Minggu, 04 April 2010

Landasan Formil dan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan

Abstrak

Pemahaman yang baik dan benar tentang Landasan Formil dan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan merupakan conditio sine quanon bagi Perancang agar peraturan perundang-undangan yang dibuatnya tidak mudah dibatalkan melalui pengujian ke Mahkamah Konstitusi (undang-undang) atau ke Mahkamah Agung (peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang).

A. Pendahuluan
Mata pelajaran ‘Landasan Formil dan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan” merupakan bagian dari mata pelajaran inti “Dasar-dasar Konstitusional Peraturan Perundang-undangan” di samping mata pelajaran “Politik Peraturan Perundang-undangan” dan “Sistem Pemerintahan Negara” yang diberikan pada Pendidikan dan Pelatihan Perancang Peraturan Perundang-undangan (Diklat Perancang). Tujuan umum mata pelajaran “Landasan Formil dan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan” diberikan kepada para (calon) Perancang agar para Perancang benar-benar memahami konstitusi (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.) sebagai sumber hukum yang utama dalam pembentukan peraturan perundang-undangan baik secara formil maupun materiil. Dengan memahami konstitusi maka pembentukan peraturan perundang-undangan mendapatkan landasan konstitusional yang benar yang dipandu oleh nilai-nilai Pancasila yang terkandung dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Secara khusus mata pelajaran tersebut diberikan agar para (calon) Perancang dapat memahami substansi yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 baik secara tersurat maupun tersirat dan terampil serta benar dan tepat dalam membuat konsiderans “menimbang”, dasar hukum “mengingat”, dan menjabarkan nilai-nilai konstitusi (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945) yang tersurat maupun tersirat ke dalam batang tubuh (pasal-pasal) peraturan perundang-undangan sehingga secara vertikal, peraturan perundang-undangan tersebut harmonis/selaras dengan konstitusi (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945). Mata pelajaran “Landasan Formil dan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan” terdiri atas:

  1. Pengertian”konstitusi” dan “UUD”, “materi muatan/nilai/sifat konstitusi”;
  2. Pengertian “hukum” dan “peraturan perundang-undangan”; “hukum formil” dan “hukum materiil”; “sumber hukum formil” dan “sumber hukum materiil”; Pengertian undang-undang dalam arti formil dan materiil (wet in formele en materiele zin);
  3. Pelaksanaan “landasan formil” dan “landasan materiil” peraturan perundang-undangan secara teknis;
  4. Dampak amendemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terhadap pembentuk dan pembentukan peraturan perundang-undangan
  5. Praktik pembuatan “landasan formil” dan “landasan materiil” peraturan perundang-undangan.


B. Pengertian Landasan Formil dan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan dan Pentingnya dalam Pembentukan (Rancangan) Peraturan Perundang-undangan
Pada kesempatan ini karena keterbatasan ruang dan waktu hanya akan diuraikan Landasan Formil dan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan untuk kepentingan praktis saja. Landasan Formil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan adalah dimaksudkan untuk memberikan legitimasi prosedural terhadap pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dicantumkan dalam dasar hukum “mengingat” suatu peraturan perundang-undangan. Sedangkan Landasan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan dimaksudkan untuk memberikan sign bahwa Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk merupakan penjabaran dari Pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dicantumkan juga dalam dasar hukum “mengingat” suatu Peraturan Perundang-undangan yang (akan) dibentuk. Landasan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan ini kemudian diuraikan secara ringkas dalam konsiderans “menimbang” dan dituangkan dalam norma-norma dalam pasal dan/atau ayat dalam Batang Tubuh dan dijelaskan lebih lanjut dalam Penjelasan suatu peraturan perundang-undangan kalau kurang jelas.
Penjabaran Landasan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan dalam konsiderans “menimbang” dan dalam Batang Tubuh (pasal dan/atau ayat) disesuaikan dengan keinginan pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) sebagai kebijakan/politik hukum (legal policy) namun harus tetap dalam pemahaman koridor konstitusional yang tersurat maupun tersirat. Semuanya ini melalui metoda penafsiran. Kalau terjadi perbedaan penafsiran antara pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) dengan Mahkamah Konstitusi terhadap pasal (-pasal) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijabarkan dalam suatu undang-undang maka yang dimenangkan adalah penafsiran yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal dan penafsir akhir konstitusi (the guardian/last interpreter of the constitution).
Landasan Formil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan menjadi penting dengan adanya lembaga negara dalam Kekuasaan Kehakiman yang diberikan wewenang oleh konstitusi untuk menguji (judicial review) peraturan perundang-undangan yang secara eksplisit dimuat dalam Pasal 24A dan Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca amendemen. Dalam Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Mahkamah Agung diberikan kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Kewenangan konstitusional semacam ini sebenarnya pernah dimuat juga dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949 (KRIS 1949). Namun dalam Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950) maupun dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak ada kewenangan konstitusional semacam ini yang diberikan kepada Mahkamah Agung. Kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang diberikan kepada Mahkamah Agung hanya didasarkan undang-undang, jadi bukan kewenangan konstitusional (vide Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang sekarang telah diganti dengan UU No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman jo Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004).
Dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca amendemen Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kewenangan konstitusional semacam ini belum pernah ada sebelumnya. Barulah dalam rangka pelaksanaan faham/sistem ”Supremasi Konstitusi” di Era Reformasi dan pelaksanaan sistem checks and balances dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca amendemen, dengan semangat dan jiwa baru, kini suatu undang-undang dapat diuji secara judicial (judicial review) terhadap Undang-Undang Dasar, yang selama kurang lebih 55 tahun usia Republik Indonesia suatu undang-undang tidak dapat diganggu-gugat. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pra amendemen memang tidak diatur mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, sehingga timbul kesan pemahaman yang sama dengan hukum dasar yang diatur dalam KRIS 1949 dan UUDS 1950 bahwa undang-undang tidak dapat diganggu-gugat (de wet is ondschendbaar) sebagaimana diatur dalam Pasal 130 ayat (2) KRIS 1949 dan Pasal 95 ayat (2) UUDS 1950.
Sebelum dibentuknya Mahkamah Konstitusi dalam Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (2001) di Era Reformasi, undang-undang juga dapat diuji terhadap Undang-Undang Dasar. Namun pengujiannya bukanlah pengujian secara judicial melainkan pengujian secara legislatif atau secara politis (legislative/Political Review) karena yang mengujinya adalah lembaga politik atau lembaga legislatif yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagaimana dimuat dalam Pasal 5 ayat (1) TAP MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. TAP MPR ini sebagai pengganti TAP MPRS No. XX/MPRS/1966.
Dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi yang diberikan kewenangan konstitusional menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar dan kewenangan Mahkamah Agung yang semula didasarkan kepada undang-undang sekarang diangkat ke dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi kewenangan konstitusional untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, pemahaman landasan formil dan materiil konstitusional peraturan perundang-undangan menjadi suatu conditio sine quanon bagi para Perancang dalam melaksanakan tugas dan fungsinya menyusun/membuat peraturan perundang-undangan agar peraturan perundang-undangan tersebut tidak mudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung.

C. Teknik Pembuatan Landasan Formil dan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan dalam Pembentukan (Rancangan) Peraturan Perundang-undangan
Sebagaimana diuraikan di atas Landasan Formil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan adalah dimaksudkan untuk memberikan legitimasi prosedural terhadap pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dicantumkan dalam dasar hukum “mengingat”.
Kalau pembuatan atau prosedur pembuatannya tidak benar atau menyimpang dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Susduk DPR, DPD, dan DPRD dan jabarannya dalam Peraturan Tata Tertib DPR/DPD (untuk undang-undang) dan Tata tertib DPRD (untuk Peraturan Daerah) serta prosedur yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dan undang-undang Pemerintahan Daerah (bagi Perda), maka undang-undang dan/atau Perda tersebut dapat dibatalkan secara menyeluruh oleh Mahkamah Konstitusi (untuk undang-undang) atau oleh Mahkamah Agung (untuk Peraturan Daerah).
Berdasarkan pemahaman di atas maka Landasan Formil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan untuk:

  1. Undang-Undang Dasar (UUD) adalah Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jo Pasal 37 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang (UU) adalah Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (untuk rancangan undang-undang yang datang dari Presiden/Pemerintah), Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (untuk rancangan undang-undang yang datang dari DPR);
  3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) adalah Pasal 22 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  4. Peraturan Pemerintah (PP) adalah Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  5. Peraturan Presiden (Perpres) adalah Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  6. Peraturan Daerah (Perda) adalah Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    Sebagaimana diuraikan di atas bahwa Landasan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan dimaksudkan untuk memberikan sign bahwa Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk merupakan penjabaran dari Pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dicantumkan juga dalam dasar hukum “mengingat” suatu Peraturan Perundang-undangan yang (akan) dibentuk.
    Landasan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan ini kemudian diuraikan secara ringkas dalam konsiderans “menimbang” dan dituangkan dalam norma-norma dalam pasal dan/atau ayat dalam Batang Tubuh dan dijelaskan lebih lanjut dalam Penjelasan suatu peraturan perundang-undangan kalau kurang jelas.
    Pencantuman pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai landasan materiil konstitusional peraturan perundang-undangan tersebut disesuaikan dengan materi muatan yang akan dijabarkan dalam batang tubuh peraturan Perundang-undangan tersebut. Sebagai contoh, misalnya akan dibentuk Rancangan Undang-Undang (Undang-Undang) tentang Partai Politik, dicantumkan Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena pasal ini memuat hak-hak dasar manusia (dalam hal ini warga negara) untuk menyatakan ekspresinya dalam suatu kegiatan politik atau membentuk organisasi partai politik. Pencantuman Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam dasar hukum “mengingat” suatu rancangan undang-undang (undang-undang) memberikan indikasi bahwa landasan materiil konstitusional rancangan undang-undang (undang-undang) adalah yang berkaitan dengan kesejahteraan atau kegiatan di bidang ekonomi dan sumber daya alam (SDA).
    Pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan landasan materiil konstitusional tersebut kemudian diuraikan secara ringkas dalam konsiderans ”menimbang”, dan dijabarkan atau dituangkan lebih lanjut dalam pasal dan/atau ayat dalam ”Batang Tubuh”, sampai dengan ”Penjelasan” peraturan perundang-undangan yang bersangkutan kalau dibutuhkan.
    Landasan Formil dan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan kemudian diberikan landasan undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004). Dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, ditentukan:

    1. Butir 17: Konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok–pokok pikiran yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan Peraturan Perundang–undangan.
    2. Butir 18: Pokok-pokok pikiran pada konsiderans undang-undang atau peraturan daerah memuat unsur-unsur filosofis, juridis, dan sosiologis yang menjadi latar belakang pembuatannya .
    Butir 17-18 tersebut mencerminkan bahwa Peraturan Perundang-undangan tertentu (khususnya undang-undang dan peraturan daerah) harus mempunyai landasan formil dan materiil konstitusional yang dituangkan dalam ”menimbang” dan dasar hukum ”mengingat”.
    Unsur filosofis yang termuat dalam latar belakang pembuatan suatu undang-undang/peraturan daerah merupakan hakekat (inti) dari landasan formil dan materiil konstitusional Peraturan Perundang-undangan. Unsur filosofis yang akan diuraikan secara singkat dalam ”menimbang” ini terkandung dalam:
    1. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (tersurat-tersirat);
    2. Aturan/norma dasar (tersurat/tersirat) dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    3. Kehidupan masyarakat yang secara prinsip telah ”dirangkum” dan ”dimuat” dalam nilai-nilai yang ada pada setiap sila dari Pancasila; atau
    4. Setiap benda/situasi/kondisi yang akan diatur dalam Peraturan Perundang-undangan dalam rangka mencari kebenaran di atas kebenaran dari yang akan diatur (relatif).
    Unsur sosiologis yang dimuat dalam latar belakang dibuatnya undang-undang/peraturan daerah adalah konstatsi fakta atau keadaan nyata dalam masyarakat. Misalnya: dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika unsur sosiologisnya adalah adanya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang semakin banyak terjadi di masyarakat yang dapat merusak tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
    Unsur yuridis yang dimuat dalam latar belakang dibuatnya undang-undang/peraturan daerah adalah berkaitan dengan peraturan perundang-undangan yang ada baik yang menjadi dasar hukum “mengingat” maupun yang berkaitan secara langsung dengan substansi peraturan perundang-undangan yang bersangkutan yang harus diganti/dicabut atau diubah karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dalam masyarakat.
    Disamping Butir 17-18, Landasan Formil dan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 diberikan alas hukum juga yaitu dalam Butir 26 yang berbunyi: Dasar hukum memuat dasar kewenangan pembuatan Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan pembuatan Peraturan Perundang-undangan. Ketentuan dalam Butir 26 tersebut berisi landasan formil dan materiil konstitusional, apabila menyangkut Undang-Undang Dasar. Kalau menyangkut peraturan perundang-undangan lain di bawah Undang-Undang Dasar dan TAP MPR disebut landasan formil dan materiil yuridis (yuridis formil-materiil) peraturan perundang-undangan.
    Contoh: Landasan formil dan materiil konstitusional dan yuridis formil-materiil Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung adalah:
    1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 24, dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dan/atau AntarLembaga-lembaga Tinggi Negara;
    3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951).

D. Kedudukan Ketetapan MPR dalam Dasar Hukum ”Mengingat”
Ketetapan MPR (TAP MPR) dapat dimuat dalam dasar hukum “mengingat” suatu undang-undang sebagai “landasan materiil konstitusional” (kalau TAP MPR dikategorikan aturan/hukum dasar). Kalau TAP MPR dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan bukan hukum dasar maka TAP MPR dapat didudukkan sebagai ”landasan materiil-yuridis” dari pembentukan suatu undang-undang, apabila dalam TAP MPR tersebut ada perintah langsung (secara tegas) untuk mengatur lebih lanjut substansinya ke dalam undang-undang.
Pada masa Orde Baru TAP MPR tentang GBHN pada umumnya menjadi dasar hukum (”mengingat”) suatu undang-undang, misalnya TAP MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum memerintahkan secara tegas agar dibentuk Undang-Undang tentang Referendum. Contoh lain adalah perintah TAP MPR Nomor VI/MPR/2002 kepada DPR dan Presiden untuk merevisi (mengubah) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Berdasarkan TAP MPR Nomor I/MPR/2003 masih ada beberapa TAP MPRS dan TAP MPR yang masih ”diberlakukan” atau ”berlaku” dengan syarat sampai terbentuknya undang-undang yang mengatur substansi yang ada dalam TAP MPR tersebut atau selesainya masalah yang disebutkan dalam TAP MPR tersebut.
Ke depan, disepakati MPR tidak akan membuat lagi produk hukum berbentuk TAP MPR yang mengikat ke luar, walaupun dalam Keputusan MPR Nomor 7 jo Nomor 13/MPR/2004 tentang Peraturan Tata Tertib MPR-RI masih dimungkinkan dibentuknya TAP MPR (vide Pasal 74) walaupun dalam bentuk/arti beschikking sehingga ketentuan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10/2004 dan Penjelasannya tak mungkin dapat dilaksanakan yang berkaitan dengan TAP MPR karena MPR tidak akan mengeluarkan lagi TAP MPR yang mengikat ke luar sebagai jenis peraturan perundang-undangan.

end note

---------------------------------------

Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang Ketenagalistrikan, undang-undang Pemerintahan Daerah, undang-undang APBN, undang-undang Komisi Yudisial, undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dan undang-undang KPK.
Dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, Pasal 4 ayat (2): Pengujian Materiil adalah pengujian undang-undang yang berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 4 ayat (3): Pengujian Formil adalah pengujian undang-undang yang berkenaan dengan proses pembentukan undang-undang dan hal-hal lain yang tidak termasuk pngujian materiil sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Kata “hal-hal lain” dapat berarti luas yaitu mencakup “menimbang”, “mengingat”, salah ketik, salah format, dan lain-lain.
Dalam hal ini sesuai dengan ketentuan dalam TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 jis TAP MPR Nomor III/MPR/2000 dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Undang-Undang Dasar dikategorikan atau termasuk jenis peraturan perundang-undangan walaupun merupakan hukum dasar. Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dasar konstitusional penetapan dan Pasal 37 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan dasar konstitusional perubahan Undang-Undang Dasar.
Kalau RUU datang dari Presiden/Pemerintah, maka Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak dicantumkan sebaliknya kalau datang dari DPR Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak dicantumkan. Sebelum (pra) amendemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 5 ayat (1) selalu dicantumkan dalam setiap undang-undang baik yang rancangan undang-undangnya datang dari Presiden sendiri maupun rancangan undang-undangnya datang dari DPR, karena pembentuk undang-undang yang utama (primaire wetgever) pada saat itu adalah Presiden, sedangkan DPR hanyalah pembentuk undang-undang serta (medewetgever). Sehingga selama masa Orde Baru Pasal 5 ayat (1) selalu dicantumkan dalam dasar hukum “mengingat” undang-undang. Sedangkan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hanya dicantumkan ketika rancangan undang-undangnya datang dari DPR. Setelah amendemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, di mana pembentuk undang-undang yang utama dialihkan kepada DPR maka kalau rancangan undang-undangnya datang dari Presiden, Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dicantumkan dalam dasar hukum “mengingat” undang-undang. Kalau rancangan undang-undangnya datang dari DPR, Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dicantumkan, sedangkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak dicantumkan dalam dasar hukum “mengingat” undang-undang.
Kalau masih berbentuk Perpu maka hanya Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dicantumkan dalam dasar hukum “mengingat” Perpu. Kalau Perpu tersebut kemudian diajukan ke DPR dalam bentuk RUU Penetapan Perpu maka landasan formil konstitusionalnya adalah Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 22 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kalau mengikuti bunyi norma dasar Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebenarnya tidak hanya Peraturan Daerah (Perda) saja yang diberikan landasan formil dan materiil konstitusional melainkan juga “peraturan-peraturan lain” sehingga Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ini pun dapat dicantumkan pada dasar hukum “mengingat” Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, Peraturan Walikota dan Peraturan Desa.
Kata filosofi berasal dari kata Philosophia: philo (cinta); sophia (kebijaksanaan) secara harfiah berarti: cinta kebijaksanaan (love of wisdom); Filsafat adalah refleksi kritis manusia tentang segala sesuatu yang dialami untuk memperoleh makna yang radikal dan integral. Filsafat bersifat kritis karena merupakan hasil akal budi manusia yang mendalam. Filsafat memerlukan refleksi tentang arti dan makna yang dialami secara kritis dan rasional. Dengan demikian melakukan transendental dan distansi terhadap obyek untuk mengetahui makna yang sesungguhnya (berusaha dengan sungguh-sungguh mencari kebenaran di atas kebenaran) yang berkaitan dengan nilai-nilai (a/l keadilan, kebenaran, kesejahteraan, kepastian hukum).

Menurut A. Hamid SA (alm) dan Maria Farida (sekarang Hakim MK) Undang-Undang Dasar dan Ketetapan MPR merupakan hukum dasar, sehingga tidak termasuk jenis peraturan perundang-undangan. Menurut kedua ahli tersebut yang namanya peraturan perundang-undangan adalah undang-undang dan peraturan perundang-undangan di bawahnya dari Pusat sampai daerah. Namun menurut hukum positif (TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 yang kemudian dicabut oleh TAP MPR Nomor III/MPR/2000 dan penjabarannya dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, Undang-Undang Dasar dan TAP MPR dikategorikan sebagai (termasuk) jenis peraturan perundang-undangan. Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, TAP MPR tidak lagi dimasukkan (dihapus) sebagai jenis peraturan perundang-undangan karena di Era Reformasi tidak akan ada lagi ada TAP MPR, kecuali sisa TAP MPRS dan TAP MPR masa Orde Lama dan Orde Baru dan awal Reformasi yang masih “dianggap” berlaku sampai dibentuknya suatu undang-undang atau sudah selesainya suatu masalah yang diatur dalam TAP MPR tersebut berdasarkan TAP MPR Nomor I/MPR/2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar