Minggu, 04 April 2010

Pembentukan Peraturan Perundangan Perspektif MK

Abstract
“The Constitutional Court has an authority to hear at first and final level of the decision that shall be final and binding also obtain permanent legal force since the end of spoken/read, but there are some decisions that can not be directly implemented due to need follow-up with the formation of new laws or change laws, for example Constitutional Court decision Number 5/PUU-IV/2007 that grant the petition of the Petitioner regarding "individual candidates in regional and vice regional head elections ", can not be directly applied operationally, without following-up with the formation of the Law Amendment Act Number 32 Year 2004 about Regional Government. Legislation forming in order to follow up the decision of the Constitutional Court legally permissible, although the law in question outside the National Legislation Program (Prolegnas). In lawmaking, the Constitutional Court decision can be used by lawmakers as a reference to determine the constitutionality of Bills, which composed concerning of the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945”.

Abstrak
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat (final and binding) serta memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan/dibacakan, namun ada beberapa putusannya tidak dapat langung dilaksanakan karena harus memerlukan tindak lanjut dengan pembentukan undang-undang baru atau undang-undang perubahan, sebagai misal putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-IV/2007 yang mengabulkan permohonan Pemohon mengenai “calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah”, tidak dapat langsung berlaku secara operasional, tanpa ditindaklanjuti dengan pembentukan Undang-Undang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Dearah. Pembentukan undang-undang dalam rangka menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi secara yuridis diperbolehkan, meskipun undang-undang yang bersangkutan di luar Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Dalam pembentukan undang-undang, putusan Mahkamah Konstitusi dapat dipakai oleh pembentuk undang-undang sebagai bahan acuan menentukan konstitusionalitas Rancangan Undang-Undang yang disusun terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kata Kunci : Putusan Mahkamah Konstitusi dan Pembentukan Undang-undang.

A. Pendahuluan
Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 antara lain menegaskan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat (final and binding) untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.” Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut, putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat. Hal ini berbeda dengan putusan badan peradilan lainnya yang lazim mengenal adanya upaya hukum bagi pihak yang keberatan atas putusan suatu badan peradilan. Terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tidak dikenal ada upaya hukum bagi pihak yang keberatan terhadap putusan Makamah Konstitusi, misalnya banding, kasasi ataupun, peninjauan kembali.
Putusan Mahkamah Konsitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum , sehingga sejak diucapkan dalam sidang pleno, putusan Mahkamah Konstitusi wajib ditaati dan dilaksanakan oleh Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, maupun masyarakat. Putusan Mahkamah Konstitusi bukan merupakan peraturan perundang-undangan (algemene verbindende voorschriften) namun dapat mengikat peraturan perundang-undangan. Perubahan suatu kaidah undang-undang (materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang) selain dapat dilakukan melalui perubahan atas undang-undang yang bersangkutan (revisi) atau “legislative review”, dapat pula dilakukan melalui putusan Mahkamah Konsitusi atas Permohonan pengujian undang-undang, baik pengujian secara formil maupun secara materiil (judicial review). Pengujian undang-undang secara formil “formele toetsing recht” yaitu pengujian terhadap undang-undang yang berkaitan dengan proses atau cara pembentukan undang-undang yang dianggap oleh Pemohon tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sedangkan pengujian materiil “materieele toetsing recht” ialah pengujian terhadap undang-undang yang terkait dengan materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang dianggap oleh Pemohon bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

B. Putusan Mahkamah Konstitusi atas Pengujian Undang-Undang
Putusan Mahkamah Konstitusi diambil dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) yang dihadiri sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang Hakim dan dibacakan/diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum yang dihadiri sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang Hakim. Amar putusan Mahkamah Konstitusi atas permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat berbunyi sebagai berikut :
a) “Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima”, dalam hal permohonan tidak dapat memenuhi syarat sebagaimana dimaksud Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003;
b) “Mengabulkan permohonan Pemohon”,
“Menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari Undang-Undang dimaksud bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”
“Menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari Undang-Undang dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”, dalam hal permohonan beralasan sebagaimana dimaksud Pasal 56 ayat (2), ayat (3) dan pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003;
c) “Mengabulkan permohonan Pemohon”,
“Menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan Undang-Undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”,
“Menyatakan Undang-Undang tersebut tidak memenuhi kekuatan hukum mengikat”, dalam hal permohonan beralasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (4) dan Pasal 57 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003;
d) “Menyatakan permohonan Pemohon ditolak”, dalam hal Undang-Undang yang dimohonkan pengujian tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan sebagaimana dimaksud Pasal 56 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003.
Dalam pengujian undang-undang, Mahkamah Konstitusi selain membuat putusan, juga mengeluarkan ketetapan dalam hal :
1. Permohonan tidak merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadilinya, yang amar putusannya berbunyi “Menyatakan Mahkamah Konstitusi tidak berwenang mengadili permohonan Pemohon”; atau
2. Pemohon menarik kembali permohonannya, yang amar putusannya berbunyi “Mengabulkan permohonan Pemohon untuk menarik kembali permohonannya”, “Menyatakan permohonan Pemohon ditarik kembali”,
“Memerintahkan kepada Panitera untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Register Perkara Konstitusi”.
Dalam hal putusan Mahkamah Konstitusi atas pengujian undang-undang yang mengabulkan permohonan Pemohon yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, tidak berarti Mahkamah Konstitusi mencabut/mengubah materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang atau undang-undang secara keseluruhan yang telah diuji karena Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai kewenangan “legislative review” tehadap undang-undang. Kewenangan Mahkamah Konstitusi hanya terbatas pada menjatuhkan putusan yang menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan karenanya tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat “buiten effect stellen” atau “not legally binding”, sehingga materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang atau undang-undang yang diuji secara keseluruhan kehilangan kekuatan hukum mengikat sebagai kaidah (rechtsnorm) .
Pasal 58 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konsitusi menegaskan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi atas pengujian undang-undang mempunyai akibat hukum terhadap keberlakuan undang-undang yang diuji di Mahkamah Konsitusi yang bersifat prospektif ke depan ( forward looking), bukan berlaku ke belakang atau surut ( backward looking) . Artinya, undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum adanya putusan yang menyatakan undang-undang yang bersangkutan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi.
Putusan Mahkamah Kontitusi yang mengabulkan atas permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bersifat ‘declaratoir contitutive”, dimana dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan atas pengujian undang-undang dapat menciptakan hukum yang baru atau meniadakan hukum yang sudah ada, sehingga melalui putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan pengujian undang-undang, Hakim Konstitusi dapat menciptakan hukum yang baru “negative legislator” .
Mengingat Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai kewenangan untuk mencabut undang-undang baik sebagian maupun materi muatan secara keseluruhan dan mengingat putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat “declaratoir”, maka agar putusan tersebut ditaati dan mempunyai kekuatan hukum mengikat, dalam undang-undang ditentukan putusan Mahkamah Konstitusi harus dimuat dalam Berita Negara republik Indonesia.

C. Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi
Sebagaimana diuraikan terdahulu, bahwa putusan Mahkamah Konstitusi atas pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang amar putusannya menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon mempunyai akibat hukum bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang diuji tersebut menjadi tidak mempunyai lagi kekuatan hukum mengikat selaku norma hukum, karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan demikian, sebagian atau keseluruhan ketentuan undang-undang tersebut menjadi tidak berlaku atau tidak boleh diberlakukan, sehingga undang-undang tersebut sudah tidak utuh lagi, karena sebagian normanya tidak berlaku atau tidak boleh diberlakukan.
Putusan Mahkamah Konstitusi atas pengujian undang-undang memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan/dibacakan, sehingga pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi dilaksanakan sejak selesai dibacakan putusan yang bersangkutan. Meskipun Putusan Mahkamah Konstitusi mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak selesai dibacakan, namun tidak semua putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan Pemohon dapat langsung dilaksanakan (excecutable), karena untuk pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut masih memerlukan tindak lanjut dengan pembentukan undang-undang baru atau undang-undang perubahan, sehingga jika dilihat dari pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi atas pengujian undang-undang, maka putusan Mahkamah Konstitusi dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu :
1. Putusan Mahkamah Konstitusi yang langsung dapat dilaksanakan “excecutable”
2. Putusan Mahkamah Konstitusi yang memerlukan tindak lanjut dengan pembentukan undang-undang atas perubahan undang-undang yang bersangkutan.
Sebagai contoh, beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang memerlukan tindak lanjut, antara lain :
1) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 tanggal 1 Desember 2004 atas pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan yang menyatakan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan secara keseluruhan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Ini diperlukan tindak lanjut dengan pembentukan Undang-undang ketenagalistrikan yang baru.
2) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-IV/2006 tanggal 7 Desember 2006 atas pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang menyatakan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Terhadap kedua putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, pembentuk undang-undang harus membentuk undang-undang baru, karena seluruh materinya dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sebagai undang-undang.
Selain kedua putusan Mahkamah tersebut, terdapat contoh yang menarik untuk dikaji, karena walaupun putusan Mahkamah Konstitusi tidak menyatakan secara keseluruhan materi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, akan tetapi tindak lanjutnya harus membutuhkan undang-undang baru yaitu: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012, 016,019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006 atas pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), putusan ini telah ditindak lanjuti oleh Pemerintah dengan mengajukan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Begitu juga, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-IV/2007 tanggal 23 Juli 2007 atas pengujian Pasal 56 ayat (2), Pasal 59 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Dearah mengenai “calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah”, putusan ini telah ditindak lanjuti oleh Pemerintah dengan mengubah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Dearah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

D. Pembentukan atau perubahan undang-undang sebagai konsekuensi yuridis putusan Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berbunyi “Perencanaan penyusunan undang-undang dilakukan dalam suatu Program Legislasi Nasional” , kemudian ditentukan dalam Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 bahwa “rancangan undang-undang baik yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden, maupun Dewan Perwakilan Daerah disusun berdasarkan Program Legislasi Nasional . Dari kedua ketentuan tersebut dapat ditegaskan bahwa setiap pembentukan undang-undang harus melalui perencanaan sebagaimana dituangkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Namun demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 17 ayat (3)-nya, ketentuan tersebut dapat disimpangi yaitu dimungkinkannya pengajuan rancangan undang-undang tanpa melalui Program Legislasi Nasional, secara lengkap bunyi Pasal 17 ayat (3), penulis kutip sebagai berikut : bahwa “Dalam keadaan tertentu, Dewan Perwakilan Rakyat, atau Presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang diluar Program Legislasi Nasional” . Sementara itu, terkait dengan keadaan tertentu yang memberikan peluang mengajuan rancangan undang-undang diluar Program Legislasi Nasional, Pasal 3 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden, menentukan bahwa:
(1) Dalam keadaan tertentu, Pemrakarsa dapat menyusun Rancangan Undang-Undang diluar prolegnas setelah terlebih dahulu mengajukan permohonan izin prakarsa kepada Presiden, dengan disertai penjelasan mengenai konsep pengaturan Rancangan Undang-Undang yang meliputi :
a. Urgensi dan tujuan penyusunan;
b. Sasaran yang ingin diwujudkan;
c. Pokok pikiran, lingkup, atau obyek yang akan diatur; dan
d. Jangkauan serta arah pengaturan.
(2) Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
a. Untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang;
b. Untuk meratifikasi konvensi atau perjanjian internasional;
c. Untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi;
d. Untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam;
e. Keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu Rancangan Undang-Undang yang disetujui bersama oleh Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat dan Menteri
Berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (2) huruf c Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2005, secara yuridis Dewan Perwakilan Rakyat atau Pemerintah dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Undang-Undang perubahan diluar Program Legislasi Nasional karena melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi. Untuk itu, putusan Mahkamah Konstitusi tersebut seharusnya dapat dijadikan landasan filosofis dan yuridis dalam konsideran menimbang pada rancangan undang-undang yang merupakan tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi. Di samping hal tersebut, norma hukum yang secara tegas dinyatakan dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak boleh diatur dan dituangkan kembali dalam undang-undang yang dibentuk. Materi undang-undang tersebut harus merupakan penjabaran atau pelaksanaan dari putusan atau jiwa/semangat yang terkandung di dalam putusan Mahkamah Konstitusi. Oleh sebab itu, untuk mengidentifikasi materi/norma yang terkandung di dalam putusan Mahkamah Kontitusi, pembentuk undang-undang harus memahami pertimbangan hukum dan pendapat Mahkamah Konstitusi yang melatarbelakangi pertimbangan yang menjadi dasar putusan.
Sehubungan dengan hal tersebut, sesuai dengan ketentuan Pasal 48 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konsitusi, ditegaskan bahwa setiap putusan Mahkamah Konstitusi harus memuat :
a. kepala putusan yang berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
b. identitas pihak;
c. ringkasan permohonan;
d. pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan;
e. pertimbangan yang menjadi dasar putusan;
f. amar putusan; dan
g. hari, tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan panitera.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi, pertimbangan hukum yang dijadikan dasar untuk mengambil putusan diuraikan secara rinci mengenai teori-teori hukum atau pendapat-pendapat ahli yang berkaitan dengan materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-undang yang diuji, serta memuat argumen Mahkamah Konsitusi terhadap pokok permohonan yang dihubungkan dengan konsitusionalitas suatu materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-undang yang diuji terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu, di dalam pertimbangan hukum yang dijadikan dasar untuk mengabil putusan, Mahkamah Konstitusi memberikan penafsiran terhadap materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan pendekatan konsitusionalitas, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya memberikan argumentasi terhadap materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-undang yang diuji disandingkan dengan teori-teori hukum atau pendapat ahli, penafsiran materi muatan ayat, dan/pasal dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan mengkaitkan “original intens” atas materi yang terkandung, baik dalam dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maupun dalam undang-undang yang sedang diuji, sehingga dapat diputuskan apakah muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-undang yang diuji bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau tidak.
Apabila kita cermati pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi yang memuat teori-teori hukum atau pendapat-pendapat ahli, tafsir dari materi muatan ayat, dan/pasal dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta argumen Mahkamah Kontitusi, kita dapat menemukan suatu kaidah di dalam materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-undang yang diuji memiliki konstitusionalitas terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau tidak.
Dalam penyusunan rancangan undang-undang tersebut selain melibatkan instansi terkait, praktisi, dan akademisi/ahli, juga didukung berbagai bahan dan data yang terkait dengan materi yang akan diatur baik berupa naskah akademik, literatur, makalah, hasil penelitian, hasil kajian, peraturan perundang-undangan, maupun putusan Mahkamah Konstitusi yang bersangkutan.
Pembentuk undang-undang, baik Dewan Perwakilan Rakyat maupun Pemerintah, khususnya perancang peraturan perundang-undangan “legislative drafter” dalam menyusun rancangan undang-undang harus selalu mememperhatikan putusan Mahkamah Konsitusi yang terkait. Hal ini dimaksudkan, agar undang-undang yang akan dibentuk sesuai dengan jiwa yang terkandung dalam putusan Mahkamah Konstitusi, sehingga materinya tidak bertentangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian, dalam pembentukan undang-undang, putusan Mahkamah Konstitusi harus dipakai sebagai bahan acuan atau pedoman untuk menentukan konstitusionalitas rancangan undang-undang yang disusun, sehingga dapat dihindari adanya pertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

E. Penutup/ kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, disimpulkan sebagai berikut :
1. Tidak semua putusan Mahkamah Konstitusi harus ditindak lanjuti dengan pembentukan undang-undang (legislative review).
2. Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu alasan pembentukan undang-undang yang dilakukan diluar Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
3. Putusan Mahkamah Konstitusi harus menjadi acuan utama dalam pembentukan undang-undang yang merupakan tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi.
4. Materi Muatan undang-undang yang merupakan tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan jiwa yang terkandung dalam pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi.


DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006.
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta, 2003.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2007.
.Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, beserta Peraturan Pelaksananya, Jakarta, 2007.
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor: 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, Jakarta, 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar