Sabtu, 24 April 2010

Alasan Amandemen UUD 45 ke 5

Menurut penulis itu selama proses perubahan UUD 1945 oleh MPR peran elite fraksi di PAH BP MPR bersama dengan DPP partai sangat besar. Sehingga, membuat proses politik di MPR, selama perubahan pertama sampai perubahan keempat UUD 1945, diwarnai proses kompetisi, bargaining, dan kompromi.
Dikemukakan juga bahwa perdebatan fraksi-fraksi di PAH BP MPR diwarnai kepentingan partai politik yang bersifat nilai-nilai demokrasi yaitu sebagai upaya membangun sistem checks and balances di antara lembaga-lembaga negara dalam rangka lebih mengedepankan kedaulatan rakyat.
Singkatnya, selama pembicaraan perubahan UUD 1945 itu MPR telah dipenuhi kepentingan dan interes partai politik dalam bentuk kompetisi, bargaining dan kompromi politik. Hal ini, saya berpendapat mengapa konstitusi UUD 1945 sekarang ini berisi kelemahan, kekurangan, dan ketidaksempurnaan.
Kalau kita tinjau beberapa kelemahan dan ketidaksempurnaan konstitusi UUD 1945 di antaranya adalah kekaburan dan inkonsistensi yuridis dan teoritis dalam materi UUD 1945, kekacauan struktur dan sistematisasi pasal-pasal UUD 1945, ketidaklengkapan UUD 1945 dan pasal-pasal yang multiinterpretatif, dsb.
Saya berpendapat seharusnya konstitusi UUD 1945, sebagai hukum dasar atau basic law, bersifat lengkap dan sempurna sehingga menjadi living constitution atau konstitusi yang hidup untuk puluhan bahkan ratusan tahun ke depan.
Perlu diketahui akibat ketidaksempurnaan dan kelemahan UUD 1945 ini telah menimbulkan pengelompokan-pengelompokan dalam masyarakat. Satu kelompok menghendaki agar UUD 1945 dikembalikan lagi kepada yang asli. Sedangkan kelompok yang lain menghendaki diadakan lagi perubahan atau amandemen ke-5 UUD 1945, dan kelompok terakhir berpendapat tetap pada UUD 1945 sekarang ini.
Dalam hal ini, ketidaksempurnaan dan kekurangan UUD 1945 misalnya akibat adanya kompromi politik yang menjadikan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menjadi lebih rendah dari DPR seperti tertera dalam rumusan Pasal 22D UUD 1945.
Kompromi politik terjadi sewaktu MPR membicarakan lembaga DPD pada 7 November 2001 dimana 190 anggota MPR mengeluarkan sikap politik tentang ketidaksetujuannya terhadap lembaga DPD dan memilih untuk tetap pada struktur ketatanegaraan berdasarkan negara kesatuan dengan sistem satu kamar atau uni-cameral. Jadi, ketidaksetujuan tersebut karena adanya kekhawatiran bahwa lembaga DPD itu akan menjadikan sistem federalisme.
Pendapat politik anggota MPR itu kurang tepat karena banyak negara kesatuan di dunia mempunyai sistem dua kamar atau bi-cameral. Selanjutnya, konstitusi UUD 1945 mempunyai tendensi didominasi oleh kekuasaan legislatif atau legislative heavy. Hal ini nampak pada Pasal 13 ayat (3) dan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945. Wewenang Presiden yang dicampuri kekuasaan legislatif tersebut menggambarkan bahwa perubahan UUD 1945, dengan dominasi kekuasaan eksekutif atau executive heavy selama Orde Baru, tidak merupakan perubahan yang seimbang atau equilibrium berdasarkan checks and balances namun dominasi kekuasaan legislatif atau legislative heavy.
Dalam hal ini, terhadap Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 dapat dikemukakan dalam sistem presidensial, Presiden tidak mengambil keputusan terhadap hasil akhir legislasi (pembuatan undang-undang) sekalipun Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR atau DPD untuk sektor hubungan pusat daerah.
Lalu, Presiden berhak menolak rancangan undang-undang atau hak veto namun bobot keputusan parlemen yang menentukan validitasnya. Misalnya, dengan 2/3 dukungan suara di DPR atau 2/3 suara pada masing-masing kamar (DPR dan DPD) untuk menghasilkan rancangan undang-undang yang tidak dapat ditolak oleh Presiden.
Apakah tepat menamakan perubahan atau amandemen UUD 1945? Seperti diketahui dari 37 Pasal UUD 1945 yang lama ditambah empat Pasal Aturan Peralihan dan dua ayat Aturan Tambahan beserta Penjelasan Umum maupun Penjelasan Pasal demi Pasal UUD 1945 yang diputuskan Sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 hanya ada 6 pasal (sekitar 16,21%) yang rumusannya sama dengan naskah UUD 1945 yang lama. Pasal-pasal itu adalah: Pasal 4, 10, 22, 25, dan 29. Sedangkan pasal-pasal yang diubah yakni 31 pasal (83,79%) ditambah pasal-pasal baru dengan sistem penomoran pasal lama ditambah huruf A, B, C atau D dan seterusnya dan ayat-ayat baru dalam pasal-pasal lama.
Juga perubahan sistem politik khususnya pelaksanaan kedaulatan dan perubahan institusi maupun komposisi lembaga perwakilan rakyat serta perubahan/ penghilangan institusi negara yang pernah ada (DPA) dan penambahan beberapa institusi baru seperti Dewan PerwakilanDaerah (DPD). Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial dan Dewan Pertimbangan Presiden.
Dengan pasal-pasal baru yang berjumlah 36 pasal atau 97,30% dari UUD 1945 yang asli dengan 37 Pasal tersebut patut dipersoalkan: apakah MPR telah mengganti konstitusi lama dengan UUD yang baru dan bukannya melakukan perubahan atau amandemen UUD 1945?
Selanjutnya, masalah inkonsistensi yang menyangkut bagian mana dari UUD 1945 yang tidak dapat diubah atau yang dapat diubah dengan persyaratan tertentu. Dalam UUD 1845 yang tidak dapat diubah adalah Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia vide Pasal 37 ayat (5) UUD 1945 dengan akibat bahwa terhadap landasan dasar filosofis kehidupan bangsa dan negara yakni Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila, secara teoritis, dapat diubah meskipun diperlukan persyaratan tertentu sesuai Pasal 37 ayat (1) sampai ayat (4) UUD 1945. Demikianlah beberapa alasan untuk amandemen ke-5 UUD 1945.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar