Selasa, 06 April 2010

Hubungan Industrial dan Jaminan Hukum Ketenagakerjaan

Pada 14 Januari 2006 Mahkamah Agung (MA) bersama Departemen Tenaga Kerja
dan Transmigrasi (Depnakertrans) meresmikan Pengadilan Hubungan Industrial
(PHI) pertama di Pengadilan Negeri Padang, Sumatera Barat. PHI ini merupakan
realisasi amanat Pasal 55 UU No 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial (UU PPHI).
PHI memiliki tugas dan kewenangan menerima, memeriksa dan memutus setiap
perselisihan antara pekerja dengan pengusaha, yang terdiri dari: Perselisihan
Hak; Perselisihan Kepentingan; PHK dan; Perselisihan Antarserikat Pekerja dalam
Suatu Perusahaan. Selama ini seluruhnya ditangani Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan Daerah dan Pusat (P4D&P).
Semangat didirikannya PHI adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
pandangan masyarakat kontemporer, yang menilai mekanisme penyelesaian
perselisihan perburuhan terlalu lama dan cenderung birokratis, belum
mencerminkan asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan sebagaimana
diatur Pasal 4 ayat (1) UU No 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial selama ini ditempuh
melalui tahapan bipatrit antara pekerja dengan pengusaha, tahap tripatrit
dimulai dari pemerantaraan di kantor Depnakertrans sampai dengan P4D & P4P.

Hakim Karier
Bila salah satu pihak merasa belum mendapatkan keadilan, putusan dari P4P
masih dapat diajukan banding kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT
TUN) berdasarkan UU No 9/2004 tentang Perubahan UUU No 5/1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara, dimana terhadap Putusan PT TUN yang bersangkutan masih dapat
pula diajukan Kasasi ke Mahkamah Agung tanpa dibatasi jangka waktu
penyelesaiannya.
Dapat dibayangkan jangka waktu yang dibutuhkan para pihak guna
mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum. Berangkat dari kondisi tersebut,
eksistensi PHI sangat diharapkan untuk terwujudnya speedy administration of
justice dengan tetap berpedoman pada keadilan substansial (hukum materiil) yang
ada.
Apalagi UU PHI secara nyata telah mengatur batas tenggang waktu yang
harus ditaati oleh lembaga peradilan dalam menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial, yaitu: paling lama 50 hari kerja di tingkat pertama dan paling lama
30 hari pada tingkat Mahkamah Agung.
Hakim yang akan bertugas pada Pengadilan Hubungan Industrial, disamping
hakim karier yang diangkat, UU PHI juga mengamanatkan tentang adanya Hakim Ad
Hoc yang tata cara pengangkatannya diatur melalui PP No 41/2004 tentang Tata
Cara Pengangkatan Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad Hoc
pada Mahkamah Agung.
Para Hakim Ad Hoc, yang baru satu minggu lalu dilantik ini diharapkan
dapat lebih berperan membantu hakim karier dalam memberikan pandangan praktis
mengingat latar belakang mereka dari unsur serikat pekerja dan organisasi
pengusaha, sehingga putusannya dapat mencerminkan rasa keadilan.

Putusan Adil
Taverne pernah berkata, ”Berikanlah kepadaku seorang Hakim yang jujur dan
seorang Jaksa yang cerdas, maka dengan undang-undang yang paling buruk
sekalipun, aku akan menghasilkan putusan yang adil.” Kata-kata Taverne tersebut
mengingatkan pada kondisi hukum ketenagakerjaan di Indonesia saat ini, dimana
peraturan tentang ketenagakerjaan dianggap masih lebih berpihak kepada para
pengusaha/investor daripada kaum buruh/pekerja.
Masih segar dalam ingatan kita tentang demo besar kalangan buruh yang
menuntut pemerintah menolak revisi UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK)
yang dianggap hanya berorientasi pada dunia investasi semata dengan
mengesampingkan hak-hak normatif para buruh.
Sesungguhnya yang sangat dibutuhkan dunia ketenagakerjaan saat ini bukan
sekadar mempermasalahkan muatan materi dari UU itu. Kesiapan dari Sumber Daya
Manusia Peradilan, terutama para Hakim PHI yang baru dilantik agar dapat
melahirkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial yang mencerminkan rasa
keadilan masyarakat melalui metode interpretasi yuridis (Pasal 28 ayat (1) UU
No 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Bukanlah jangka waktu yang singkat dan mudah guna merevisi satu UU.
Dibutuhkan proses yang di dalamnya juga terdapat aspek politik, sosial, dan
ekonomi. Oleh karenanya sangat diharapkan para hakim PHI dapat meneladani apa
yang dikatakan filosof Taverne bahwa dengan UU paling buruk sekalipun, akan
tetap dapat tercipta suatu putusan Pengadilan Hubungan Industrial yang
berkeadilan.

1 komentar:

  1. apakah pekerja wajib bekerja saat proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial itu berlangsung ?
    dan apakah didalam peraturan perusahaan itu ada pasal khusus yang mengatur adanya pekerja tetap bekerja saat proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial itu berlangsung ?

    BalasHapus