Senin, 12 April 2010

Sejarah Aliran Aliran Kriminologi

Kriminologi sebagai bidang studi tentang kejahatan dapat ditelusuri melalui sejarh panjang dari buku-buku teks yang terbit di Eropa dan Amerika beberapa waktu yang lampau, khususnya yang berisi teori-teori tentang kejahatan. Sebagai studi ilmiah tentang kejahatan, kriminologi tumbuh dan berkembang sebagai rekasi dari “kekacauan” dan ketidak tertiban di Negara-negara Eropa abad 18 dan 19 dengan harapan bahawa ilmu pengetahuan baru dapat menemukan hukum alam yang memungkinkan masyarakat berkembang melalui program untuk mewijudkan kesejahteraan masyarakatnya. Akibatnya segala sesuatu yang dipandang sebagai dapat mengganggu terwujudnya kesejahteraan masyarakat seperti kejahatan, dipandang sebagai melanggar hukum alam.

Penjelasan demonologik mendasarkan pada adanya kekuasaan lain atau spirit. Usur utama dalam penjelasan spirtistik adalah sifatnya yang melampaui dunia empirik, dia tidak terikat oleh batasan-batasan kebendaan atau fisik, dan beroperasi dalam cara-cara yang bukan menjadi subyek kontrol atau pengetahuan dari pikiran manusia yang bersifat terbatas. Oleh karena spirit (roh) itu sendiri tidak dapat dijelaskan dan tidak dapat dimengerti, sehingga ini merupakan cara penjelasan yang sempurna bagi semua fenomena.

Pada penjelasan naturalistik, penjelasan yang di berikan lebih terperinci dan bersifat khusus serta melihatnya daris egi obyek dan kejadian-kejadian dunia kebendaan dan fisik. Apabila penjelasan demonologik menguraikan dasar kekuatan dunia lain untuk menjelaskan apa yang terjadi, maka penejlasan naturalistik menggunakan ide-ide dan penafsiran terhadap obyek dan kejadian-kejadian serta hubungannya dengan dunia yang ada. Dengan demikian penjelasannya berada pada apa yang diketahui atau dianggap benar menurut fakta fisik atau empirik dan dunia kebendaan. Pendekatan naturalistik inipun dikenal baik pada kuno maupun modern.

1. Kriminologi Klasik
Aliran pemikiran ini mendasarkan pada pandangan bahwa intelegensi dan rasionalitas merupakan ciri fundamental manusia dan menjadi dasar bagi penjelasan perilaku manusia, baik yang berisfat perorangan maupun kelompok. Intelegensi membuat manusia mampu mengarahkan dirinya sendiri dalam arti dia adalah penguasa dari nasibnya, pemimpin dari jiwanya, makhluk yang mampu memahami dirinya dan bertindak untuk mencapai kepentingan dan kehendaknya. Ini merupakan kerangka pemikiran dari semua pemikiran klasik seperti dalam filsafat, psikologi, politik, hukum dan ekonomi. Dalam konsep yang demikian maka masyarakat dibentuk sebagaimana adanya sesuai kemampuan kecerdasan atau akal yang dapat ditingkatkan melalui latihan dan pendidikan, sehingga manusia mampu mengontrol nasibnya sendiri baik sebagai individu maupun sebagai suatu masyarakat. Kejahatan di pandang sebagai hasil pilihan bebas dari individu dalam menilai untung ruginya melakukan kejahatan. Oleh karena itu secara rasional tanggapan yang diberikan oleh masyarakat terhadap hal itu adalah dengan meningkatkan kerugian yang harus di bayar dan menurunkan keuntungan yang diperoleh dari kejahatan agar orang-orang tidak memilih melakuakn kejahatan. Dalam hubungan ini tugas kriminolog adalah untuk membuat pola dan menguji sistem hukuman yang dapat meminimalkan terjadinya kejahatan. Dalam literatur kriminologi, pemikiran klasik (neo klasik) maupun positive merupakan ide-ide yang penting dalam usaha untuk memahami dan mencoba bebruat sesuatu terhadap kejahatan. Nama yang sangat terkenal adalah Cesare Beccaria (1738-1794).

(2) Kriminologi Positive
Aliran pemikiran postive bertolak pada pandnagan bahwa perilaku manusia ditentukan oleh faktor-faktor di luar kontrolnya, baik berupa faktor biologik maupun kultural. Ini berarti bahwa manusia bukan makhluk yang bebas untuk bebruat menuruti dorongan keinginannya dan intelegensianya, akan tetapi makhluk yang dibatasi atau ditentukan oleh perangkat biologiknya atau evolusi kulturalnya.

Aliran pemikiran ini menghasilkan dua pandangan yang berbeda yaitu determinis biologik yang menganggap bahwa organisasi sosial berkembang sebagai hasil dari individu dan perilakunya dipahami dan diterima sebagai pencerminan umum dari warisan biologik. Sebaliknya determinis kultural menganggap bahwa perilaku manusia dalams egala aspeknya selalu berkaitan da mencerminkan nilai-nilai dunia sosio kulturalyang melingkupinya. Mereka berpendapat bahwa dunia kultural secara relatif tidak tergantung pada biologik, dalam arti perubahan pada yang satu tidak berarti sesuai atau segera menghasilkan perubaahn lainnya. Perubahan kultural diterima sebagai suatu dengan bekerja ciri-ciri istimewa atau khussu dari fenomena kultural daripada sebagai akibat dari keterbatasan biologik semata. Dengan demikian biologi bukan penghasil kultur, begitu juga penjelasan biologik tidak mendasari fenomena kultural.

Cesare Lombrosso (1835-1909) dapat dipandang sebagai pelopor aliran ini yang memulai studinya dengan mencari sebab-sebab kejahatan yang lebih menekankan pada sifat dasar perilaku kejahatan daripada ciri-ciri perbuatan jahat. Disamping itu aliran positive dipandang sebagai yang pertama kali dalam bidang kriminologi yang memformulasikan dan menggunakan cara pandang, metodologi dan logika dari ilmu pengetahuan alam di dalam mempelajari perbuatan manusia.

Sebagai pelopor mazhab positive, Lombrosso lebih dikenal dengan teori biologi kriminal, namun perlu di catat bahwa itu bukan merupakan dasar dari aliran positive. Dasar sesungguhnya dari postivisme dalam kriminologi adalah konsep tentang sebab kejahatan yangbanyak (multiple factor causation), yakni faktor-faktor yang alami atau yang di bawa manusia dan dunianya, yang sebagian bersifat biologik dans ebagian karena pengaruh lingkungan.

(3) Kriminologi Kritis
Kriminologi kritis berpendapat bahwa fenomena kejahatan sebagai konstruksi sosial, artinya manakala masyarakat mendefiniskan tindakan tertentu sebagai kejahatan, maka orang-orang tertentu memenuhi batasan sebagai kejahatan. Ini berarti bahwa kejahatan dan penjahat bukanlah fenomena yang berdiri sendiri yang dapat diidentifikasikan dan dipelajari secara obyektif oleh ilmuwan sosial, sebab dia ada hanya karena hal itu dinyatakan oleh masyarakat. Oleh karenanya kriminologi kritis mempelajari proses-proses di mana kumpulan tertentu dari orang-orang dan tindakan-tindakan ditunjuk sebagai kriminal pada waktu dan tempat tertentu. Kriminologi kritis bukan sekedar mempelajari perilaku dari orang-orang yang didefinisikan sebagai kejahatan, akan tetapi juga perilaku dari agen-agen kontrol sosial tertentu sebagai kejahatan. Dekatan kritis ini secara relatif dapat dibedakan antara pendekatan “interaksionis” dan “konflik”. Pendekatan interkasionis berusaha untuk menetukan mengapa tindakan-tindkan dan orang-orang tertentu didefinisikan sebagai kriminal oleh masyarakat tertentu dengan cara mempelajari persepsi makna kejahatan yang dimiliki oleh agen kontrol sosial dan orng-orang yang diberi baatsan sebagai penjahat. Di samping itu juga dipelajari makna proses sosial yang dimiliki kelompok yang bersangkutan dalam mendefinisikan seseorang sebagai penjahat.

Hubungan antara kejahatan dan proses kriminalisasi secara umum dinyatakan dengan digunakannya konsep “penyimpangan” (deviance) dan rekasi sosial. Kejahatan dipadang sebaagi bagian dari penyimpangan sosial dalam arti bahwa tindakan yang bersangkutan berbeda dari tindakan-tindakan yang dipandang sebagai tindakan-tindakan normal atau biasa di dalam masyarakat dan terhadap tidakan menyimpang tersebut diberikan reaksi sosial yang negatif, dalam arti secara umum masyarakat memperlakukan orang-orang tersebut sebagai “berbeda” dan “jahat”. Dengan demikian siapa yang di pandang menyimpang dari masyarakat tertentu terutama tergantung pada masyarakat itu sendiri.

Dasar pemikiran interkasionis ini bersumber pada “symbolic interactionism” yang dikemukakan oleh Mead (1863-1931) yang menekankan bahwa “sumber” perilaku manusia, tidak hanya ditentukan oleh peranan kondisi-kondisi sosial, akan tetapi juga pernanan individu dalam menangani, menafsirkan, dan berinterkasi dengan kondisi-kondisi-kondisi sosial akan tetapi juga pernan individu dalam menangani, menafsirkan, dan berinteraksi dengan kondisi-kondisi yang bersangkutan. Menurutnya manusia sebagai pencipta dan sekaligus sebagai produk dari lingkungannya.

Orientasi sosio-psikologis teori konflik terletak pada teori-teori interaksi sosial mengenai pembentukan kepribadian dan konsep “proses sosial” dari perilaku kolektif. Pandnagan ini mengansumsikan bahwa manusia selalu merupakan makhluk yang terlibat dengan kelompok-kelompoknya, dalam arti hidupnya merupakan bagian dan produk dari kelompok kumpulan-kumpulannya. Pandnagan ini juga bernaggapan bahwa masyarakat merupakan kumpulan kelompok-kelompok yang bersama-sama memikul perubahan, namun mampu menjaga keseimbangan dalam menghadapi kepentingan-kepentingan dan usaha-usaha dari kelompok yang bertentangan.

