Senin, 12 April 2010

Kekerasan Pada Pasangan Pacaran

Pendahuluan

Ketika masih menjabat sebagai Menteri Sosial Republik Indonesia, Sri Redjeki mengatakan bahwa pelanggaran HAM terhadap perempuan dan anak selama 2001 mengalami peningkatan. Menyangkut penipuan tenaga kerja perempuan meningkat 43,4 persen, kekerasan naik 27,7 persen, perkosaan naik 15,5 persen.

Data dari FBI : Uniform Crime Report Amerika Serikat pada tahun 1990 jumlah perkosaan yang tercatat sebanyak 102.555 kejadian. Angka ini menunjukkan bahwa dari sekitar 100.000 perempuan yang menjadi korban pemerkosaan rata-rata 41,2 orang1.

Sementara data dari National Crime Victimization Survey melaporkan pada tahun yang sama terdata 130.260 kejadian, baik yang baru berupa percobaan perkosaan ataupun perkosaan. Survey ini memperkirakan dari tahun 1973-1990 terjadi perkosaan fluktuatif antara 1,1 - 0,6/1000 orang, termasuk perkosaan yang terjadi pada laki-laki2.

Data lain dari National Crime Victimization Survey yang telah mengadakan survey kepada 1,5 juta laporan perkosaan selama sepuluh tahun menunjukkan bahwa korban paling banyak berada pada usia 16 sampai 25 tahun. Hal lain yang berhasil diketemukan adalah sekitar 70 persen korban adalah belum menikah3.

Banyak sekali persangkaan-persangkaan yang tidak benar melingkupi perkara perkosaan. Salah satu diantaranya menyatakan bahwa pelaku perkosaan kebanyakan adalah orang yang tidak dikenal. Justru temuan di lapangan menunjukkan kebalikannya. Pelaku dan korban biasannya adalah saling kenal, atau bahkan memiliki hubungan yang intim. Pelaku biasanya adalah orang tua, saudara, paman, pacar atau tetangga. Indikasi yang lain menyatakan bahwa satu dari tiga kejadian perkosaan terjadi di dalam rumah, baik milik korban ataupun milik pelaku4.

Kenyataan bahwa pelaku perkosaan adalah orang yang dikenal dan lebih sering terjadi di dalam rumah dan bahkan dilakukan oleh suami atau pasangan yang tinggal serumah tanpa nikah. Hal ini menbawa kita kepada pembahasan tentang kekerasan domestik.

Laporan dari Department of Justice’s Bureau of Justice Statistics Amerika Serikat tentang Intimate Partner Violence and Age of Victim, 1993-99, menyebutkan pada tahun 1999 sebanyak 671.110 perempuan telah mengalami kekerasan domestik termasuk didalamnya kekerasan oleh pacar. Delapan puluh lima persen korban kekerasan dalam hubungan yang intim adalah perempuan, dan jenis penyerangan seksual dan perkosaan terjadi sebanyak 14 persen.

Usia perempuan antara 16 hingga 24 tahun adalah masa yang paling rentan menjadi korban jenis kekerasan ini, dengan proporsi jumlah kejadian sebanyak 15,6 per 1000 perempuan. Proporsi untuk keseluruhan usia perempuan adalah 5,8 kasus per 1000 perempuan5.

Adapun kekerasan domestik adalah kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang terjadi di dalam keluarga, termasuk pemukulan, pelanggaran seksual terhadap perempuan dalam rumah tangga, kekerasan yang berkaitan dengan mahar, pemerkosaan dalam perkawinan, pengrusakan alat vital perempuan dan praktek tradisional lainnya yang merugikan perempuan, serta kekerasan yang berkaitan dengan ekspliotasi6.

Data dari Mitra Perempuan tahun 1998, menunjukkan bahwa hubungan pelaku dan korban kekerasan domestik sangat dekat, dimana 66,3% dari pelaku adalah suami, 10,2% adalah pacar korban, dan 23,5%, dan sisanya adalah lain-lain7.


