Sabtu, 24 April 2010

Perjanjian Waralaba dan Pengawasan Oleh Pemerintah

Oleh: Anggo Doyoharjo
[Fakultas Hukum UNISRI]

ABSTRACT: Franchise of contract is executing of trading the agreement to the franchisor that it is developing business to very quick with capital from other investor, while it’s franchisee that is a new businessman with use kinds of system and knowhow without should have business experience. Furthermore, franchisee haven’t yet of experience and kept invesment risks, so that necessary supervision of exist toward carry-out of the franchise of agreement. Supervision carry-out with the survey and research, that it do of special and periodic of the technical supervision. The supervision aim to kept of franchisee and other also purpose to kept of customers and society.

PENDAHULUAN
Franchise atau waralaba pada hakekatnya merupakan strategi pemasaran yang bertujuan untuk memperluas jangkauan usaha untuk meningkatkan pangsa pasar atau penjualannya. Pengembangan usaha semakin cepat dengan dana yang relatif terbatas, karena dengan melibatkan investor lain untuk turut serta menggunakan pengalaman, hak kekayaan intelektual, sistem atau cara kerja serta ketrampilan yang dimilikinya.

Seringkali antara waralaba atau franchise disamakan dengan lisensi, padahal keduanya berbeda. Pada lisensi hanya memberikan ijin untuk menggunakan hak kekayaan intelektual tertentu saja, sedangkan pada waralaba lebih luas daripada lisensi. Hal ini disebaban pada waralaba di dalamnya antara lain ada lisensi penggunaan hak kekayaan intelektual yang disertai dengan suatu system kerja, ketrampilan, pengalaman dan berbagai system pelayanan yang dimilikinya.

Waralaba memungkinkan perusahaan untuk melakukan penetrasi pasar ke pasar baru tanpa harus keluar biaya dari kocek sendiri. Perusahaan sebagai pemberi waralaba (franchisor) dapat memegang kendali atas penerima waralaba (franchisee) dengan memberikan dukungan perihal strategi penjualan-pelayanan, reputasi, merek, dan standard kualitas serta dukungan lainnya. Dukungan ini tentunya diimbangi dengan imbalan fee yang fixed atau variabel secara periodik. Jadi intinya waralaba memungkinkan perusahaan untuk memperluas jaringan bisnis dan sekaligus memperkecil risiko karena ada proses berbagi risiko dengan franchisee (Roy Sembel dan Tedy Ferdiansyah, 2002).

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba, pengertian waralaba adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut, dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang dan atau jasa.

Dengan cara waralaba atau franchise perusahaan melakukan pengembangan pasar tanpa harus mengeluarkan investasi baru, bahkan dapat memberikan kesempatan kepada pihak lain untuk turut serta menjalankan usahanya. Perusahaan sebagai pemberi waralaba (franchisor) akan mengendalikan penerima waralaba dalam menjalankan usahanya, yaitu dengan memberikan dukungan sepenuhnya sesuai dengan yang diperjanjikan.

Sama-sama mencari modal dari pihak lain, perusahaan yang membuka waralaba berbeda dengan perusahaan yang menjual di bursa. Dengan go public, perusahaan hanya mendapat tambahan uang. Operasional usaha tetap mereka tangani sendiri. Waralaba tidak begitu. Modal perusahaan tidak bertambah (tetap menjadi milik terwaralaba sepenuhnya), tapi ekspansi bisnis bisa berlangsung. Terwaralaba akan menggunakan modalnya untuk “membantu” melakukan ekspansi dengan cara membuka cabang, gerai, workshop, atau pabrik dengan menggunakan brand pewaralaba (Hasbi Maulana, 2005 :10).

Dukungan yang diberikan oleh franchisor kepada franchisee tentunya ada imbalannya, baik berupa imbalan yang sifatnya tetap dan imbalan yang sifatnya periodik sesuai dengan hasil yang diperoleh dari dukungan yang diberikannya. Dengan demikian pada dasarnya waralaba memungkinkan suatu perusahaan meluaskan jaringan usahanya, dengan cara melibatkan pihak lain sebagai investor yang akan menanggung risiko sendiri, tetapi di lain pihak bagi franchisor ini merupakan pengembangan usaha dengan membagi risiko kepada pihak lain.

Pengembangan usaha melaluhi waralaba pada dasarnya mengembangkan usaha secara cepat memakai modal pihak lain, tentu saja risikonya juga ditanggung oleh penerima waralaba. Penerima waralaba akan mendapatkan pelatihan, sistem, hak kekayaan intelektual, bahkan peralatan maupun bahan baku, tanpa harus memiliki pengalaman usaha lebih dahulu. Adapun pemberi waralaba mempunyai hak untuk mendapatkan franchise fee atas penggunaan merek dan sistem, yang diterimakan pada awal perjanjian untuk suatu jangka waktu tertentu biasanya sekurang-kurangnya lima tahun. Selain itu juga mendapatkan royalty dari penerima waralaba, yang berupa persentase dari nilai penjualan setiap bulannya.

Adapun suatu usaha yang mempunyai potensi untuk diwaralabakan, sekurang-kurangnya ada lima syarat yang harus dimiliki apabila waralabanya ingin sukses, yaitu :

1. Unik, maksudnya bahwa adanya keunggulan yang spesifik dan jelas, serta tidak dimiliki oleh para pesaingnya ataupun tidak mudah untuk ditiru.
2. Terbukti, maksudnya bahwa usaha yang akan diwaralabakan tersebut telah terbukti nyata dalam menjalankan usahanya yang memberikan keuntungan dan mempunyai potensi pengembangan pasar yang lebih luas.
3. Memiliki standart, yang meliputi: peralatannya, sistem usahanya, proses kerjanya, dan banyak hal lagi yang pada intinya di manapun usaha waralaba akan dibuka maka konsumen akan memperoleh produk yang sama. Disertai adanya transparansi informasi kepada penerima waralaba sehingga dapat dihindarkan risiko kegagalan kepada calon penerima waralaba.
4. Dapat diterapkan, artinya bahwa segala hal yang meliputi pengalaman, sistem kerja, hak kekayaan intelektual termasuk di dalamnya rahasia dagang dapat dijaga kerahasiaannya oleh pemilik waralaba. Namun demikian terhadap segala sesuatu yang dirahasiakan tersebut tetap dapat diterapkan dan digunakan kepada penerima waralaba.


JENIS WARALABA, KEUNTUNGAN DAN KERUGIANNYA
Pada dasarnya franchise terbentuk ketika francisor menjalin hubungan hukum untuk melakukan kontrak kerjasama secara terpadu terhadap merek, desain tata letak dan lain sebagainya yang berkenaan dengan hak kekayaan intelektual serta metode bisnis secara kontinyu dalam suatu periode tertentu dengan francisee.

Berkembang dari bentuk dasar itu, dikenal empat jenis francise atau waralaba tambahan (Handowo Dipo, 1993 : 39) :

1. Master Franchise. Dalam kontrak ini, franchisee juga berhak menjual hak francise yang dimilikinya pada peminat lain yang berada dalam wilayah tertentu.
2. Area Development Program. Di sini franchisee memiliki hak mengembangkan bisnis franchise yang bersangkutan dalam suatu wilayah tertentu, tanpa memiliki hak menjual ulang hak yang dimilikinya. Jadi bedanya dengan master franchise hanya pada ada tidaknya hak untuk menjual ulang franchise yang dibelinya.
3. Joint Venture Franchise Program. Kontrak ini terjadi jika francisor ikut menginvestasikan dana selain memberikan dukungan manajemen dan teknis. Franchisee tetap bertugas mengembangkan dan mengoperasikan tempat usaha yang bersangkutan. Biaya-biaya yang timbul dan keuntungan yang diperoleh akan dibagi oleh franchisor dan franchisee sesuai dengan perjanjian.
4. Mixed Franchise. Tipe ini terjadi jika franchisor menawarkan paket franchise yang memungkinkan franchisee yang modalnya terbatas untuk mengelola sebagian fungsi usaha saja. Misalnya produksi dilakukanh franchisor dan franchisee hanya mengelola proses penjualannya saja. Selain paket seperti itu, franchisor tersebut biasanya juga menawarkan paket utuh kepada franchisee yang memiliki modal cukup.

Bagi pemilik usaha, pengembangan melaluhi franchise mempunyai tujuan utama untuk memperoleh laba dalam waktu yang lebih singkat dan ekspansi lebih cepat dengan risiko modal yang kecil. Waralaba atau franchise sebagai salah satu alternatif dalam pengembangan usaha, tentu saja mempunyai keuntungan-keuntungan dan kerugian-kerugian (Martin Mendelsohn, 1997 : 27-33) :

Keuntungan-keuntungan :
a. Kurangnya pengetahuan dasar dan pengetahuan khusus yang dimiliki franchisee, ditanggulangi dengan program pelatihan dari franchisor.
b. Franchisee mendapatkan insentif dengan memiliki bisnis sendiri yang memiliki keuntungan tambahan dari bantuan terus-menerus franchisor, karena franchisee adalah pengusaha independen yang beroperasi di dalam kerangka perjanjian franchise.
c. Di dalam banyak kasus, bisnis franchisee mendapat keuntungan dari operasi di bawah nama yang telah mapan dalam pandangan dan fikiran masyarakat. Tentunya akan ada skema francise baru yang masih dalam proses menjadi mapan dan yang namanya belum begitu dikenal.
d. Franchisee biasanya akan membutuhkan modal yang lebih kecil dibandingkaan bila ia mendirikan bisnis secara mandiri, karena franchisor melaluhi operasi percobaannya telah menghapuskan biaya-biaya yang tidak perlu.
e. Franchisee akan menerima bantuan berikut ini: seleksi tempat, mempersiapakan perbaikan gedung atau ruangan, mendapatkan dana untuk sebagian biaya akuisisi dari bisnis yang difranchisekan, pelatihan staff dan pegawai, pembelian peralatan, seleksi dan pembelian suku cadang serta membantu membuka bisnis dan menjalankannya dengan lancar.
f. Fraanchisee mendapat keuntungan dari aktifitas iklan dan promosi franchisor pada tingkat nasional.
g. Franchisee mendapatkan keuntungan dari daya beli yang besar dan kemampuan negosiasi yang dilakukan franchisor atas nama seluruh franchisee di jejaringnya.
h. Franchisee mendapatkan pengetahuan yang khusus dan berskill tinggi serta pengalaman dari organisasi dan manajemen kantor pusat franchisor, walaupun dia tetap mandiri dalam bisnisnya sendiri.
i. Risiko bisnis franchisee berkurang sangat besar.
j. Franchisee mendapatkan jasa-jasa dari para staf lapangan franchisor yang berada di sana untuk membantunya mengatasi masalah-masalah yang mungkin timbul dari waktu ke waktu dalam pengelolaan bisnis.
k. Franchisee mendapat keuntungan dari penggunaan paten, merek dagang, hak cipta, rahasia dagang serta proses, formula, dan resep rahasia milik franchisor.
l. Franchisor mengumpulkan banyak informasi dan pengalaman yang tersedia sebanyak-banyaknya untuk dibagi kepada seluruh franchisee dalam sistemnya.
m. Kadang-kadang terdapat jaminan territorial untuk memastikan bahwa tidak ada franchisee lain di dalam wilayah bisnis franchise.
n. Dengan dukungan yang diberikan bank-bank kepada franchising, franchisee akan sangat mungkin mendapatkan akses ke sumber-sumber pinjaman dan syarat-syarat pinjaman yang tersedia baginya.

Kerugian-kerugian :
a. Tidak dapat dihindari bahwa hubungan antara franchisor dengan franchisee pasti melibatkan penekanan kontrol, karena kontrol tersebut akan mengatur kualitas jasa dan produk yang akan diberikan kepada masyarakat melaluhi franchisee.
b. Franchisee harus membayar kepada franchisor untuk jasa-jasa yang didapatkannya dan untuk penggunaan system, yaitu dengan uang franchise (franchise fee) pendahuluan dan uang franchise terus menerus.
c. Kesukaran dalam menilai kualitas franchisor.
d. Kontrak franchise akan berisi beberapa pembatasan terhadap bisnis yang difranchisekan.
e. Franchisee mungkin akan menemukan dirinya menjadi terlalu tergantung terhadap franchisor.
f. Kebijakan-kebijakan franchisor mungkin mempengaruhi keberuntungan franchisee.

Dengan segala keuntungan dan kerugian dari franchise tersebut di atas, ternyata tidak semua jenis usaha dapat dilakukan pengembangan usaha melaluhi franchise. Suatu jenis usaha perdagangan barang dan jasa yang mempunyai keistimewaan tertentu sajalah yang dapat dilakukan waralaba. Mengenai jenis perdagangan barang dan jasa tersebut harus memenuhi suatu kriteria, yaitu :

a. Memiliki produk atau jasa yang unik dan sulit ditiru, apabila tidak ada keunikan maka harus didukung stadandart pelayanan yang kuat serta merek dagang yang kuat pula.
b. Relatif menguntungkan dan telah memiliki bukti keberhasilan yang teruji.
c. Memiliki potensi pasar yang besar di berbagai wilayah geografis.
d. Memiliki system operasi yang bisa distandartkan dan bisa diajarkan kepada franchisee.

PERJANJIAN WARALABA
Setelah membahas berbagai uraian mengenai jenis, keuntungan dan kerugian, kemudian kriteria jenis perdagangan barang dan jasa yang dapat diwaralabakan, berikut ini kami bahas bagaimanakah hubungan hukumnya. Hubungan hukum antara franchisor dengan franchisee berdasarkan pada suatu kontrak hukum untuk menjalankan kegiatan waralaba.

Pada dasarnya waralaba merupakan salah satu bentuk pemberian lisensi, hanya saja agak berbeda dengan pengertian lisensi pada umumnya, waralaba menekankan pada kewajiban untuk menggunakan system, metode, tata cara, prosedur, metode pemasaran dan penjualan maupun hal-hal lain yang ditentukan oleh pemberi waralaba secara eksklusif, serta tidak boleh dilanggar maupun diabaikan oleh penerima lisensi. Hal ini mengakibatkan bahwa waralaba cenderung bersifat eksklusif. Seorang atau suatu pihak yang menerima waralaba tidaklah dimungkinkan untuk melakukan kegiatan lain yang sejenis atau yang berada dalam suatu lingkungan yang mungkin menimbulkan persaingan dengan kegiatan usaha waralaba yang diperoleh olehnya dari pemberi waralaba ( Gunawan Widjaya, 2002 : 20 ).

Berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh Gunawan Widjaya tersebut di atas, maka dalam pembuatan perjanjian atau kontrak harus dibuat secara terang dan sejelas-jelasnya, hal ini disebabkan saling memberi kepercayaan dan mempunyai harapan keuntungan bagi kedua pihak akan diperoleh secara cepat. Karena itu kontrak waralaba merupakan suatu dokumen yang di dalamnya berisi suatu transaksi yang dijabarkan secara terperinci.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan kontrak dibuat secara terperinci, yang terdiri dari (Martin Mendelsohn, 1997 : 58 – 63) :

1. Perencanaan dan identifikasi kepentingaan franchisor sebagai pemilik, hal ini tentunya akan menyangkut hal-hal seperti merek dagang, hak cipta dan system bisnis franchisor beserta know how.

2. Sifat serta luasnya hak-hak yang diberikan kepada franchisee, hal ini menyangkut wilayah operasi dan pemberian hak-hak secaraa formal untuk menggunakan merek dagang, nama dagang dan seterusnya.

3. Jangka waktu perjanjian. Prinsip dasar dalam mengatur hal ini bahwa hubungan franchise harus dapat bertahan pada jangka waktu yang lama, atau setidak-tidaknya selama waktu lima tahun dengan klausula kontrak franchise dapat diperpanjang.

4. Sifat dan luasnya jasa-jasa yang diberikan, baik pada masa-masa awal maupun selanjutnya. Ini akan menyangkut jasa-jasa pendahuluan yang memungkinkan franchisee untuk memulai, ditraining, dan dilengkapi dengan peralatan untuk melakukan bisnis. Pada masa selanjutnya, franchisor akan memberikan jasa-jasa secara terperinci hendaknya diatur dalam kontrak dan ia juga diperkenankan untuk memperkenalkan dan mengembangkan ide-ide baru.

5. Kewajiban-kewajiban awal dan selanjutnya dari franchisee. Ini akan mengatur kewajiban untuk menerima beban keuangan dalam mendirikan bisnis sesuai dengan persyaratan franchisor serta melaksanakan sesuai dengan system operasi, akunting dan administrasi lainnya untuk memastikan bahwa informasi yang penting tersedia untuk kedua belah pihak. Sistem-sistem ini akan dikemukakan dalam petunjuk operasional yang akan disampaikan kepada franchisee selama pelatihan dan akan terus tersedia sebagai pedoman/referensi setelah ia membuka bisnisnya.

6. Kontrol operasional terhadap franchisee. Kontrol-kontrol tersebut untuk memastikan bahwa standar operasional dikontrol secara layak, karena kegagalan untuk mempertahankan standar pada satu unit franchisee akan mengganggu keseluruhan jaringan franchise.

7. Penjualan bisnis. Salah satu kunci sukses dari franchising adalah motivasi yang ditanamkannya kepada franchisee, disertai sifat kewirausahaan franchisee, serta insentif yang dihasilkan dari capital gain. Untuk alasan ini, bisnis difranchisekan harus dapat dijual. Seorang franchisor hendaknya sangat selektif ketika mempertimbangkan lamaran dari franchisee, terutama terhadap orang-orang yang akan bergabung dengan jejaring dengan membeli bisnis dari franchise yang mapan.

8. Kematian franchisee. Untuk memberikan ketenangan bagi franchisee, harus dibuat ketentuan bahwa franchisisor akan memberikan bantuan untuk memungkinkan bisnis dipertahankan sebagai suatu asset yang perlu direalisir, atau jika tidak bisa diambil alih oleh ahli warisnya apabila ahli waris tersebut memenuhi syarat sebagai franchisee.

9. Arbitrase. Dalam kontrak sebaiknya ditentukan mengenai penyelesaian sengketa yang mungkin timbul dengan melaluhi arbitrase, dengan harapan penyelesaiannya akan lebih cepat, murah dan tidak terbuka sengketanya kepada umum.

10. Berakhirnya kontrak dan akibat-akibatnya. Dalam kontrak harus selalu ada kektentuan yang mengatur mengenai berakhirnya perjanjian. Perlu ditambahkan dalam kontrak, franchisee mempunyai kewajiban selama jangka waktu tertentu untuk tidak bersaing dengan franchisor atau franchisee lainnya, juga tidak diperkenankan menggunakan sistem atau metode franchisor.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba, sebagaimana juga diatur dalam Pasal 5 Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Nomor 259/MPP/KEP/7/1997 tentang Ketentuan Dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba, ditentukan bahwa sebelum membuat perjanjian, Pemberi Waralaba wajib menyampaikan keterangan kepada Penerima Waralaba secara tertulis dan benar sekurang-kurangnya mengenai :

a. Identitas Pemberi waralaba, berikut keterangan mengenai kegiatan usahanya termasuk neraca dan daftar rugi laba selama 2 (dua) tahun terakhir;
b. Hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang menjadi obyek waralaba;
c. Persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi Penerima Waralaba;
d. Bantuan atau fasilitas yang ditawarkan Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba;
e. Hak dan kewajiban Pemberi Waralaba dan Peneerima Waralaba;
f. Cara-cara dan syarat pengakhiran, pemutusan, dan perpanjangan perjanjian waralaba;
g. Hal-hal lain yang perlu diketahui Penerima Waralaba dalam rangka pelaksanaan perjanjian waralaba.

Jika membuat kontrak pemberian waralaba dengan memperhatikan hal-hal yang dikemukakan oleh Martin Mendelsohn dan Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan di atas, maka sudah ada kejelasan dan ketegasan bagi penerima waralaba sehingga antara franchisor dan franchisee tidak ada kesalahpahaman dalam pelaksanaannya.

Investasi mempunyai tujuan untuk mendapatkan keuntungan, namun demikian harus diingat bahwa risiko sepenuhnya ada pada penerima waralaba, oleh karena itu sebelum memilih dan memutuskan untuk mengambil kesempatan menjadi penerima waralaba harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut (Hasbi Maulana, 2005 :11) :

1. Jangan minder saat berhadapaan dengan franchisor. Biarpun mereka berhak menyeleksi anda, sesungguhnya mereka juga membutuhkan anda. Karena itu manfaatkan sesi-sesi wawancara dengan mereka untuk menggali habis kondisi pewaralaba. Mereka boleh menggali informasi seputar kepribadian dan kondisi keuangan investor. Anda pun seharusnya bisa menggali berbagai informasi mendalam tentang perusahaan penyelenggara waralaba.

2. Coba kenali latar belakang perusahaan atau sang pengusaha, bonafiditas, pengalaman, potensi, pasar, peta persaingan, serta keunggulan dan keunikan produk atau sistem mereka. Dari serangan balik wawancara itu anda bisa meraba sikap mereka. Cara dan sikap ketika menjawab pertanyaan bisa anda jadikan tolok ukur kultur usaha mereka. Semakin mereka terbuka, semakin baik. Semakin mereka misterius dan tertutup, ya semakin buruk. Ingat, kelak anda mesti saling bertukar informasi dengan mereka. Bayangkan dan perkirakan apakah anda bisa berkomunikasi secara nyaman dengan mereka kelak.

3. Jangan segan menyelidiki kondisi keuangan pewaralaba. Kinerja mereka di masa lalu bisa menjadi pantulan prospek usaha anda di masa depan. Pewaralaba yang baik tidak akan segan membagi informasi penting ini. Waralaba yang layak pilih adalah perusahaan yang telah menghasilkan untung selama bertahun-tahun, setidaknya lebih dari tiga tahun. Tanyakan pula kinerja cabang atau gerai milik terwaralaba lama. Apakah mereka untung atau malah gulung tikar. Kalau tutup sebabnya apa, begitu pula kalau sukses resepnya apa. Tak ada salahnya kalau anda mencoba menggali informasi langsung dari terwaralaba lama yang lebih dulu beroperasi.

4. Pilihlah brand waralaba yang telah dikenal masyarakat. Sebagian brand waralaba luar negeri tak dikenal di sini. Tapi kalau nama mereka cukup moncer secara internasional, ya layak dipertimbangkan. Jadi jangan segan menyelidiki reputasi mereka lewat internet atau kenalan di luar negeri.

5. Bisnis waralaba bukanlah deposito atau obligasi pemerintah yang berbunga tetap. Karena itu, jangan pertaruhkan seluruh kekayaan anda pada bisnis yang ingin anda masuki. Sehebat apapun waralaba yang hendak anda ikuti, risiko bisnis tetap ada. Soalnya, ada banyak faktor ekonomi yang tidak berada dalam kendali perusahaan atau pelaku ekonomi mana pun, sehebat apa pun sistem dan keunggulan mereka.

6. Pelajari dan cermati draf kontrak sebaik-baiknya. Jangan terburu-buru menganggukkan kepala dan berjabat tangan tanda sepakat. Ingat, semua kewajiban dan hak anda tercatat dalam dokumen kontrak. Jadi, jangan sampai kontrak itu hanya merugikan anda.

Bahkan dalam Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan tersebut diatur mengenai kewajiban pendaftaran terhadap perjanjian waralaba dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja terhitung mulai tanggal berlakunya perjanjian waralaba, hal ini dimaksudkan untuk memberi perlindungan kepada Penerima Waralaba, ataupun Penerima Waralaba Lanjutan dari Penerima Waralaba Utama. Adapun pihak yang mempunyai kewajiban untuk mendaftarkannya adalah Penerima Waralaba / Penerima Waralaba Utama. Pendaftaran dimaksud untuk mendapatkan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba ( STPUW ). Mengenai tujuan adanya kewajiban pendaftaran kegiatana usaha waralaba, dimaksudkan untuk memudahkan pengawasan kegiatan usahanya.


PENGAWASAN
Pelaksanaan kegiatan usaha waralaba selalu dilakukan pengawasan oleh pemerintah, hal ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat sebagai konsumen dari perdagangan dan jasa waralaba. Selain itu juga dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada pihak penerima waralaba. Terhadap pelaksanaan pengawasan waralaba tersebut, Direktorat Bina Pengawasan Barang Beredar Dan Jasa cq. Dirjen Perdagangan Dalam Negeri cq. Departemen Perindustrian Dan Perdagangan telah menerbitkan Pedoman Pengawasan Jasa Di Bidang Waralaba (Franchise). Adapun jenis pengawasan yang dilakukan oleh Departemen Perdagangan Dan Perindustrian adalah :

1. Pengawasan atas dokumen terbuka (disclosure document) yang dilengkapi dengan data mulai berdirinya usaha, produk/jasa/system/konsep/cara yang diciptakan oleh pencipta atau penemunya dan pada tanggal mulai diwaralabakan. Jumlah outlet cabang sendiri dan terwaralaba, daftar alamat, telepon, fax, e-mail para franchisee.

2. Pengawasan atas pemberian produk bisnis, bantuan terus menerus (on going support) pelatihan, dan pedoman pelaksanaan lainnya.

3. Pengawasan terhadap pemakaian merek dagang, penggunaan pedoman pelaksanaan tertulis, penyusunan business plan, penerimaan bimbingan/panduan dalam menjalankan usaha.

Adapun parameter yang diterapkan dalam pelaksanaan pengawasan jasa oleh pemerintah, masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) kepada pelaku usaha waralaba terhadap layanan konsumen, sesuai dengan ketentuan yang berlaku umum, yaitu :

1. Standar Mutu Produksi, bahwa dalam melakukan perikatan pelaku usaha dapat memberikan standar mutu pada dokumen terbuka.

2. Pelayanan purna jual, pelaku usaha yang memberikan produk jasa yang berupa program pelatihan, bahwa pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya satu tahun wajib menyediakan suku cadang, misalnya pada produk-produk elektronik.

3. Moral Hazard; pelaku usaha tidak dibenarkan memberikan informasi yang menyesatkan dan melanggaar etik/kesusilaan sesuai dengan perundang undangan yang berlaku.

4. Ketentuan peraturan perundangan, berkaitan dengan kegiatan usaha jasa distribusi di bidang waralaba yang berlaku.

Pengawasan jasa yang menjadi wewenang Direktorat Jendral Perdagangan Dalam Negeri, Departemen Perdagangan Dan Perindustrian c.q. Direktorat Bina Pengawasan Barang Beredar Dan Jasa terhadap usaha waralaba dilaksanakan dengan metode :

1. Survey, yaitu suatu kegiatann pengumpulan data dan informasi yang dilakukan secara sistematik, obyektif dan tidak memihak mengenai permasalahan yang relevan dengan kegiatan usaha jasa distribusi di bidang waralaba. Servey dilakukan oleh petugas pengawas dengan meninjau secara langsung, antara lain dengan melakukan wawancara secara lisan atau tertulis yang disusun dalam bentuk daftar pertanyaan.

2. Penelitian, yaitu kajian dan pengolahan data informasi secara sistematik, obyektif dan tidak memihak dari hasil servey lapangan mengenai permasalahan yang berkaitan dengan kegiatan jasa distribusi di bidang waralaba yang dilakukan secara ilmiah dengan pengujian akademis.

Berdasarkan pada besarnya potensi pasar Indonesia, telah memberikan harapan besar pertumbuhan industri waralaba di pasar dalam negeri, untuk itulah program pengawasan jasa waralaba mempunyi prioritas yang tinggi. Pengawasan jasa distribusi dibidang waralaba oleh pemerintah dilakukan oleh Direktorat Jendral Perdagangan Dalam Negeri c.q. Direktorat Bina Pengawasan Barang Beredar Dan Jasa; serta oleh Pemerintah Daerah setempat sesuai dengan tugas pokok dan fungsi serta tanggungjawab kewenangannya. Pengawasan dilakukan terutama terhadap jasa distribusi di bidang waralaba dalam memenuhi Klausula Baku, Pelayanan Purna Jual, Pengiklanan, Cara Menjual, dan Moral Hazard dalam memberikan pelayanan kepada konsumen.

Mengenai teknis tata cara pelaksanaan pengawasan ada dua, yaitu tatacara Pengawasan Berkala dan Pengawasan Khusus.

Tata Cara Pengawasan Berkala :

a. Direktorat Bina Pengawasan Barang Beredar dan Jasa menugaskan pengawas barang beredar dan jasa untuk melakukan survey terhadap pelaksanaan jenis dan aspek pelayanan yang diberikan jasa waralaba sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku;

b. Pengawas Barang Beredar dan Jasa bersama dengan instansi yang kompeten melakukan pengolahan data dan informasi dari hasil survey melaluhi penelitian terhadap kesesuaian pemberian layanan dengan kententuan peraturan perundang undangan yang berlaku;

c. Bilamana terjadi dugaan atas penyelenggaraan pemberian layana di lapangan, Direktorat akan menyampaikannya kepada instansi pembina terkait; dan bila berindikasi tindak pidana akan disampaikan ke pihak Penyidik Pegawai Negeri Sipil – Perlindungan Konsumen (PNS-PK) untuk dapat ditindak lanjuti melaluhi penyidikan;

d. Dalam rangka proses penanganan dan penyelesaian terhadap hasil pengawasan yang memerlukan tindak lebih lanjut sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing unit kerja, maka Direktorat melakukan koordinasi pengawasan dengan Ditjen Teknis terkait;

e. Direktorat melakukan publikasi terhadap hasil evaluasi pengawasan baik yang menyimpang maupun tidak.

Tata Cara Pengawasan Khusus :

a. Direktorat Jendral Perdagangan Dalam Negeri c.q. Bina Pengawasan Barang beredar Dan Jasa menugaskan PPNS-PK untuk melakukan penyidikan berdasarkan hasil pengawasan berkala yang berindikasi tindak pidana, hasil evaluasi terhadap pengaduan masyarakat dan/atau LPKSM yang berindikasi tindak pidana, kasus terhadap penyelenggaraan layanan jasa waralaba yang memerlukan penanganan secara cepat, dan atas permintaan BPSK yang mana terjadi sengketa para pihak yang tidak dapat ditangani.

b. PPNS-PK melakukan persiapan dan proses penyidikan antara lain dengan mengumpulkan data dan informasi yang berhubungan di tempat kejadian melaluhi survey dan/atau penelitian dan dalam hal ini PPNS-PK bekerjasama dengan masyarakat untuk dapat memberikan sanksi.

c. PPNS-PK memberikan laporan atas hasil Penyidikan yang berindikasi tindak pidana kepada Ditjen Perdagangan Dalam Negri melaluhi Direktorat Bina Pengawasan Barang Beredar dan Jasa dan Direktorat meneruskan hasil penyidikan kepada Polisi. Pada akhirnya Polisi akan meneruskan proses hasil penyidikan ini ke pengadilan untuk proses persidangan.

d. Publikasi hasil persidangan dilakukan dimaksudkan baik ditujukan kepada pelaku usaha yang terbukti melakukan pelanggaran dan selanjutnya beserta pemberian sanksi maupun yang tidak terbukti dengan disertai pemulihan nama baik kepada pelaku usaha.

KESIMPULAN
Waralaba merupakan salah satu alternatif pengembangan usaha, yang dilakukan dengan melibatkan pihak lain (Franchisee) untuk menjalankan usaha perdagangan barang ataupun jasa dengan menggunakan metode, pengalaman, proses kerja, penataan, sistem, hak atas kekayaan intelektual maupun dukungan peralatan beserta bahan-bahan utama dari pihak franchisor.

Bagi franchisor waralaba dapat dijadikan sarana pengembangan usaha dengan cepat untuk memperoleh keuntungan dengan modal dari pihak lain, dengan cara melakukan perjanjian waralaba yang mana risiko kegagalan atau kerugian ditanggung sendiri oleh penerima waralaba (franchisee).

Risiko kerugian pihak franchisee ditanggung sendiri, oleh karena itu pemerintah mengatur standart perjanjian waralaba, khususnya mengenai hak dan kewajiban antara pemberi dengan penerima waralaba serta kewajiban pendaftaran perjanjian waralaba. Konsekuensinya pemerintah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perjanjian waralaba, dengan cara pengawasan berkala dan pengawasan khusus.

BAHAN PUSTAKA

Amir Karamoy, (1997), Investasi Waralaba, Jakarta : KONTAN No. 17 Th. I, 20 Januari.

Gunawan Widjaya, (2002), Lisensi Atau Waralaba, Suatu Panduan Praktis, Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Handowo Dipo, (1993), Sukses Usaha Memperoleh Dana, Dengan Konsentrasi Modal Ventura, Jakarta : Grafiti Press.

Hasbi Maulana, Marga Raharja, Rika Theo, Umar Idris (2005), Awas, Kucing dalam Karung!. Seluk-beluk waralaba dan tip menjadi anggota jaringan, Jakarta : KONTAN No.6, Tahun X, 7 November.

Martin Mendelsohn, (1997), Franchising, Petunjuk Praktis Bagi Franchisor Dan Franchisee, Jakarta : Pustaka Binaman Pressindo.

Roeslan Saleh, (1991), Seluk Beluk Praktis Lisensi, Jakarta : Sinar Grafika.

Roy Sembel – Tedy Ferdiansyah, (2002), Tujuh Jurus Pendanaan Di Tahun Kuda Air, Jakarta : USAHAWAN No. 03 Th. XXXI.

Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba.

Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan No. 259/MPP/KEP/7/1997 tentang Ketentuan Dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba.

Lampiran Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan No. 259/MPP/KEP/7/1997 tentang Ketentuan Dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba.

Departemen Perindustrian dan Perdagangan (1997), Pedoman Pengawasan Jasa Di Bidang Waralaba (Franchise).

1 komentar:

  1. terima kasih atas ilmu tentang waralaba ini sangat berguna dan sangat berhubungan dengan apa yang aku tekuni.. :)

    BalasHapus