Senin, 05 April 2010

Kejahatan Perbankan Masa Kini

HERAN, kaget, terkejut dan entah apalagi yang patut diungkapkan pada sistem kejahatan masa kini. Tidak hanya secara verbal, namun kini kasus yang masuk lewat jaringan tak bernyata alias software benar-benar menjadi momok tersendiri. Bagaimana tidak, kini penjahat tidak lagi menggunakan kekerasan otot, namun jejaring serabut neuron di otaknyalah yang mengkoordinir itu semua.
Sebuah bagian dari kejahatan, penghunusan melalui software di sektor perbankan memang sangat mematikan. Pasalnya, kini nyaris semua kepentingan dan transaksi perbankan menggunakan jasa layanan software, yang tentunya selaku hasil dari alias karya manusia, tentu bisa terus dikalahkan dari waktu ke waktu. Itulah yang saat ini menjadi ketakutan luar biasa kalangan bankir untuk menjalankan usahanya di sektor perbankan.
Media dunia baru saja dikejutkan berita pembobolan bank terbesar di Dunia yang terjadi di Paris. Akibat ulah pembobol, Bank tersebut harus rela merugi hingga Rp67 miliar. Bagaimana keadaan ini bisa terjadi di negara yang notabene maju dengan sistem pengawasan dan perangkatnya?

Pembobolan Bank
Pembobolan Bank tidak hanya terjadi di Prancis, 10 tahun silam Barings Bank (Bank tertua di Inggris) juga mengalami nasib yang sama. Akibat salah satu stafnya, Nick Leesson, Bank Barings harus rela menutup usahanya. Secara umum kata ''pembobolan" dalam konteks perbankan bisa dimaknai menjadi dua arti. Pertama, pembobolan yang berarti pencurian secara fisik pada bank dengan membongkar berangkas.
Kedua, pembobolan yang dilakukan dengan teknik penipuan yang lihai yang populer dengan istilah white collar crime atau kejahatan kerah putih. Tentu yang kedua ini dilakukan dengan teknik yang cantik,dengan berbagai macam penyalahgunaan dan penipuan dengan memanfaatkan kelemahan pengawasan internal.
Dalam konteks ini, pembobolan yang dimaksud pada Bank Barings dan Bank Prancis adalah jenis yang kedua. Permasalahan utama yang dihadapi oleh Bank Barings dan Bank Prancis secara umum sama, kedua bank tersebut merugi akibat tingginya kerugian yang dialami dari transaksi di pasar keuangan (saham, komoditas, dan valas).
Bank sebagai lembaga intermediasi memiliki kemampuan untuk mendistribusikan deposito dari masyarakat ke berbagai jenis aset (teori diversifikasi untuk menyebar risiko), seperti kredit dan investasi pada aset-aset keuangan di pasar keuangan (saham, komoditas, dan valas). Secara ideal, seharusnya bank memiliki proporsi investasi kredit lebih besar dibandingkan dengan investasi pada pasar keuangan. Namun, fenomena yang terjadi saat ini, bank lebih agresif melakukan penetrasi di pasar keuangan dibandingkan dengan investasi di sektor riil. Hal itu tentu sangat berkaitan dengan iming-iming keuntungan yang cepat dan tinggi di pasar keuangan, tentu dengan kompensasi risiko yang tinggi.
Kelemahan yang terjadi pada Bank Barings dan Bank Prancis adalah kedua Bank tersebut tidak waspada dengan pengawasan internal mereka untuk membatasi transaksi-transaksi spekulatif di pasar keuangan. Akibatnya, bank-bank tersebut tidak menyadari bahwa bank mereka dihadapkan pada tingkat risiko yang tinggi akibat ulah oknum stafnya di pasar keuangan. Mereka baru menyadarinya ketika kerugian riil sudah terlanjur terjadi, yang menguras uang nasabah mereka. Implikasi yang lain adalah ''kerugian negara", negara atau dalam konteks ini Bank Sentral harus bersiap siaga sebagai Lender of Last Resort untuk membayar kerugian para nasabah. Jika tidak, ancaman Bank Run dan penularan krisis perbankan akan terjadi, yang malah mengancam sistem perbankan dan sistem pembayaran negara tersebut.

Pelajaran bagi Perbankan Tanah Air
Hal itu tentu bisa menjadi pelajaran yang berharga bagi perbankan Tanah Air. Pertama, Bank Indonesia harus lebih waspada pada transaksi-transaksi off balance sheet yang dilakukan perbankan Tanah Air. Transaksi-transaksi off balance sheet yang sebagian besar adalah spekulasi di pasar keuangan tentu akan menciptakan keterbukaan risiko yang tinggi bagi bank dan nasabah tentunya. Jika transaksi-transaksi ini tidak diatur secara baik, akan berdampak pada krisis pada sistem pembayaran dan keuangan.
Kedua, bagi perbankan, pengawasan internal harus dilakukan baik secara formal maupun informal (intelijen) karena sebagian permasalahan pembobolan perbankan itu akibat fraud risk yaitu kejahatan penipuan yang melibatkan staf internal.
Suatu hal yang sangat berharga yang diajarkan dalam syariah economics bahwa spekulasi atau gharar sangat dilarang. Uang sebagai alat tukar harus dikembalikan pada fungsi dasarnya sedia kala. Karena itu, perilaku-perilaku yang memperjualbelikan uang (menganggap uang sebagai komoditas) pada akhirnya dapat mendorong terjadinya krisis keuangan dan krisis ekonomi. Hal itu mudah sekali dipelajari dari beberapa episode krisis yang terjadi di Eropa, Amerika Latin, dan seluruh negara di Asia.
Krisis yang terjadi itu disebabkan ulah para spekulan di pasar valas, yang pada akhirnya men-trigger terjadinya krisis perbankan, keuangan, dan ekonomi. Jika Indonesia ingin mengembalikan perekonomiannya pada keadaan yang lebih baik,tentu negara ini harus concern pada perbaikan sektor keuangan atau sektor perbankan.BI harus dapat mengembalikan fungsi bank sebagai intermediasi di sektor riil dan mengurangi setinggi mungkin transaksi-transaksi yang sifatnya spekulatif di pasar keuangan. Hal itu dilakukan sebagai bentuk antisipasi risiko seperti yang terjadi pada Bank Barings dan Bank Prancis dan antisipasi risiko ''kerugian negara". (*)

1 komentar:

  1. terima kasih ata penjelasannya, tp yang ingin saya tanyakan selama ini adakah kasus real berkaitan dengan tindak kecurangan perbankan di tanah air yang berhubungan dengan off balance sheet? bahgaimana bentuk kecurangan itu dilakukan?

    BalasHapus