk mengetahui undang-undang yang berlaku, sehingga perbuatan itu dapat dimengerti atas kekeliruan hukum yang dikira tidak dilarang (verschoonbare dwaling). Sebaliknya seorang Monaco yang biasanya tidak dilarang untukmengadakan perjudian ditempat umum setelah ia di Indonesia meneruskan mata pencaharian dengan berjudi iti dengan mengira tidak dilarang oleh undang-undang yang sebenarnya terjadi kekeliruan hukum sehingga kepadanya tetap dapat dituntut walaupun ada kekeliruan tentang hukum yang berlaku (onverschoonbare).

Error in persona

Kekeliruan mengenai orang yang menjadi tujuan dai perbuatan pidana. Misalnya A hendak membunuh B, oleh karena belum kenal dekat ternyata yang dikira B yang dibunuh iitu adalah C. perbuatan A itu tidak dapat melepaskan diri dari tuntutan hukum pidana karena kekeliruan.

d. Error in objecto

Kekeliruanmengenai objek yang menjadi tujuan dari perbuatan pidana. Misalnya A melepaskan tembakan kepada suatu sasaran yang dikira seekor rusa, akan tetapi ternyata adah orag yang sedang begerak – gerak dianara pepohonan, sehinga luka parah dan akhirnya meninggal. Dalam peristiwa ini tidak terjadi perbuatan pidana pembunuhan dalam passal 338 KUHP melainkan dapat dituntut karena perbuatan pidana pasal 351 ayat 3 KUHP yang lebuh ringan yaitu menyebabkan matinya seseorang karena penganiayaan.

e. Aberratio ictus

kekeliruan dalam hal ini mempunyai corak lain daripada error in persona karena orangnya, akan tetai karena macam-macam sebab perbuatanya menimbulkan akibat yang berlainan daripada yang di kehendaki. Misalnya A hendak embunuh dengan lemparan pisau kepada B yang tidak mengenainya, akan tetapi terkena pada C yang berdiri di dekat situ. Kepada A dapat dituntut hukum pidana karena kealpaanya menyebabkan metinya orang lain, ataupun tuntutan lainya tergantung dari hasil pemeriksaan sidang dengan hasil kemudian sebagai kejahatan terhadap nyawa orang. Karena jlanya aberratio ictus sedemikian rupa , adakalanya pendapat lain bahwa aberratio ictus itu tidak ada dwaling, melainkan suatu perbuatan pidana yang jalnya kausal menjadi lain dengan apa yang dikehendaki oleh pembuatnya.

Seperti diketahi dalam KUHP dikenal beberapa macam istilah “sengaja” (opzet) sebagaiman dirumuskan pada tiap-tiap pasal. Bebrapa istilah itu dapat dipandang sebagai istilah lain atau sama artinya dengan istilah sengaja, oleh karena MvT telah menetapkan kata sengaja sama artinya telah dikehendaki dan diketahui, willen en watens, seperti misalnya istilah : padahal mengetahui (wetende dat) dalam pasal 220 KUHP, yang diketahui (waarvanhij weet) dalam pasal 275 KUHP, yang telah diketahui (waarvanhij kent) dalam pasal 282 KUHP, dan diketahuinya (waarvan hem beken is) dalam pasal 247 KUHP.

Perjanjian Pra Nikah

Di negara kita yang masih menjunjung tinggi adat ketimuran, menjadi persoalan yang sensitif ketika salah seorang calon pasangan berniat mengajukan untuk membuat perjanjian pra nikah. perjanjian pranikah (Prenuptial Agreement) menjadi suatu hal yang tidak lazim dan dianggap tidak biasa, kasar, materialistik, juga egois, tidak etis, tidak sesuai dengan adat timur dan lain sebagainya

Karena pernikahan dianggap sebagai sesuatu yang sakral, maka perjanjian pranikah masih dianggap sebagai urusan duniawi yang tidak sepantasnya dibicarakan dan dilakukan. Karena kalau dilakukan, lalu akan muncul pertanyaan apa bedanya dengan perjanjian-perjanjian yang biasa dilakukan oleh dua orang yang melakukan transaksi bisnis?

1. Apa yang dimaksud dengan perjanjian pra nikah?

Prenuptial Agreement atau perjanjian pra nikah adalah perjanjian yang dibuat sebelum dilangsungkannya pernikahan dan mengikat kedua calon mempelai yang akan menikah, isinya mengenai masalah pembagian harta kekayaan diantara suami istri yang meliputi apa yang menjadi milik suami atau isteri dan apa saja yang menjadi tanggung jawab suami dan isteri, ataupun berkaitan dengan harta bawaan masing-masing pihak agar bisa membedakan yang mana harta calon istri dan yang mana harta calon suami, jika terjadi perceraian atau kematian disalah satu pasangan.

Biasanya perjanjian pra nikah dibuat untuk kepentingan perlindungan hukum terhadap harta bawaan masing-masing, suami ataupun istri. Memang pada awalnya perjanjian pranikah banyak dipilih oleh kalangan atas yang yang memiliki warisan besar.

2. Apakah membuat perjanjian pra nikah dibenarkan secara hukum dan agama?

Membuat perjanjian pra nikah di perbolehkan asalkan tidak bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan, nilai-nilai moral dan adat istiadat. Hal ini telah diatur sesuai dengan pasal 29 ayat 1 UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu:”Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, keduabelah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai Pencatat perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut”. dalam penjelasan pasal 29 UU No.1/1975 tentang perkawinan, dikatakan Yang dimaksud dengan perjanjian dalam pasal ini tidak termasuk Taklik Talak.

Dalam ayat 2 dikatakan: perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilemana melanggar batas-batas hukum agama dan kesusilaan.

Selain itu Kompilasi Hukum Islam juga memperbolehkan Perjanjian pra nikah sebagaimana dikatakan dalam pasal 47 ayat : “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan”

Konsep perjanjian pra nikah awal memang berasal dari hukum perdata barat KUH Per. Tetapi UU No.1/1974 tentang Perkawinan ini telah mengkoreksi ketentuan KUH Per (buatan Belanda) tentang perjanjian pra nikah. Dalam pasal 139 KUH Per: “Dengan mengadakan perjanjian kawin, kedua calon suami isteri adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan perundang-undangan sekitar persatuan harta kekayaan asal perjanjia itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum dan asal diindahkan pula segala ketentuan di bawah ini, menurut pasal berikutnya”

Bila dibandingkan maka KUH Per hanya membatasi dan menekankan perjanjian pra nikah hanya pada persatuan harta kekayaan saja, sedangkan dalam UU Perkawinan bersifat lebih terbuka, tidak hanya harta kebendaan saja yang diperjanjikan tetapi juga bisa diluar itu sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan, nilai-nilai moral dan adat istiadat

Secara agama, khususnya agama islam dikatakan dalam AQ Al-baqarah :2 dan Hadits: bahwa setiap Mukmin terikat dengan perjanjian mereka masing-masing. Maksudnya, jika seorang Mukmin sudah berjanji harus dilaksanakan. Perjanjian pranikah tidak diperbolehkan bila perjanjian tersebut menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, contohnya : perjanjian pranikah yang isinya, jika suami meninggal dan mereka tidak dikaruniai anak, warisan mutlak jatuh pada istrinya. Padahal dalam Islam, harta suami yang meninggal tanpa dikaruniai seorang anak tidak seluruhnya jatuh kepada sang istri, masih ada saudara kandung dari pihak suami ataupu orangtua suami yang masih hidup.Hal diatas adalah “menghalalkan yang haram" atau contoh lain Perkawinan dengan dibatasi waktu atau namanya nikah mut'ah (kawin kontrak). Suatu Pernikahan tidak boleh diperjanjikan untuk bercerai"

Dalam agama katolik, perjanjian perkawinan yang penting adalah dimana pria dan wanita yang melakukan perkawinan akan membentuk kebersamaan seluruh hidup (Consorsium totius Vitac) diantara mereka menurut sifat kodratnya terarah pada kesejahteraan suami isteri serta pada kelahiran dan pendidikan anak. Sementara untuk agama Hindu, hukum yang mengatur khusus tentang perjanjian perkawinan tidak ada, tetapi yang jelas apabila ada perjanjian yang dibuat bertentangan dengan larangan dalam agama Hindu maka perjanjian itu tidak sah. Begitu pula dengan agama budha, menurut hukum perkawinannya (HPAB) yang telah disahkan pada tanggal 1 Januari 1977, tidak ada aturan khush tentang perjanjian perkawinan, diaman berarti terserah para pihak yang bersangkutan asal perjanjian yang diabuat tidak bertentangan dengan agama Budha Indonesia, UU No. /1975 dan kepentingan Umum (Prof. Hilman Hadikusuma, SH, Hukum perkawinan Indonesia menurut perundang-undangan, hukum adat dan hukum agama, CV. Maju Mandar, Bandung, 1990, hlm. 60)

3. Apa Saja Isi Perjanjian Pranikah?

isi Perjanjian pra nikah diserahkan pada pihak calon pasangan yang akan menikah dengan syarat isinya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, hukum dan agama, Seperti telah dijelaskan diatas dalam point 1.

Bahwa perjanjian pra nikah dasarnya adalah bentuk kesepakatan maka ia termasuk dalam hukum perjanjian buku III KUHPer, sebagaimana Pasal 1338 : para pihak yang berjanji bebas membuat perjanjian selama tidak melanggar kesusilaan, ketertiban umum dan undang-undang.

Biasanya berisi pengaturan penyelesaian dari masalah yang kira-kira akan timbul selama masa perkawinan, antara lain :

- tentang pemisahan harta kekayaan. Pemisahan harta kekayaan yang diperoleh sebelum pernikahan yaitu segala harta benda yang diperoleh sebelum pernikahan dilangsungkan atau yang biasa disebut harta bawaan yang didalamnya bisa termasuk harta warisan atau hibah, disebutkan dalam harta apa saja yang sebelumnya dimiliki suami atau isteri.

Pemisahan harta pencaharian/pendapatan yang diperoleh selama pernikahan atau mengenai tidak adanya percampuran harta pendapatan maupun aset-aset baik selama pernikahan itu berlangsung maupun apabila terjadi perpisahan, perceraian, atau kematian.

Tetapi Untuk hal pemisahan pendapatan para pihak tidak boleh melupakan hak dan kewajiban suami sebagai kepala rumah tangga, seperti dikatakan dalam Pasal 48 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam: “Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan RT”. Dalam ayat 2 dikatakan: “Apabila perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut dalam ayat 1 dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung biaya kebutuhan RT”. Untuk biaya kebutuhan RT istri dapat membantu suami dalam menanggung biaya kebutuhan RT, hal mana bisa diperjanjikan dalam perjanjian pra nikah. Atau mungkin dalam rangka proses cerai, ingin memisahkan harta, bisa saja diperjanjiankan tentang bagaimana cara pembagian harta.

- Pemisahaan harta juga termasuk pemisahan utang, jadi dalam perjanjian pranikah bisa juga diatur mengenai masalah utang yang akan tetap menjadi tanggungan dari pihak yang membawa atau mengadakan utang itu. Utang yang dimaksud adalah utang yang terjadi sebelum pernikahan, selama masa pernikahan, setelah perceraian, bahkan kematian.

- Tidak terbatas pada masalah keuangan saja, isi perjanjian pra nikah bisa meliputi hal-hal yang kira-kira dapat berpotensi menimbulkan masalah selama perkawinan, antara lain hak dan kewajiban suami istri dalam perkawinan, tentang pekerjaan, tentang para pihak tidak boleh melakukan hal-hal sebagaimana diatur dalam Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), tidak adanya percampuran harta pendapatan maupun aset-aset, baik selama pernikahan itu berlangsung maupun apabila terjadi perpisahan, perceraian ataupun kematian, juga tentang warisan dan hibah.

- Pada perjanjian pranikah juga dapat menyebutkan tentang tanggung jawab terhadap anak-anak yang dilahirkan selama perkawinan, baik dari segi pengeluaran sehari-hari, maupun dari segi pendidikan. Walaupun pada prinsipnya semua orang tua bertanggung jawab terhadap pendidikan, kesehatan dan tumbuh kembang anak, sehingga istri juga ikut bertanggung jawab dalam hal ini, itu semua bisa disepakati bersama demi kepentingan anak.

- Bahkan dalam perjanjian pra nikah dapat diperjanjikan bagi pihak yang melakukan poligami diperjanjikan mengenai tempat kediaman, Waktu giliran dan biaya RT bagi isteri yang akan dinikahinya (pasal 52 KHI).

Dalam perjanjian pra nikah itu para pihak tidak bisa mencantumkan klausul penentuan kewarganegaraan apakah anak yang dilahirkan kelak mengikuti kewarganegaraan ayah atau ibu, karena hal tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yaitu UU No.62 tahun 1968 tentang kewarganegaraan, yang menganut asas ius sanguinis yaitu asas seorang anak akan mengikuti kewarganegaraan suami.

Intinya dalam perjanjian pranikah hal hal yang disebutkan didalamnya tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, hukum dan agama, Seperti telah dijelaskan diatas dalam point 1, dan kesepakatan dicapai setelah masing-masing pihak sepakat dan sukarelaan serta tidak ada paksaan.

Pelanggaran atau tidak dijalankannya isi perjanjian pra nikah ini maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan perceraian ke PA atau PN setempat

Biasanya konsep dasar akta perjanjian pra nikah sudah ada di semua notaris, tinggal nanti terserah pada masing-masing calon pasangan untuk menambahkan atau mengurangi. Notaris akan memeriksa bukti kelengkapan yang menunjang isi perjanjian tadi seperti bukti kepemilikan atas harta yang diklaim adalah milik salah satu pihak, Untuk memastikan kebenaran isi akta perjanjian pra nikah. Perjanjian tersebut ditandatangani oleh calon istri, calon suami, notaris dan dua orang saksi.

4. Apakah perjanjian Pranikah bisa dicabut kembali

Perjanjian pra nikah dapat dicabut kembali asalkan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Seperti dikatakan dalam 29 ayat 4 UU Perkawinan : “selama perkawina berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga”.

Hal yang sama dikatakan dalam Pasal 50 ayat 2 KHI; “Perjanjian perkawinan mengenai harta dapat dicabut atas persetujuan bersama suami isteri dan wajib mendaftarkannya di kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan tersebut dilangsungkan’ dan Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga ( Pasal 50 ayat 5 KHI).

Bahwa sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami dan isteri tetapi terhadap pihak ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu diumumkan oleh suami isteri dalam suatu surat kabar setempat (Pasal 50 ayat 3 KHI).

Apabila dalam tempo 6(enam) bulan pengumuman tidak dilakukan yang bersangkutan, pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat pada pihak ketiga ( pasal 50 ayat 4 KHI ).

Esensi pencabutan perjanjian pra nikah juga sejalan dengan ketentuan pasal 1338 KUHPer perjanjian tidak bisa dibatalkan kecuali atas dasar kesepakatan keduabelah pihak.

Perjanjian pra nikah ini berlaku sejak perkawinan tersebut dilangsungkan (Psl 29 ayat 3 UU Perkawinan)

5. Apa manfaat perjanjian pranikah bagi perempuan?

Beberapa manfaat bagi pasangan calon pengantin, khusunya wanita antara lain;

- Bila terjadi perceraian maka perjanjian pranikah ini akan memudahkan dan mempercepat pembagian harta, karena sudah pasti harta yang akan diperoleh masing-masing, sudah jelas apa yang menjadi milik suami dan apa yang menjadi milik istri, tanpa proses yang berbelit belit sebagaimana bila terjadi perceraian.

- Harta yang diperoleh isteri sebelum nikah, harta Bawaan, harta warisan ataupun hibah tidak tercampur dengan harta suami. Menjadi jelas harta milik istri apa saja.

- Dengan adanya pemisahan hutang maka menjadi siapa yang berhutang dan jelas siapa akan yang bertanggung jawab atas hutang tersebut. Untuk melindungi anak dan Isteri, maka isteri bisa menunjukan perjanjian pra nikah bila suatu hari suami meminjam uang ke bank kemudian tidak mampu membayar, maka harta yang bisa diambil oleh Negara hanyalah harta milik pihak tersebut (siapa yang meminjam) atau harta suami bukan dari harta isteri.

- Isteri terhindar dari adanya kekerasan dalam RT, bisa dalam artian fisik ataupun psikis, misalnya istri bisa mengembangkan kemampuannya dengan boleh bekerja, menuntut ilmu lagi, dll Karena tidak jarang terjadi ketidakseimbangan dalam berinteraksi antara suami dan isteri, salah satu pasangan mendominasi yang lain sehingga terjadi perasaan yang terendahkan dan terkekang dalam berekspresi.

- Untuk isteri yang ingin mendirikan PT maka ia bisa bekerjasama dengan suami karena sudah tidak ada lagi penyatuan harta dan kepentingan, bukan pihak yang terafiliasi lagi.

Kesimpulannya :

Perjanjian pranikah tidaklah seburuk yang kita duga, sebab jika kita bisa terlusuri lebih jauh ternyata cukup banyak manfaat yang bisa didapat terutama pagi pasangan yang membutuhkannya dan terutama anak-anak.

Dalam pembuatan perjanjian pranikah, masing masing pihak saling terbuka,tentang maksud dan tujuan perjanjian pranikah, berbagi rasa atas keinginan-keinginan yang hendak disepakati bersama tanpa ada yang perlu ditutup-tutupi, sehingga perasaan salah satu pihak merasa dirugikan tidak terjadi karena satu sama lain sudah mengetahui dan menyetujui dan mau menjalani isi perjanjian tersebut.

Menyelesaikan Perkara Perdata Secara Cepat

SUDAH menjadi rahasia umum, menyelesaikan sengketa perdata di pengadilan sangat menyita waktu, tenaga dan biaya. Akumulasi kekecewaan antara lain menghasilkan berbagai sindiran, seperti "lapor kambing, hilang sapi" untuk menggambarkan bagaimana besarnya pengorbanan yang harus dikeluarkan pihak yang berperkara tersebut.

Akan tetapi, bagaimana jika ternyata kita terpaksa harus menggugat, menjadi tergugat atau menjadi turut tergugat dalam perkara perdata? Apakah kita dapat berusaha untuk menghindar dari proses pemeriksaan di pengadilan yang sangat menyita waktu, tenaga dan biaya tersebut?

Jawabannya, dapat. Salah satu peluangnya terdapat dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 Tahun 2003 yang mewajibkan ditempuhnya proses mediasi sebelum pemeriksaan pokok perkara perdata. Dengan kata lain, jika kita menjadi pihak yang berperkara (penggugat, tergugat maupun turut tergugat), maka kita dapat mengoptimalkan penyelesaian perkara melalui mediasi yang merupakan suatu metode alternatif penyelesaian sengketa atau disingkat dengan istilah MAPS, yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah Alternative Dispute Resolution atau disingkat dengan istilah ADR.

Di negara maju (dan sudah dimulai oleh beberapa perusahaan besar di Indonesia), penyelesaian sengketa melalui MAPS atau ADR bahkan menjadi klausul (pasal) yang selalu dicantumkan dalam kontrak atau perjanjian, sehingga jika ternyata muncul perselisihan di kemudian hari, maka para pihak akan menyelesaikannya melalui lembaga MAPS atau ADR tersebut (tidak melalui pengadilan). Dari hal ini dapat kita cermati bahwa MAPS atau ADR telah menjadi strategi preventif untuk mencegah "terjebaknya" para pihak dalam proses "gugat menggugat" di lembaga peradilan.

Lembaga apa saja yang masuk sebagai MAPS atau ADR ?

Pada dasarnya seluruh mekanisme penyelesaian perkara perdata yang diselesaikan dengan tidak menggunakan prosedur beracara di pengadilan dapat dikategorikan dalam MAPS atau ADR. Pada saat ini, mekanisme tersebut sering kita dengar dengan istilah :

- Negosiasi (penyelesaian melalui perundingan secara bipartit / dua pihak),

- Mediasi / Konsiliasi (negosiasi dengan dibantu oleh mediator / konsiliator) dan

- Arbitrase ( penyelesaian melalui pemeriksaan dan putusan oleh Arbiter ).

Di Indonesia MAPS atau ADR ini bahkan telah telah dilembagakan secara permanen, antara lain BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) yang dibentuk berdasarkan UU No.30 Tahun 1999, serta BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) yang dibentuk berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999.

Apakah MAPS dan ADR adalah konsep negara asing ?

Sebenarnya MAPS atau ADR bukanlah murni konsep negara asing atau negara maju. Mengapa? Karena pada masyarakat adat di Indonesia, sejak dahulu telah dikenal penyelesaian sengketa alternatif, yaitu dengan menggunakan mekanisme penyelesaian secara adat. Dalam proses penyelesaian yang biasanya dipimpin oleh para tokoh atau pemuka adat, pihak-pihak yang bersengketa akan dipertemukan untuk menyelesaikan sengketa berdasarkan hukum adat masyarakat setempat.

Dalam masyarakat perkotaan di Indonesia, penyelesaian sengketa alternatif tidak lagi menggunakan mekanisme lembaga adat, tetapi menggunakan mediator yang menjadi "penengah" pihak-pihak yang bersengketa. Yang berperan sebagai mediator biasanya adalah pimpinan masyarakat setempat, seperti Ketua RT atau Ketua RW atau bahkan tokoh agama.

Mengapa MAPS dan ADR dinilai prospektif ?

Jawabannya bermacam-macam. Akan tetapi secara sederhana, jika dibandingkan dengan proses pemeriksaan di pengadilan, maka ada beberapa kelebihan yang akan kita dapatkan jika kita menyelesaikan perkara melalui MAPS dan ADR, yaitu :

1. Proses penyelesaian relatif lebih sederhana dan singkat.

Proses penyelesaian dalam MAPS dan ADR dapat dibuat sesederhana mungkin oleh para pihak. Sebagai contoh, dalam menyusun suatu kontrak, para pihak dapat mencantumkan klausul penyelesaian perselisihan dalam dua tahap, yaitu negosiasi dan arbitrase. Dengan kata lain, jika terjadi perselisihan maka para pihak akan menyelesaikannya dengan terlebih dahulu melakukan negosiasi dan jika tidak berhasil maka sengketa akan diserahkan kepada Arbitrase. (Perlu diketahui bahwa putusan arbitrase adalah putusan yang final dan mengikat kedua belah pihak).

Sebaliknya, jika kita menyelesaikan sengketa melalui pengadilan, maka para pihak wajib mengikuti seluruh proses yang telah diatur dalam hukum acara perdata yang mengatur tata cara pemeriksaaan perkara. Tahap pemeriksaan di pengadilan negeri (pengadilan tingkat pertama) berdasarkan hukum acara perdata dimulai dengan pembacaan gugatan, jawaban dan eksepsi, putusan sela, replik, duplik, pemeriksaan alat bukti (bukti surat dan saksi), konklusi atau kesimpulan dan akhirnya putusan majelis hakim. Dalam praktik, dari satu acara pemeriksaan ke acara pemeriksaan selanjutnya akan memakan waktu 1 (satu) minggu. Sehingga jika diestimasi, suatu perkara perdata yang diperiksa oleh pengadilan paling singkat akan memakan waktu 6 (enam) bulan.

Mengapa proses penyelesaian di pengadilan bisa sangat lama ?

Penyebabnya beragam, mulai dari adanya hak para pihak untuk tidak hadir jika berhalangan (dan sering dimanfaatkan untuk mengulur waktu) sampai terbatasnya ruang sidang dan jumlah hakim yang memeriksa perkara (bila dibandingkan dengan berjubelnya kasus yang harus diperiksa pengadilan). Perlu diketahui, hakim yang memeriksa perkara perdata, juga bertugas untuk memeriksa dan memutus perkara pidana. Karenanya tidak mengherankan jika tumpukan perkara (perdata dan pidana) membuat proses pemeriksaan perkara di pengadilan sering terkesan sangat lamban dan birokratis.

Selain harus mengikuti proses di pengadilan negeri, jika salah satu pihak tidak puas, maka yang bersangkutan dapat mengajukan banding ke pengadilan tinggi bahkan kasasi ke Mahkamah Agung. Tidak mengherankan jika dalam praktik sering ditemukan suatu kasus yang telah sampai ke Mahkamah Agung, ternyata tidak kunjung selesai setelah berjalan selama 5 (lima) tahun lebih, karena di Mahkamah Agung sendiri telah bertumpuk ribuan berkas perkara yang belum diperiksa.

2. Tingkat kerahasiaan para pihak yang berperkara lebih terjaga.

Berbeda dengan proses pemeriksaan di pengadilan yang berpotensi terpublikasi secara luas (karena menurut undang-undang harus terbuka untuk umum), maka proses pemeriksaan perkara dalam MAPS dan ADR dapat dilakukan secara tertutup. Hal ini diharapkan dapat meminimalisir potensi terpublikasinya sengketa yang mengakibatkan berkurangnya kredibilitas atau rusaknya nama baik para pihak.

3. Hubungan baik para pihak yang bersengketa tetap dapat dijaga.

Di dalam pemeriksaan di pengadilan, suasana yang terbangun antara penggugat dan tergugat cenderung konfrontatif, di mana para pihak akan berusaha semaksimal mungkin untuk saling menjatuhkan dengan membuktikan kesalahan pihak lawan di depan majelis hakim. Di dalam MAPS atau ADR suasana yang terbangun tidaklah demikian. Kedua belah pihak akan termotivasi untuk mencari solusi yang terbaik tanpa harus saling menjatuhkan dengan membuktikan kesalahan pihak lawan (hal ini sering ditemukan dalam proses negosiasi dan mediasi, yang mengutamakan prinsip win-win solution).

Akan tetapi perlu dicatat, bahwa syarat mutlak dari MAPS atau ADR adalah adanya itikad baik dan kejujuran dari kedua belah pihak yang bersengketa. Dengan kata lain, disamping adanya kesadaran terhadap kelebihan sebagaimana tersebut diatas, faktor penghormatan para pihak terhadap proses pemeriksaan dan kepatuhan para pihak untuk melaksanakan putusan lembaga ini merupakan faktor utama efektifnya MAPS atau ADR.

Mudah-mudahan MAPS atau ADR semakin tersosialisasi dengan baik dan semakin diterima sebagai alternatif penyelesaian sengketa. Semoga bermanfaat