Pada tahun 1970-an muncul apa yang disebut sebagai “kriminologi Marxis”. Mengenai istilah “kriminologi Marxis” ini terdapat beberapa penulis yang menentangnnya. Menurut Paul Q. Hirst, tidak ada teori Marxis tentang kejahatan baik dalam eksistensinya maupun yang dapat dikembangkan dari marxisme yang ortodoks. Tanpa bermaksud untuk memasuki lebih dalam pembicaraan tentang Kriminologi Marxis, namun perlu di catat bahwa teori konflik tidak sama dengan teori Marxis. Lebih-lebih jika ada tanggapan bahwa aliran kritis sama dengan marxis.

Reid (1976) mislanya, menyatakan bahwa teori konflik mendasarkan pada 3 hal: bahwa perbedaan bekerjanya hukum mencerminkan kepentingan dari rulling class bahwa perbuatan kejahatan akibat dari cara produksi dalam amsyarakat, dan bahwa hukum pidana dibuat untuk mencapai kepentingan ekonomi rulling class. Apa yang disebut Reid tersebut adalah tentang Kriminologi Marxis, dan bukan teori konflik yang non Marxis. Satu perbedaan mendasar anatara kriminologi Marxis dengan non Marxis adalah pandangannya apakah kejahatan dianggap bersifat patologis. Pada perspektif konflik yang non Marxis maka kejahatan dipandang sebagai tindakan yang normal dari orang-orang normal yang tidak memiliki kekuasan yang cukup untuk mengontrol proses kriminalisasi dan dalam perspektif perilaku menyimpang, kejahatan dipandang sebagai perwujudan dari kebutuhan masyarakat untuk mengkriminalisasikan perbedaan. Pendukung kedua perspektif itu menolak ide karena kejahatan bersifat patologis dengan mengajukan argumentasi bahwa keduanya, yaitu perbuatan dan kriminalisasi terhadap perbuatan adalah normal.

Sebaliknya bagi kriminologi Marxis, dia kembali pada ide positivis yakni bahwa kejahatan bersifat patologis, yang di dasarkan pada konsep Marx bahwa orang menjadi “demoralized” dan subyek dari segala bentuk kejahatan dan perbuatan yang tidak senonoh apabila di dalam masyarakat mereka ditolak perananya sebagai produkti. Perilaku yang patologis tersbeut berupa abtasan ilmiah sebagai perbuatan yang merugikan masyarakat atau tindakan-tindakan yang memperkosa hak-hak asasi manusia dan dapat meliputi kejahatan-kejahatan lapis bawah, di mana orang-orang miskin merupakan sasarannya antara mereka sendiri dan juga lainnya, maupun kejahatan-kejahatan lapis aats seperti pencemaran, perang, dan eks[loitasi terhadap kelas pekerja. Sebab-sebab dari perilaku yang bersnagkutan dianalitis dan ditemukan melekat pada sistem ekonomi kapitalistik dan untuk mengobatinya adalah melalui pembangunan masyarakat sosialis. Akhirnya perlu di catat di sini bahwa nilai dari teori konflik yang non Marxis adalah pandangannya bahwasannya di dalam setiap masyarakat-apakah masyarakat kapitalis, fasis, demokratis atau apa saja-selalu terdapat konflik nilia-nilai dan kepentingan-kepentingan di antara bagian-bagian di dalam masyarakat, dan penyelesaian dari pertentangan atau konflik tersebut akan dipengaruhi oleh kekuasaan dari kelompok-kelompok yang bertentangan. Sehingga perbedaan aspek dan maknanya reflexivity akan membawa berbagi implikasi dalam teori, riset dan prakteknya. Misalnya berkaitan dengan disiplin, konteks, retorika dan penentuan strategi, pendirian atau sudut pandang dan praktek atau pelaksanaannya.

Di dunia ini paling tidak terdapat dua fenomena yang sangat powerfull yang mampu mengubah wajah dunia, yaitu ilmu pengetahuan dan hukum. Hukum adalah sesuatu yang menembus wajah kehidupan sosial yang sangat mempengaruhi kita. Hukum membentuk hidup kita dari kondisi-kondisi sejak lahir hingga mati dan segalanya diantaranya. Kriminologi yang bagaimanapun tidak dapat dihindarkan sebagai pengetahuan tentang “knowledge-power” yang secara inheren berkaitan dengan praktek penjatuhan hukuman. Bagaimanapun pandangan untuk membangun reflexie criminology diharapkan dapat memberikan sumbangan, bukan saja pada aspek peningkatan peradaban dan kontrol diri dalam manajemen tertentu dari kehidupan sosial dan personal di dalam amsyarakat akan tetapi juga sebagai pertimbangan tingkat reflexivitas yang mungkin dapat dilakukan (possible) dan di dalam keinginan-keinginan intelektual dari disiplin yang ada serta terhadap reformasi sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar