Senin, 05 April 2010

Lemahnya Penegakan Pidana Perbankan

Dijeratnya para pelaku tindak pidana perbankan dengan ketentuan tindak pidana korupsi beberapa tahun belakangan ini bisa menimbulkan efek buruk bagi dunia perbankan. Dalam skala luas, hal ini bisa menimbulkan ketidakpercayaan perbankan nasional dan internasional terhadap kepastian hukum di Indonesia.

Pertanyaan yang bisa dimunculkan terhadap hal ini, kepada siapakah (adresat) hukum perbakan ditujukan? Lalu dalam hal-hal apa saja hukum perbankan bisa dikesampingkan oleh undang-undang Tindak Pidana Korupsi?

Pertanyaan ini begitu penting dikedepankan, mengingat dalam beberapa kasus perbankan yang dijerat dengan tindak pidana korupsi telah menimbulkan keresahan dikalangan dunia perbankan. Ketidak pastian hukum dalam bidang perbankan sudah menunjukkan ciri terjadinya krisis kelebihan kriminalisasi, yakni mengenai banyaknya atau melimpahnya perbuatan yang dikriminalisasikan dan krisis pelampauan batas dari pidana, berupa pengendalian perbuatan dengan tidak menggunakan sanksi pidana yang efektif. (muladi :1984).

Tidak Taat Asas Pidana

Penggunaan hukum pidana sebagai sebuah bentuk penghukuman merupakan hal yang limitatif sifatnya. Oleh karenanya, dalam mempergunakan hukum pidana haruslah memperhatikan garis-garis kebijakan penggunaan hukum pidana, salah satunya adalah mentaati asas-asas hukum yang berlaku dalam hukum pidana. Terkait dengan hal ini, Herbert L. Packer di dalam bukunya The Limit of Criminal Sanction, menyatakan bahwa ada tiga inti yang harus dijadikan patokan memandang hukum pidana, yakni : Pertama, Sanksi Pidana sangatlah diperlukan karena kita tidak dapat hidup, sekarang maupun di masa depan tanpa pidana. Kedua, Sanksi Pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapai kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan serta merta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya. Ketiga, Sanksi Pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama, dan suatu ketika merupakan pengancam utama dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secar hemat-cermat dan secara manusiawi, atau sebaliknya akan menjadi pengancam apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa.

Untuk itulah, hukum pidana dibatasi dengan beberapa asas-asas penting yang sifatnya mengikat, sehingga harus selalu diijadikan pedoman dalam penggunaan sarana hukum pidana, agar tujuan pemidanaan bisa terjaga dengan baik dalam suatu proses penegakan hukum pidana, dari awal hingga akhir.

Dalam kasus tindak pidana perbankan yang diserap sebagai tindak pidana korupsi hal ini sering diabaikan. Banyak kasus yang kemudian muncul menimbulkan ketidakpastian hukum. Dalam kasus BLBI misalnya, hukum pidana korupsi yang seharusnya ditegakkan, dinegasikan dengan penyelesaian hukum perdata. Hal ini jelas bertentangan dengan undang-undang tindak pidana korupsi, yang menyatakan secara jelas bahwa pengembalian kerugian negara sebagai akibat perbuatan korupsi tidak menghilangkan sifat melawan hukum pidananya.

Sebaliknya dalam kasus Neloe, Hukum Pidana Korupsi menjadi sangat superior terhadap hukum perbankan. Hal ini jelas sangat aneh bin ajaib. Karena secara normatif, perbuatan yang dilakukan oleh Neloe telah secara jelas dan tegas telah diatur dalam UU No 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan. Tetapi faktanya, Neloe dihukum dengan UU Korupsi.

Dalam dua contoh kasus diatas, tampak penegakan hukum yang dikedepankan tidak mempertimbangkan secara cermat dan tepat asas lex spesialis derogat legi generalis, menurut kekhususan yang sistematis.

Kekhususan yang Sistematis (Sistematis Specialite) merupakan suatu ketentuan pidana yang menyatakan walaupun tidak memuat semua unsur dari suatu ketentuan yang bersifat umum, ia tetap dapat dianggap sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, yaitu apabila dengan jelas diketahui, bahwa pembentuk undang-undang memang bermaksud untuk memberlakukan ketentuan pidana tersebut sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus

Dampak buruk dari tidak dipahami dan diimplementasikannya asas-asas hukum pidana secara baik adalah timbulnya ketidakjelasan pola penegakan hukum, sekaligus mengaburkan substansi penegakan hukum itu sendiri. Ini jelas sangat berbahaya, karena disamping bisa menimbulkan anomie, juga mengakibatkan terciptanya rasa takut dalam diri masyarakat. Padahal secara filosofis, undang-undang yang dibuat telah secara jelas dan tegas menuju kepada siapa (adresat) mereka ditujukan.

Lebih lanjut, dampak buruk lainnya adalah timbulnya deligitimasi undang-undang perbankan itu sendiri. Padahal, jika melihat ketentuan hukum perbankan, aspek hukum yang terkait dalam undang-undang ini didominasi oleh ketentuan hukum administrasi dan perdata, sementara ketentuan hukum pidana mendapatkan porsi yang sangat kecil karena kapasitas dan misinya ditujukan sebagai sarana hukum terakhir (ultimum remedium).

Pembagian porsi hukum ini bukan tanpa dasar, hal ini telah mempertimbangkan aspek iklim perbankan nasional pada khususnya dan kepercayaan luar negeri terhadap integritas aktor perbankan nasional pada umumnya.

Sebagai penutup, kedepan penegakan hukum terhadap tindak pidana perbankan harus dilakukan secara proporsional dan rasional. proporsional dalam artian keseimbangan sarana-sarana yang digunakan dalam hubungannya dengan hasil yang ingin dicari atau dicapai. Rasional dalam hal memilah dalam hal-hal apa sajakah UU Perbankan dapat dikesampingkan oleh UU Korupsi, atau sebaliknya. Sehingga tercipta kepastian hukum dan kewibawaan undang-undang itu sendiri.

1 komentar:

  1. nah, klu pembobolan bank yang marak belakangan ini, gimana jalan keluarnya? duit gede hilang dimakan oknum perbankan, jika dikenakan uu perbankan apa dapat dikenakan uang pengganti??

    BalasHapus