Kamis, 22 April 2010

PELAYANAN SURAT IZIN PRAKTIK DOKTER

Analisis Yuridis Konsep Pelayanan Perizinan Terpadu Di Daerah Dengan Pelayanan Perizinan Dokter Menurut UU Praktik Kedokteran)

Pendahuluan

Dokter merupakan komponen utama dan mempunyai peranan yang sangat penting dalam pemberian pelayanan kesehatan secara langsung kepada masyarakat. Dalam melaksanakan tugas / pekerjaannya, dokter diperbolehkan melakukan tindakan berupa intervensi medis pada tubuh manusia. Untuk itu, sebelum melaksanakan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter harus memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP).
STR dan SIP dapat diberikan kepada seorang dokter setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Disamping ketentuan persyaratan perizinan bagi dokter, peraturan perundang-undangan juga mengatur siapa pejabat yang berwenang untuk mengeluarkan/menandatangani STR dan SIP tersebut. Untuk pelayanan STR, dikarenakan konsep pelayanan STRnya dilakukan secara sentralisasi, hanya oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), tidak menimbulkan permasalahan dalam praktiknya, kecuali terkait hal teknis dalam uji kompetensinya. Sedangkan untuk pelayanan SIP, dimana konsep pelayanannya menerapkan asas desentralisasi, yaitu kewenangan untuk mengeluarkan SIP tersebut diberikan kepada daerah Kabupaten/Kota, telah menimbulkan persoalan hukum yang sangat serius.
Otonomi daerah telah diartikan secara membabi buta dan kebablasan. Ketentuan dalam undang-undang tidak lagi dipatuhi dalam menyelenggarakan pemerintahan yang kewenangannya telah diberikan kepada daerah. Tulisan ini mengkaji secara yuridis permasalahan pelayanan SIP yang menjadi kewenangan daerah Kabupaten/Kota. Landasan konsepsional dalam pengkajian ini adalah konsep pelayanan perizinan terpadu dan konsep perizinan menurut Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU 29/2004).(7)

Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Bhenyamin Hoessein mengatakan negara merupakan organisasi. Secara teoritik dan empirik setiap organisasi, termasuk negara, selalu menganut asas sentralisasi sejak kelahiran sampai akhir hayatnya. Namun, organisasi yang besar dan sangat rumit tidak mungkin hanya diselenggarakan dengan asas sentralisasi. Oleh karena itu diperlukan juga asas desentralisasi. Kedua asas tersebut tidak dikotomis, tetapi berupa kontinum. Tidak ada negara yang menganut desentralisasi 100%. Sebaliknya, kecuali bagi negara yang menyerupai negara-kota, hampir tidak ada negara yang menyelenggarakan sentralisasi 100%. Penyelenggaraan asas desentralisasi selalu oleh unsur sentralisasi.(5)
Dengan menganut asas desentralisasi tersebut, maka Pemerintah mewujudkannya dalam otonomi daerah. Dalam konsep otonomi terkandung kebebasan berprakarsa untuk mengambil keputusan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang terkait sangat erat dengan demokrasi. Namun demikian, otonomi juga mengandung integritas sistem, dalam arti memiliki batas-batas. Otonomi juga memiliki identitas. Dengan perkataan lain, tidak terdapat otonomi apabila tidak terdapat batas-batas.(4)
Untuk memahami batas-batas tersebut, dapat dijelaskan dari sudut hukum tata negara, dimana bentuk negara Indonesia yang dianut dalam konstitusinya sebagai negara kesatuan. Secara teoritik dan empirik, sebagai suatu ’negara kesatuan (eenheidstaat)’, negara itu tidak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat ’negara (staat)’ juga. Oleh karena itu, mengutip pendapat Strong, negara kesatuan adalah negara tunggal (unitaris), diorganisasikan di bawah sebuah Pemerintah Pusat, dan bila kita gabungkan dengan pendapat Dicey, bahwa the habitual exercise of supreme legislative authority by one central power, serta pendapat Kranenburg yang menyatakan bahwa pemerintah sub nasional tak memiliki pouvoir constituant (dapat diartikan tak memiliki kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif sendiri),(4) maka dapat diartikan bahwa Pemerintah Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia tidaklah dapat membuat Peraturan Daerah yang bersifat seperti sebuah Undang-Undang layaknya negara bagian dalam pemerintahan negara federal. Dengan arti kata lain, bahwa apapun yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerahnya yang oleh Pemerintah Pusat telah didesentralisasikan kewenangannya untuk itu, tetaplah harus berpedoman dan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. Peraturan Daerah dan pelaksanaan kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat, antara lain tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri dan sejenis lainnya.

Pelayanan Perizinan Terpadu

Pelayanan perizinan termasuk bagian dari kegiatan pemerintah yang dikenal secara umum yaitu ’Pelayanan Publik.’ Menurut Kepmenpan No.63 Tahun 2003, ’Pelayanan Publik’ adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.(10) Tampaklah dengan jelas bahwa pengertian pelayanan perizinan merupakan kegiatan suatu instansi pemerintah (pusat dan daerah) untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan untuk melaksanakan perintah undang-undang atau peraturan perundang-undangan.
Terkait dengan pelayanan perizinan terpadu, yang sekarang ini sedang populernya dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah, maka agar tidak salah aplikasi, perlu disimak kembali apa yang dimaksud dengan pelayanan perizinan terpadu. Mengacu pada Kepmenpan No.63 Tahun 2003, pelayanan perizinan terpadu tersebut merupakan pola penyelenggaraan pelayanan publik secara terpadu yang terdiri dari dua pengertian, sebagai berikut, (i) Terpadu Satu Atap, yaitu pola pelayanan terpadu yang diselenggarakan dalam satu tempat yang meliputi berbagai jenis pelayanan yang tidak mempunyai keterkaitan proses dan dilayani melalui beberapa pintu, dengan ketentuan bahwa terhadap pelayanan yang sudah dekat dengan masyarakat tidak perlu disatuatapkan; atau (ii) Terpadu Satu Pintu, yaitu pola pelayanan terpadu yang diselenggarakan pada satu tempat yang meliputi berbagai jenis pelayanan yang memiliki keterkaitan proses dan dilayani melalui satu pintu. Dan yang perlu diperhatikan adalah bahwa maksud diadakannya pelayanan terpadu ini adalah untuk kesederhanaan, kejelasan, kemudahan, kenyamanan, dan keefisienan waktu dan biaya.(10)
Dengan mendapatkan pemahaman yang jelas mengenai konsep pelayanan perizinan terpadu tersebut, apakah memakai pola terpadu satu atap atau terpadu satu pintu, maka akan dapat diuraikan konsekuensi penerapan pelayanan perizinan terpadu dengan kewenangan berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur ketentuan perizinan di masing-masing sektor pemerintahan. Pada konsep pelayanan terpadu satu atap, hanya soal tempat yang disatukan, sehingga masing-masing sektor pemerintahan yang memiliki kewenangan perizinan disatukan pada satu tempat tertentu walaupun tidak mempunyai keterkaitan proses satu sama lain. Pelayanan terpadu satu atap ini terdiri dari lebih dari satu pintu dengan jumlah total pintu tergantung dari seberapa banyak sektor yang disatuatapkan, dan terkait dengan kewenangan persetujuan atau penolakan perizinan masih tetap melekat pada masing-masing sektor tersebut. Sedangkan pada konsep pelayanan terpadu satu pintu, tidak hanya persoalan tempat yang disatukan dari masing-masing sektor yang memiliki kewenangan perizinan, juga terdapat persoalan utama yaitu kewenangan perizinan yang dimiliki oleh beberapa sektor yang mempunyai keterkaitan proses dijadikan satu pintu dengan maksud untuk mempercepat dan mempermudah proses perizinannya. Sehingga dalam pelayanan terpadu satu pintu ini, kewenangan persetujuan atau penolakan perizinan menjadi beralih ke kepala unit pelayanan terpadu satu pintu tersebut.
Dengan demikian, implikasi hukum penerapan masing-masing konsep pelayanan terpadu satu atap atau satu pintu akan berbeda. Implikasi hukum yang muncul dari konsep pelayanan terpadu satu atap, tidaklah segenting dari konsep pelayanan terpadu satu pintu. Dengan kewenangan persetujuan atau penolakan perizinan pada pelayanan terpadu satu pintu yang dimiliki oleh kepala unit pelayanan terpadu satu pintu tersebut (meskipun kewenangan itu harus berdasarkan pendelegasian wewenang dari Kepala Daerah), maka walaupun kewenangan itu ada tercantum dalam suatu peraturan perundang-undangan dapat saja bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lain yang juga berlaku dan mengatur perihal suatu perizinan yang diberikan kepada satu sektor tertentu. Seperti diketahui pada saat-saat ini, harmonisasi antara satu peraturan perundang-undangan yang satu dengan peraturan perundang-undangan yang lain masih sangat lemah. Faktor sektoral masih sangat dominan terjadi di tingkat pusat dalam penyusunan suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.

Implikasi Hukum Konsep Pelayanan Terpadu Pada PP 41/2007 dan Permendagri 20/2008
Pasal 47 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 ( PP 41/2007) memperbolehkan Kepala Daerah membentuk unit pelayanan terpadu dalam rangka meningkatkan dan keterpaduan pelayanan masyarakat di bidang perizinan yang bersifat lintas sektor.(9) PP 41/2007 ini merupakan peraturan pelaksana dari Pasal 128 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.(8) Meskipun PP 41/2007 ini Ketentuan inilah yang menjadi payung hukum pembentukan unit pelayanan terpadu di daerah.
Namun demikian isi Pasal 47 PP 41/2007 sangatlah umum sekali. Tidak ada ketegasan dan kejelasan batasan konsep pelayanan terpadu yang dimaksud. Apakah yang dimaksudkan itu pelayanan terpadu satu atap ataukah pelayanan terpadu satu pintu. Begitu juga tidak diatur mengenai batasan kewenangan dari kepala unit pelayanan terpadu tersebut. Apakah kepala unit pelayanan terpadu tersebut juga mempunyai kewenangan menolak atau menyetujui perizinan. Yang cukup jelas diatur hanyalah ketentuan tentang komposisi organisasi unit pelayanan terpadu yang merupakan gabungan dari unsur-unsur perangkat daerah yang menyelenggarakan fungsi perizinan.
Selain daripada itu, dengan pendelegasian pengaturan organisasi dan tata kerja unit pelayanan terpadu tersebut dalam tingkatan peraturan menteri yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2008 (Permendagri 20/2008),(12) yang ternyata didalamnya memberikan kewenangan persetujuan atau penolakan perizinan kepada kepala unit pelayanan terpadu, menimbulkan persoalan hukum yang sangat berat. Sementara itu, sudah cukup lama diketahui dan dimaklumi bahwa harmonisasi peraturan perundang-undangan tingkat peraturan menteri ini dengan peraturan perundang-undangan lainnya sangat lemah sekali. Ini kenyataan, karena masih kuatnya faktor sektoral dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Dengan kenyataan tersebut, ditambah lagi kekurangan yang ada, baik PP 41/2007 maupun Permendagri 20/2008 yang tidak mengatur pengecualian kewenangan kepala unit pelayanan terpadu tersebut, maka mudah sekali terjadi benturan kepentingan sektoral dilapangan. Implementasi suatu peraturan perundang-undangan menjadi bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain. Yang lebih parah, peraturan perundang-undangan yang tingkatannya jauh dibawah undang-undang ‘mengalahkan’ peraturan perundang-undangan tingkat undang-undang. Dalam kaitan dengan perizinan dokter, dengan kenyataan tersebut diatas maka apabila pemerintah daerah dalam menerapkan suatu peraturan perundang-undangan memakai ’kacamata kuda’ maka sudah tentu UU 29/2004 ’dikalahkan’ oleh Permendagri atau bahkan oleh sebuah Perda. Akan dibiarkan seperti inikah kekacauan hukum di negara ini?

Perizinan Dokter Menurut UU 29/2004

Pasal 37 UU 29/2004 menyatakan dengan tegas bahwa Surat Izin Praktik (SIP) setiap dokter yang melakukan praktik kedokteran dikeluarkan oleh pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat praktik kedokteran dilaksanakan. Pada ketentuan Pasal 37 itu, sangat jelas sekali bahwa yang memiliki kewenangan untuk menolak atau menyetujui pemberian perizinan dokter adalah pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota. Dalam praktik sekarang ini, pejabat kesehatan yang berwenang yang dimaksud adalah Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Timbul pertanyaan kenapa UU 29/2004 tidak secara langsung menyebut Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, tapi menggunakan nomenklatur pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota. Hal ini dapat dilihat dari politik hukum pada saat pembahasan UU 29/2004 tersebut. Pembentuk undang-undang tidak menyebutkan nama jabatan dan instansi karena terminologi ’dinas kesehatan’ di berbagai daerah dimungkinkan tidak sama. Penggunaan kata ’pejabat kesehatan yang berwenang’ telah menunjukkan maksud yang tepat untuk memberikan kewenangan kepada orang yang menjabat sebagai pimpinan/kepala dari instansi pemerintahan yang menangani bidang/sektor kesehatan.
Sebagai perwujudan maksud dari bunyi Pasal 37 UU 29/2004 tersebut dan untuk menghilangkan penafsiran yang keliru tentang hal itu, maka Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran (Permenkes 512/2007)(11) sebagai peraturan pelaksana dari UU 29/2004 tersebut, telah menuangkan norma yang tegas dan langsung menyebutkan perihal siapa pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tersebut yaitu Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (Pasal 2 ayat (2) Permenkes 512/2007).

Ketetapan Yang Sah

Menyimak makna perizinan menurut Prajudi Atmosudirdjo, Perizinan merupakan perbuatan hukum yang bersifat administrasi negara yang diberikan oleh pejabat atau instansi pemerintah yang berwenang dan diberikan dalam bentuk suatu penetapan (beschikking). Suatu izin atau persetujuan atas sesuatu yang pada umumnya dilarang. Perizinan ini merupakan penetapan atau keputusan yang bersifat positif (pengabulan daripada permohonan seluruhnya atau sebagian) dan tergolong pada penetapan positif yang memberikan keuntungan kepada suatu instansi, badan, perusahaan, atau perorangan. Perizinan ini timbul dari strategi dan teknik yang dipergunakan oleh Pemerintah untuk menguasai atau mengendalikan berbagai keadaan, yakni dengan melarang tanpa izin tertulis untuk melakukan kegiatan-kegiatan apapun yang hendak diatur atau dikendalikan oleh Pemerintah.(2)
Berdasarkan penjelasan teoritis mengenai ketetapan (menurut Jimly Asshidiqqie, sebaiknya istilah yang dipakai adalah Ketetapan bukan penetapan(1)) yang dihasilkan dari perbuatan hukum administrasi negara oleh pejabat atau instansi pemerintah yang berwenang, maka suatu ketetapan itu baru dikatakan sah berlaku apabila memenuhi syarat-syarat tertentu. Van der Pot mengatakan ada empat syarat sahnya suatu ketetapan, yaitu:
1. Ketetapan itu harus dibuat oleh alat perlengkapan yang berwenang;
Jika alat perlengkapan yang membuat ketetapan itu nyata-nyata tidak berwenang, maka ketetapan yang dibuatnya itu adalah batal demi hukum.
2. Karena ketetapan adalah suatu pernyataan kehendak (wilsverklaring), maka dalam kehendak alat perlengkapan yang membuat ketetapan itu tidak boleh ada cacatnya (wilsgebreken);
Jika ketetapan itu ada cacatnya (karena salah kira, paksaan, tipuan) maka ketetapan yang dibuat itu dapat dibatalkan (verbietigbaar).
3. Ketetapan harus diberi bentuk tertentu; dan
4. Isi dan tujuan ketetapan itu harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan perundang-undangan(6)
Berdasarkan uraian diatas dan dihubungkan dengan Permenkes 512/2007, maka persoalan pelayanan perizinan (SIP) dokter, baru dikatakan SIP dokter itu adalah sah berlaku, apabila SIP dokter tersebut dikeluarkan dan ditandatangani oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Sedangkan, apabila SIP dokter itu dikeluarkan selain oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, maka SIP dokter tersebut adalah tidak sah.

Penutup

Era otonomi yang menguat dewasa ini telah banyak disalahartikan oleh berbagai pihak yang berkepentingan di daerah. Yang perlu diingat adalah otonomi itu ada karena Pemerintah Pusat dalam menyelenggarakan pemerintahan negara ini menganut asas desentralisasi. Otonomi ada karena desentralisasi. Sedangkan desentralisasi itu sendiri merupakan kontinum dari sentralisasi. Otonomi itu ada batas-batasnya.
Terkait dengan pelayanan perizinan terpadu-pun ternyata banyak disalahartikan oleh Pemerintah Daerah. Apalagi dalam menerapkan pelayanan terpadu itu Pemerintah Daerah memakai ’kacamata kuda’ dalam penerapannya, karena ada maksud-maksud tertentu yang ingin dicapai, seperti untuk pencapaian target Pendapatan Asli Daerah (PAD). Secara struktural perangkat daerah memang berada dalam kewenangan Departemen Dalam Negeri, namun tentunya hal itu bukan menjadi sebab bahwa suatu ketentuan peraturan perundang-undangan sektor lain di/terabaikan, contohnya ketentuan UU 29/2004 dengan Permenkes 512/2007-nya yang mengatur kewenangan pelayanan perizinan dokter hanya oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Dalam hal ini, boleh saja pelayanan perizinan dokter dimasukkan dalam bagian pelayanan perizinan terpadu, namun hal itu tidak berarti bahwa kewenangan penandatanganan SIP dokter dapat beralih atau dialihkan begitu saja. Tetaplah harus dipatuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur untuk hal itu. Sehingga yang berhak menandatangani SIP dokter tersebut adalah tetap Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, agar SIP dokter itu sah berlaku.(rb)



DAFTAR PUSTAKA

1. Asshidiqqie, Jimly. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia: Pasca Reformasi. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007.
2. Atmosudirdjo, Prajudi. Hukum Administrasi Negara, cet.IX. Jakarta: Ghalia, 1988.
3. Hoessein, Bhenyamin. ”Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Negara Kesatuan dan Federal”. Makalah yang disampaikan pada perkuliahan Hukum Pemerintahan Daerah pada Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia jurusan Hukum Kenegaraan. Jakarta, 2008.
4. Hoessein, Bhenyamin. ”Hubungan Penyelenggaraan Pemerintahan Pusat Dengan Pemerintahan Daerah”. Makalah yang disajikan dalam seminar sehari dengan tema sentral ”Perspektif Reformasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Menuju Kemandirian Daerah” oleh Universitas 17 Agustus 1945. Jakarta, 13 Juli 1999.
5. Hoessein, Bhenyamin. ”Penyempurnaan UU No.22 Tahun 1999 Menurut Konsepsi Otonomi Daerah Hasil Amandemen UUD 1945”. Makalah yang disajikan dalam ”Seminar dan Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional VIII” oleh BPHN. Denpasar, 14-18 Juli 2003.
6. Sunindhia, Y.W. dan Ninik Widiyanti. Administrasi Negara Dan Peradilan Administrasi. Jakarta: Rineka Cipta, 1990.
7. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. LN No.116 Tahun 2004. TLN No. 4431.
8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. LN No.125 Tahun 2004. TLN No.4437. Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. LN No. 108 Tahun 2005. TLN No.4548.
9. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.
10. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
11. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran.
12. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perizinan Terpadu Di Daerah.


Disajikan oleh: Roberia, SH, Nursal, SH, dan Ali Usman, SH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar