Minggu, 04 April 2010

Kriminologi vs Hukum Pidana

Perbedaan hukum pidana dengan kriminologi dari artian ilmu pengetahuannya adalah Hukum pidana adalah ilmu pengetahuan dogmatis, dan berkerjanyapun adalah secara deduktif. Sedangkan kriminologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang berorientasi kepada ilmu pengetahuan lam kondrat, menggunakan metoda empiris-deduktif. Namun, hukum pidana sampai batas-batas tertentu juga menggunakan induksi dan empiris. Namun antara kedua ilmu pengetahuan inin dianggap ada suatu perbedaan. Ilmu pengetahuan hukum pidana masih saja terutama dipandang sebagai pengetahuan normatif yang penyelidikan-penyelidikannya adalah sekitar aturan-aturan hukum dan penerapan dari aturan-aturan hukum itu dalam rangka pendambaan diri terhadap cita-cita keadilan. Sedangakan kriminologi lebih banyak menelusuri dan meyelidiki tentang kondisi-kondisi sosial dari konflik, dan akibat-akibat serta pengaruh-pengaruh dari represi konflik-konflik dan membandingkan secara kritis efek-efek dari represi yang besifat kemasyarakatan disamping juga tindakan-tindakan itu.

Ilmu hukum pidana memiliki objek adalah hukum yang belaku, norma-norma dan sanksi-sanksi hukum pidana yang berlaku. Ilmu pengetahuan inilah yang harus meneliti tentang asas-asas yang menjadi dasar dari ketentuan-ketentuan undang-undang. Tugas dari hukum pidana bersifat kritis. Disinilah kriminologi memainkan peranannya pula, kepntingan kriminologi berusaha untuk menhadi pasangan yang tangguh dari ilmu hukum pidana yang kritis. Secara klasik dikatakan, bahwa sumber adalah undang-undang, kebiasaan, peradilan, dan ajaran-anjaran hukum. Tetapi diantara sumber-sumber hukum ada kepatuhan-kepatuhan. Kriminologi banyak membuat penerangan jalan kearah sumper kepatuhan ini, kriminologilah yang membantu ilmu hukum pidana disini. Bahkan dikatakan bahwa kriminologi mendobrak hukum pidana yang telah berpuas diri itu dan menunjukan kepada pembentuk undang-undang dan hakim mengenai tanggung jawab mereka yang sangat besar dalam bidang kemanusiaan ini.

Keadaan perundang-undangan yang berlebihan merupakan keadaan yang sering kita lihat. Banyak lahirnya hukum “tanpa kepala”, maksudnya tanpa suatu pandangan kemanusiaan yang jelas. Melalui sejarah hukum seorang ahli kriminologi mengetahui bagaimana perundang-undangan duu mengenai hal tersebut. Atau melalui perbandingan hukum: mengatur tentang hal yang sama. jadi kriminologi dan ilmu hukum pidana saling mempengaruhi. Kriminologi menerima hukum itu seperti dimaksudkan oleh hukum pidana sebaliknya kriminologi dan praktek hukum memperkaya ilmu hukum pidana dan mengadakan evaluasi atas hukum pidana itu.

Ilmu pengetahuan sekarang menjadi alat untuk dapat lebih baik mengerti tentang individu dan masyarakat. Dalam proses ini kriminologi lalu menjadi otonom sebagai suatu cara pendekatan tersendiri dari manusia. Kriminologi lebih banyak memperhatikan prevensi dari kejahatan dan berusaha lebih positif lagi bagi kesejahteraan masyarakat. Ketentuan-ketentuan yang ada itu tidaklah semata-mata untuk kepentingan dari delinkuen, dimaksudkan oleh ketentuan-ketentuan ini adalah juga hal-hal yang menjadi tujuan dan akan dicapai oleh hukum pidana secara umum, yaitu menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan umum. Dan ini tidak hanya untuk delinkuen, tetapi juga untuk kehidupan masyarakat. Kedua-duanya harus didorongdan dimajukan oleh perkembangan ini.

Pada dasarnya, seorang ahli hukum, terutama bilamana dia mempunyai tugas sebagai hakim, masih harus menyentuh sekitar hakekat dari keadilan, justru dipandang sebagai suatu keharusan. Dan ini justru diakibatkan hal-hal dari “praktek itu sendiri”. Dikatakan bahwa jika seorang ahli hukum berpraktek hakim menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada hal-hal yang “telah ditetapkan” maka ia akan sampai berada didalam suatu lingkungan praktek dimana disebut mengadili. Ketidaktenangan itu adalah suatu rasa khawatir, yaitu khawatir oleh karena tidak termasuk dalam lingkungan yang dapat dikatakan “aman” didalam praktek. Dia akan dikatakan oleh umum menympang dari biasanya. Harus diakui bahwa persoalan ini lebih merupakan persoalan moral, bukan masalah praktis.

Ahli-ahli hukum, tentunya juga hakim pidana harus menyadari bahwa ada suatu bahaya yang lebih besar, yaitu disebabkan oleh teori-teori yang banyak mengenai hukum dan undang-undang, mereka akan menjadi lupa mengenai hukum sebagai suatu tujuan dan pengisi kehidupan manusia. Mereka menjadi buta mengenal hukum, dimana asas setiap orang akan menerima haknya benar-benar suatu kenyataan hidup. Hal yang pertama-tama harus direnungkannya adalah bahwa adalah keliru jika ilmu hukum pidana sebagai ilmu pengetahuan normative dipertentangkan dengan kriminologi dan ilmu-ilmu social lainnya yang disebut ilmu pengetahuan tentang kenyataan. Karena perbedaan itu, ilmu hukum pidana adalah semata-mata suatu ilmu pengetahuan mengenai norma-norma yang telah ditetapkan. Sebaliknya, seorang kriminolog mempunyai pengetahuan tentang kenyataan dari kejahatan sebagai gejala kejahatan. Menurut pandangan itu juga, untuk menjadi hakim pidana tidak perlu disyaratkan bahwa ia harus mempunyai pengetahuan kriminologi.

Perluasan dari pengetahuan dan pandangan itu juga dapat didorong bilamana dining antara ilmu pengetahuan normatif diterobos, bagi ahli-ahli hukum penerobosan ini mempunyai arti yang cukup besar, sebab bagi mereka hukum dan mengadili akan mendapat arti yang lebih dalam dan lebih nyata dalam kehidupan sehari-hari. Kini hubungan antara lembaga seperti lembaga kriminologi, dengan para hakim-hakim pidana itulah yang dapat mendorong kepada adanya kerjasama yang baik antara hakim-haki dan petugas-petugas lain yang terlibat dalam pidana dan peradilan pidana itu. Hanya caranya perlu dipikirkan agar terjadi integrasi satu dengan yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar