Sabtu, 03 April 2010

Penghancuran dan Perusakan Benda

~ DEFINISI

Kejahatan perusakan dan penghancuran benda (verneiling of beschadiging van goederen), pasal 406 s/d 412, mengatur tentang kejahatan-kejahatan yang mengandung unsur merusak atau tingkah laku yang mengandung sifat demikian terhadap suatu benda.

Judul Bab XXVII buku II adalah Penghancuran dan Perusakan Benda, adalah mengambil dari dua macam unsur perbuatan yang ada dari pasal 406 sebagai bentuk pokoknya. Dalam rumusan kejahatan-kejahatan dalam Bab XXVII tersebut tidak disebutkan kualifikasinya sebagai perusakan dan atau penghancuran benda. Dalam praktek penyebutan tindak pidana perusakan benda biasanya terhadap ketentuan pasal 406.

::. Perusakan dan Penghancuran Benda Bentuk Pokok

Perusakan dan penghancuran benda dalam bentuk pokok, diatur dalam pasal 406 meru m uskan sebagai berikut:

  1. Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tidak dapat dipakai atau menghilangkan suatu benda yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau denda paling banyak Rp. 4.500,00
  2. Dijatuhkan pidana yang sama terhadap orang, yang dengan sengaja dan melawan hukum membunuh, merusakkan, membikin tidak dapat dipergunakan atau menghilangkan hewan yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain.

Perbedaan pokok antara ketentuan pada ayat 1 dan pada ayat 2, ialah mengenai objeknya. Pada ayat 1 objeknya bukan binatang, sedangkan pada ayat 2 terhadap objek binatang. Unsur-unsur rumusan pada ayat pertama adalah :

> Unsur-unsur objektif :

>> Perbuatan :

  1. Menghancurkan.
  2. Merusakkan.
  3. Membikin tidak dapat dipakai.
  4. Menghilangkan.

>> Objeknya : suatu benda.

>> Yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain.

> Unsur-unsur subjektif :

>> Dengan sengaja.

>> Melawan hukum.

Tentang unsur-unsur perbuatan antara yang terdapat pada ayat pertama dengan ayat kedua, yang berbeda hanyalah pada perbuatan menghancurkan (vernielen) pada ayat pertama yang tidak ada pada ayat 2. Sebaliknya pada ayat 2 dicantumkan perbuatan membunuh (doden) yang tidak ada pada ayat 1. Hal ini wajar, karena objek kejahatan pada ayat 2 adalah binatang, yang terhadap objek ini tidak dapat dilakukan perbuatan menghancurkan. Perbuatan membunuh adalah untuk objek binatang, karena binatang itu mempunyai nyawa. Perbuatan merusakkan (beschadingen) dan perbuatan menghancurkan sama-sama menimbulkan kerusakan. Perbedaannya adalah dari sudut akibat kerusakannya saja. Kerusakan benda yang disebabkan oleh perbuatan merusakkan, hanya mengenai sebagian dari bendanya, dan oleh karenanya masih dapat diperbaiki kembali. Tetapi kerusakan akibat oleh adanya perbuatan menghancurkan adalah sedemikian rupa parahnya, sehingga tidak dapat diperbaiki lagi.

Perbuatan membikin tidak dapat digunakan (onbruikbaar maken) mungkin pula berakibat rusaknya suatu benda. Tetapi rusaknya benda ini bukan dituju oleh petindak, melainkan bahwa benda itu tidak dapat lagi dipergunakan sebagaimana maksud benda itu dibuat. Dengan demikian akibat dari perbuatan ini bisa juga tidak rusaknya suatu benda, tetapi tidak dapat lagi dipakainya suatu benda. Tidak dapat dipakai dan rusak mempunyai pengertian yang berbeda.

Perbuatan menghilangkan (wegmaken) adalah melakukan sesuatu perbuatan terhadap sesuatu benda, sehingga benda itu tidak ada lagi. Misalnya sebuah arloji dilempar/dibuang ke sungai. Sesungguhnya arloji itu tetap ada, yakni ada di dalam sungai, tetapi sudah lepas dari kekuasaan bahkan pandangan orang atau seseorang. Lebih dekat pada pengertian tidak diketahui lagi. Pengertian yang demikian ini dapat dilihat pada suatu arrest HR (4-4-1921) yang menyatakan bahwa "menghilangkan harus diartikan secara luas, termasuk di dalamnya mengambil. Barang tidak perlu hilang atau tidak ditemukan lagi".

Berdasarkan pengertian yang luas ini, menghilangkan sudah terdapat pada perbuatan melemparkan suatu benda di jalan, yang kemudian diambil oleh orang lain yang menemukan. Ditemukannya benda itu oleh orang lain, tidak berarti perbuatan menghilangkan belum/tidak terjadi, karena pada kenyataannya perbuatan melemparkan sebagai wujud dari menghilangkan sudah timbul dan selesai dengan lepasnya benda itu dari kekuasaannya.

Perbuatan membunuh yang di atas sudah dibicarakan, hanya terjadi pada binatang. Sifat perbuatan ini sama dengan sifat perbuatan menghilangkan nyawa dalam pembunuhan (pasal 338). Terhadap objek binatang juga ada perbuatan membuat sehingga tidak dapat digunakan. Hewan dipelihara orang, ada kalanya karena mempunyai kegunaan tertentu. Misalnya kuda dipergunakan untuk berpacu (pacuan kuda) atau untuk menarik delman. Membuat tidak dapat digunakan lagi, cukup melakukan perbuatan memotong urat/otot kakinya, yang dengan demikian berakibat kuda itu tidak dapat lag i digunakan untuk berpacu atau menarik delman.



Unsur subjektif pada perusakan terdiri dari kesengajaan dan melawan hukum. Pada bagian muka sudah cukup dibicarakan mengenai 2 unsur ini. Namun dalam hubungannya dengan unsur-unsur l ainnya, kiranya tidak salah apabila disinggung lagi.

Kesengajaan di sini ditempatkan dengan mendahului banyak unsur. Kesengajaan harus ditujukan pada seluruh unsur yang ada dibelakangnya. Dihubungkan dengan unsur perbuatan yang ada dalam kejahatan ini, seperti merusakkan menghancurkan, maka berarti bahwa petindak menghendaki untuk mewujudkan perbuatan merusakkan atau menghancurkan itu, ia sadar bahkan juga menghendaki akibat yang akan timbul.

Kehendak, kesadaran, atau pengetahuan petindak ini harus sudah ada sebelum (setidaknya pada saat memulai) melakukan perbuatan itu. Begitu juga terhadap unsur-unsur lainnya.

Unsur melawan hukum, juga terdapat di belakang kesengajaan, yang berarti terhadap melawan hukum harus dituju oleh adanya kesengajaan petindak. Artinya petindak sebelum melakukan perbuatan seperti merusakkan, ia memiliki kesadaran bahwa melakukan perbuatan merusak benda milik orang lain itu adalah bertentangan dengan hukum. Bertentangan dengan hukum harus diartikan secara luas bukan saja dengan hukum tertulis atau UU, akan tetapi bertentangan dengan apa yang dikehendaki masyarakat. Bertentangan dengan yang dikehendaki artinya perbuatan itu tidak boleh dilakukan.

Adalah menjadi persoalan, dengan dicantumkannya perkataan dan (en) antara sengaja dengan melawan hukum (demikian halnya juga pada penggelapan). Persoalannya ialah, apakah kesengajaannya itu harus juga ditujukan pada unsur melawan hukum? Mengingat perkataan "dan" dari sudut tata bahasa berfungsi sebagai penghubung antara kata sebelum dan yang sesudahnya, dan tidak yang satu meliputi yang lain.

Mengenai persoalan ini timbul 2 pendapat. Pendapat yang pertama mengatakan bahwa, walaupun adanya perkataan "dan" di situ, tetapi juga unsur kesengajaan itu ditujukan pada unsur melawan hukum. Adanya perkataan dan di situ hanyalah digunakan sebagai kelaziman saja dalam tata bahasa (Belanda) "dan" tidak mempunyai arti yang khusus. Pendapat ini didukung oleh Simons (Kartanegara, 1:262).

Sebaliknya Hoge Raad berpendapat lain, sebagaimana dalam suatu arrestnya (21-12-1914) yang menyatakan bahwa "apabila dalam UU dipakai dengan tegas perkataan opzettelijk en wederrechtelijk (sengaja dan melawan hukum), maka opzettelijk tersebut tidak perlu juga ditujukan pada unsur wederrechtelijk .

Tampaknya dalam hal ini HR menganut pendapat melawan hukum yang objektif. Hal ini sesuai dengan pendapat Moeljatno yang mengatakan bahwa sifat melawan hukum perbuatan dalam pasal 406 itu terletak pada hal benda tersebut milik orang lain dan tidak mendapatkan izin dari pemiliknya untuk berbuat demikian (Moeljatno, 1983:62).

Perbedaan paham ini mempunyai konsekuensi yang berbeda dalam hal pembuktian. Apabila mengikuti pendapat pertama, maka harus dapat dibuktikan bahwa petindak mengetahui atau sadar bahwa perbuatannya merusak, menghancurkan dan sebagainya terhadap benda milik orang lain itu adalah bertentangan dengan hukum. Sebaliknya apabila mengikuti pendapat yang kedua, pembuktian seperti itu tidak diperlukan. Pembuktiannya adalah cukup dengan membukti­ kan bahwa benda itu bukan milik petindak dan atau tidak ada kehendaknya untuk dirusak.

Berdasarkan adanya perbuatan yang dirumuskan secara tegas dalam pasal 406, maka tindak pidana ini tergolong sebagai tindak pidana formil. Akan tetapi apabila dilihat sudut bahwa untuk selesainya kejahatan ini ditentukan oleh dapat selesainya perbuatan, sedangkan untuk terwujudnya perbuatan seperti merusak dan menghancurkan, diperlukan adanya/timbulnya akibat rusaknya atau hancurnya benda, maka sesungguhnya tindak pidana ini tidak dicantumkan secara tegas dalam rumusan seperti halnya penipuan dan pemerasan, tetapi akibat ini sudah terkandung secara terselubung di dalam unsur perbuatan.

Untuk tindak pidana yang dirumuskan dengan cara mencantumkan unsur tingkah lakunya secara tegas, yang disamping itu mencantumkan juga unsur akibatnya baik secara tegas maupun secara terselubung, maka dapat disebut sebagai tindak pidana formil-materiil..

1 komentar:

  1. Bagaimana apabila benda tersebut dengan sengaja ditujukan untuk mempersulit atau menghambat akses bagi pemilik benda lainnya. Misalnya A memiliki sebuah rumah dan gerbang rumahnya dirantai dan digembok oleh B yang bukan memiliki rumah tersebut. A merusak rantai dan gembok milik B yang menghalangi A untuk masuk kerumahnya, apakah A terjerat pasal 406? terima kasih atas penjelasannya.

    BalasHapus