Permasalahan

Dalam sebuah studi secara nasional di Amerika Serikat terhadap mahasiswi, ditemukan 27,5% menyatakan pernah diperkosa atau mengalami percobaan perkosaan sejak berumur 14,3 tahun. Dan hanya 5% diantaranya yang melaporkan kasus tersebut kepada polisi8. Studi yang sejenis di Kanada, memperlihatkan bahwa 37% perempuan telah mengalami perkosaan sejak berumur 16 tahun9.

Sebuah studi di Amerika serikat yang melakukan survey terhadap murid laki-laki dan perempuan kelas 8 dan 9 (sama dengan kelas 2 dan 3 smp), memperlihatkan bahwa 25% menyatakan pernah menjadi korban kekerasan nonseksual dan 8% mengaku pernah menjadi korban kekerasan seksual selama pacaran10.

Hasil yang dirumuskan dari berbagai studi memperlihatkan adanya 22% murid SMA dan 32% mahasiswa baik laki-laki maupun perempuan yang pernah mengalami nonseksual kekerasan selama pacaran11. Di Kanada, setidaknya 16–35% perempuan pernah mengalami kekerasan secara fisik oleh pacar mereka.

Tetapi dari berbagai sumber lain menyatakan bahwa korban perempuan hingga dua kali lebih banyak dibandingkan korban laki-laki, dan korban perempuan lebih menderita dibandingkan korban laki-laki12.

Lebih dari separuh dari sekitar 1000 mahasiswi pada perguruan tinggi di kota besar Amerika Serikat, telah mengalami perkosaan yang dilakukan oleh pacar mereka13.

Hasil dari national crime victimization survey di Amerika Serikat berkesimpulan bahwa perempuan 6 (enam) kali lebih rentan mengalami kekerasan akibat ulah teman dekat mereka, baik pacar, bekas pacar mengesampingkan mereka tinggal serumah ataupun tidak14.

Hampir separuh dari sekitar 500.000 kasus perkosaan dan percobaan perkosaan yang dilaporkan yang dialami perempuan dari berbagai golongan umur, dilakukan oleh teman atau orang yang dikenal. Dan 80% hingga 95% perkosaan yang terjadi di universitas dilakukan oleh orang yang dikenal oleh korban15.

Ditemukan bahwasanya pacar adalah salah satu status yang banyak melakukan perkosaan. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku berpacaran pun tidak hanya diisi dengan cerita-cerita roman, tetapi bahkan penuh dengan air mata dan menyedihkan, bukan hanya karena diputus pacar tetapi juga mengalami kekerasan oleh sang pacar.

Tulisan ini mencoba membahas permasalahan ini secara membabi-buta berdasarkan beberapa studi yang pernah dilakukan di negara lain.


Pengertian Konsep


Pelecehan seksual adalah:

...bentuk perbuatannya sangat (subtil?), seperti mengedip-ngedipkan dan memelototkan mata pada seorang perempuan, mengomentari bentuk tubuhnya, menyiulinya, meraba, atau menciuminya, mulai dengan yang persuasif sampai dengan yang menggunakan kekerasan”.


Pengertian diatas dapat dibagi kedalam tingkat penggunaan kekerasan, dari yang ringan hingga paling keras, serta cara pelecehan seksual, dari verbal hingga penggunaan kekerasan16.

Pelecehan seksual, terutama yang terjadi ditempat kerja biasanya diiringi dengan adanya penggunaan kewenangan, dalam hal ini atasan terhadap bawahan. Pemanfaatan kewenangan ini membuktikan bahwa tidak hanya penggunaan kekerasan secara fisik tetapi juga ancaman secara verbal, dengan memanfaatkan ketergantungan korban terhadap pelaku secara sosial maupun ekonomi17.

Viktimisasi adalah suatu perbuatan yang dengan sengaja melawan hukum atau yang menurut hukum dapat menimbulkan penderitaan mental, fisik, dan sosial, pada seseorang atau sekelompok orang atau lembaga, oleh orang atau kelompok orang atau lembaga lain, baik untuk kepentingan sendiri maupun orang lain18.

Jenis Penganiyaan dalam kekerasan domestik:

  1. Physical Battering, yaitu segala bentuk penamparan, pemukulan, pembakaran, penendangan, penembakan, dan penikaman.

  2. Sexual Battering, yaitu segala bentuk kekerasan terhadap alat-alat vital (oral, anal, dan genital) perempuan (istri), serta perkosaan dalam perkawinan.

  3. Phsycological Battering, yaitu segal bentuk ancaman, perintah atau pemaksaan untuk melakukan atau menerima perlakuan seperti yang disebutkan dalam butir 1 dan 2., serta segala bentuk pendiskreditan.

  4. Property Battering, yaitu segala bentuk penghancuran terhadap barang-barang milik perempuan (istri).

  5. Penganiayaan Ekonomi, yaitu bentuk penguasaan terhadap semua sumber-sumber ekonomi keluarga, sehingga korban tidak dapat memiliki sumber daya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan menjadi tergantung kepada pelaku19.


Korban adalah individu, kelompok atau lembaga, yang mengalami penderitaan atau kesakitan, baik secara fisik maupun mental, sebagai akibat dari tindakan individu, kelompok atau lembaga lain yang mencari pemenuhan kebutuhannya yang bertentangan dengan kepentingan dan hak-hak individu, kelompok atau lembaga yang mengalami penderitaan atau kesakitan tersebut20.

Menurut “The Declaration of Basic Principle of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power”, Perserikatan Bangsa-bangsa (1985) menyatakan bahwa, yang dimaksud dengan korban adalah orang-orang yang secara individual atau kolektif telah mengalami penderitaan meliputi penderitaan fisik atau mental, penderitaan emosi, kerugian ekonomis atau pengurangan substansial hak-hak asasi melalui perbuatan-perbuatan atau pembiaran-pembiaran (omissions) yang melanggar hukum pidana yang berlaku di negara-negara anggota yang meliputi juga peraturan hukum yang melarang penyalahgunaan kekeuasaan.

Istilah korban juga meliputi keluarga langsung korban, orang-orang yang menderita akibat melakukan intervensi untuk membantu korban yang dalam kesulitan atau mencegah viktimisasi21.


Kekerasan dalam pacaran (dating rape) adalah:

the perpetration or threat of an act of violence by at least one member of an unmarried couple on the other member within the context of dating or courtship. This violence encompasses any form of sexual assault, physical violence, and verbal or emotional abuse” 22.

Kekerasan dalam pacaran (dating rape) adalah kekerasan atau ancaman melakukan kekerasan dari satu pasangan yang belum menikah terhadap pasanganannya yang lain dalam konteks berpacaran atau tunangan. Kekerasan ini termasuk didalamnya kekerasan seksual, kekerasan fisik dan emosional (terjemahan bebas).

Sexsual abuse, seperti menyentuh bagian intim yang tidak dikehendaki,memaksa dengan kekerasan untuk melakukan hubungan seksual, perkosaan dan percobaan perkosaan, melakukan hubungan seksual dengan orang yang sedang mabuk atau dalam pengaruh alkohol atau drug. Termasuk pula memaksa melakukan hubungan seksual tanpa alat pengaman (kondom) yang menyebabkan kekhawatiran akan terinfeksi HIV-AIDS.

Physical abuse, diantaranya perlakuan menampar, mencekik, menghantam, menendang, membakar, menjambak, menggunakan senjata, mengancam menggunakan senjata, dan membatasi seseorang

Emotional Abuse termasuk didalamnya menghina, mengutuk, meremehkan, mengancam, meneror, menghilangkan hak milik, mengasingkan dari keluarga dan teman, termasuk pula perilaku possessiveness seperti cemburu yang berlebihan. Dapat dikatakan bahwa perilaku ini berbentuk keinginan untuk mengendalikan korban dengan mengecilkan kepercayaan diri dan kemampuan untuk independent secara tingkah laku23. Termasuk juga didalamnya memanggil dengan sebutan yang tidak disukai24.

Berpacaran adalah bertunangan; berkasih-kasihan. Sedangkan definisi pacar adalah teman atau lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih25.

Definisi berpacaran masih terlalu abstrak dan masih terlalu sulit untuk dijadikan pedoman. Bertunangan adalah bersepakat (biasanya diumumkan secara resmi atau dinyatakan di hadapan orang banyak) akan menjadi suami-istri26. Definisi ini justru saling bertentangan. Biasanya pacaran tidak diumumkan secara terbuka kepada orang banyak.

Demikian pula perilaku berkasih-kasihan masih perlu penjelasan. Secara garis besar definisi menurut KBBI masih membutuhkan keterangan lebih lanjut. Definisi pacar sebagai adanya hubungan pertemanan antar lawan jenis yang tetap dan mempunyai landasan cinta kasih di luar pernikahan juga tidak mencakup hubungan antar sesama jenis. Di negara bagian Montana dan Vermont menyebut kata “partners” untuk mendeskripsikan hubungan baik antar lain jenis, maupun sesama jenis, dan memasukkan hubungan tersebut dalam definisi dating rape.

Untuk pedoman dalam penulisan makalah ini, maka definisi diatas ditambah dengan adanya hubungan antar sesama jenis.


Pacaran dan Kekerasan Seksual

Gejala perilaku pacaran sudah sangat umum dikalangan masyarakat Indonesia. Bahkan perilaku ini juga dilakukan oleh anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah menengah. Bisa diamati pula di berbagai media massa yang membidik pasaran anak usia sekolah menengah sebagai target pasar, banyak mengangkat tulisan mengenai hubungan antar lawan jenis yang mereka sebut sebagai pacaran27.

Mungkin sebagian orang justru menjadi merasa malu ketika tidak punya pacar atau dikatakan “jomblo”. Kesadaran ini bisa menjadikan tradisi pacaran -jika dikatakan sebagai sebuah tradisi-, terus berkembang dan menjadi suatu gaya hidup baru bagi orang-orang yang belum beristri, (atau yang sudah punya istri(selingkuh)?) .

Pacaran bagi sebagian orang tua kita mungkin menjadi suatu hal yang tabu, tidak baik, dan bahkan mendapatkan larangan keras dari orang-orang tua mereka. Tidak banyak dijumpai lelaki muda berjalan dengan seorang perempuan muda, jika bukan keluarga dekat mereka. Bahkan kebiasaan untuk berkunjung kerumah teman perempuan yang dilakukan seorang lelaki muda tidak dilakukan seorang diri dan tidak lebih dari pukul 21.00 wib. Jelas sekali telah terjadi pergeseran pandangan dan akseptabilitas masyarakat terhadap pacaran.

Baiklah, mungkin kita tidak usah terjebak kepada mempermasalahkan penilaian terhadap tradisi pacaran. Pada kenyataannya pacaran bisa dikatakan sudah menjadi bagian dari budaya anak muda.

Menurut Hansen, lelaki dan perempuan memiliki harapan yang berbeda tentang pacaran. Perempuan memandang pacaran sebagai suatu keadaan untuk membangun pertemanan dan mencurahkan kasih sayang, sementara bagi laki-laki akan mengharapkan mendapatkan pengalaman seksual dari pasangannya28.

Kekerasan selama lebih banyak menempatkan wanita menjadi korban. Laporan dari UCR menyatakan bahwa korban pemerkosaan selalu perempuan29. Hal ini bisa dikarenakan perempuan lebih banyak yang melapor menjadi korban kekerasan30.

Tercatat sebanyak 8% siswa kelas 2 dan 3 SMP pernah mengalami kekerasan seksual selama pacaran31. Studi lain juga mengungkapkan bahwa perempuan lebih rentan dua kali lipat dibandingkan laki-laki32.

Kekerasan dalam pacaran juga mengalami berbagai macam distorsi dengan pemahaman kita tentang hal-hal yang terjadi selama berpacaran33. Sering kita mendengar pengakuan bahwa cemburu adalah bagian dari cinta, padahal sering kejadian kekerasan dimulai dari alasan ini. Pasangan menjadikan perasaan cemburu untuk mendapatkan legitimasi untuk melakukan hal-hal yang possessive dan tindakan mengontrol dan membatasi.

Pemukulan terhadap pasangan terutama perempuan biasanya disadari timbul karena adanya provokasi oleh korban. Pemukulan, entah diawali dengan adanya provokasi dari korban atau tidak tetap salah, dan hal tersebut tidak akan menyelesaikan masalah diantara pasangan tersebut.

Kenyataan menjadi “jomblo” yang tidak disukai oleh para remaja menyebabkan mereka memilih untuk tetap berpacaran meskipun dengan laki-laki yang jahat. Seharusnya pilihan untuk “memutuskan” pacar yang suka melakukan kekerasan lebih menjadi prioritas dan ditanamkan kepada perempuan, kepercayaan bahwa masih banyak lelaki yang “baik” juga harus disampaikan.

Perempuan juga harus memahami batasan yang harus ditetapkan, kepercayaan bahwa laki-laki tidak mampu melakukan kontrol terhadap perilaku seksualnya jangan menjadikan alasan untuk membenarkan melakukan tindakan yang lebih “jauh”. Anggapan bahwa lelaki berhak untuk mendapatkan pelayanan seksual atas apa yang telah mereka lakukan bukan menjadikan argumentasi untuk mendapatkannya. Bukan pula karena hubungan yang telah bertahan lama menjadikan mereka memiliki hak untuk mendapatkan “segalanya”. Perilaku seksual harus dilakukan atas persetujuan bersama dan dilakukan jika kedua belah pihak telah siap.

Jika telah terjadi kekerasan, maka harus cepat dilakukan intervensi oleh orang luar karena cenderung akan menjadi lebih parah. Lebih baik lagi jika terjadi kekerasan segera laporkan kepada institusi yang mampu memeberikan solusi. Strategi untuk membiarkan pasangan kita berubah bukanlah tindakan yang dianjurkan, mereka lebih membutuhkan pertolongan untuk merubah perilaku mereka.

Penggunaan nama panggilan juga dianggap tidak menimbulkan perlukaan. Tetapi bagi sebagain orang memanggil dengan nama yang tidak disukai bisa mengakibatkan luka secara emosional yang permanen.

Pelaku yang berpotensi melakukan kekerasan juga tidak bisa dilihat dari tampak fisik luar, semua orang memiliki potensi menjadi pelaku kekerasan, entah dia yang berbadan besar dan berotot kuat atau seseorang yang kurus dan kelihatan lemah.

Keyakinan diri bahwa kekerasan tidak menimpa kepada kita juga sesuatu yang berlebihan, hal itu bisa terjadi pada siapa pun, kapan pun dan dimana pun.


Beberapa jenis kekerasan yang bisa dialami oleh perempuan dari pasangannya adalah:

Kekerasan Fisik

Memukul, menendang, menjambak rambut, mendorong sekuat tenaga, menampar, menonjok, mencekik, membakar bagian tubuh/menyundut dengan rokok, pemaksaan berhubungan seks, menggunakan alat, atau dengan sengaja mengajak seseorang ke tempat yang membahayakan keselamatan. Ini biasanya dilakukan karena korban tidak mau menuruti kemauannya atau korban dianggap telah melakukan kesalahan.

Kekerasan seksual

Berupa pemaksaan hubungan seksual, pelecehan seksual (rabaan, ciuman, sentuhan) tanpa persetujuan. Perbuatan tanpa persetujuan atau pemaksaan itu biasanya disertai ancaman akan ditinggalkan, akan menyengsarakan atau ancaman kekerasan fisik.

Kekerasan emosional

Bentuk kekerasan ini biasanya jarang disadari, karena memang wujudnya tidak kelihatan. Namun sebenarnya, kekerasan ini justru akan menimbulkan perasaan tertekan, tidak bebas dan tidak nyaman. Bentuk kekerasan non fisik ini berupa pemberian julukan yang mengandung olok-olok; membuat seseorang jadi bahan tertawaan; mengancam, cemburu yang berlebihan, membatasi pasangannya untuk melakukan kegiatan yang disukai, pemerasan, mengisolasi, larangan berteman, caci maki, larangan bersolek, larangan bersikap ramah pada orang lain dan sebagainya34.

Karakteristik korban

  1. Perempuan muda, berusia antara 12 hingga 18 tahun lebih sering menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh kenalan, teman, atau pacar dibandingkan perempuan yang lebih tua35.

  2. Perempuan yang memiliki teman (peer group) pernah menjadi korban kekerasan seksual lebih sering menjadi korban kekerasan dalam pacaran36. Perempuan yang jarang pergi ke tempat ibadah37, memiliki bekas pacar banyak38, sering berpacaran39, dan perempuan yang pernah mengalami kekerasan serupa sebelumnya40 memiliki kerentanan menjadi korban.



Karakteristik pelaku

  1. Lelaki yang memiliki peer group dimana mereka mempunyai kecenderungan seksual yang agresif, pemabuk dan pengkonsumsi narkoba, lelaki yang mudah berpacaran, lelaki yang terlalu mengambil peran ketika berpacaran (termasuk selalu menjadi sopir), banyak mengeluarkan uang, memiliki pemahaman yang salah tentang seks, pernah melakukan hubungan seksual dengan korban, memiliki perilaku kekerasan terhadap orang lain, pemahaman hubungan lelaki perempuan yang tidak sejajar, dan lelaki yang memiliki ansumsi tentang perkosaan yang keliru41. Lelaki yang sering lepas kendali emosionalnya dengan memukul meja, dinding atau perabotan rumah, lelaki yang terlalu possessive dengan selalu menelpon untuk menanyakan sedang berada dimana dengan siapa dan melakukan apa, memiliki pandangan tradisional tentang hubungan lelaki perempuan, termasuk lelaki yang selalu berjanji tidak akan melakukan kekerasa lagi dengan berperilaku manis42

  2. Lelaki yang memiliki pengalaman kekerasan dalam keluarganya, baik dia sebagai korban langsung maupun orang lain dalam keluarganya43.

  3. Pengkonsumsian alkohol baik yang dilakukan oleh pelaku maupun korban berbanding searah dengan perlukaan yang diakibat kekerasan44.



Tindakan preventif

Kembangkan pemahaman bahwa kekerasan bukanlah bagaian dari sebuah hubungan antar manausia. Bahkan kekerasan tidak bolah terjadi pada siapapun, kapanpun, dan demi apapun.

Lakukan komunikasi dengan pasangan tentang hal-hal yang bisa diterima dan tidak, serta pastikan bahwa kekerasan akan mengakhiri hubungan.

Jangan berangan-angan cinta akan mengatasi segalanya, percayalah bahwa hal itu tidak akan pernah terjadi.

Cobalah untuk berkompromi dan mencari solusi ketika terjadi konflik, dan selalu kembangkan kemampuan relationship kita.

Jika merasa tidak kuat untuk mengontrol emosi, mintalah waktu untuk berpisah sementara waktu. Setelah merasa “enak” kembalilah dan lakukan komunikasi untuk mencari solusi.

Mintalah bantuan profesional jika terjadi kekerasan, untuk mengenai kekerasan yang terjadi. Jangan menyelesaikan sendiri, karena akan timbul bias.

Tumbuhkan kesadaran disekitar kita tentang kekerasan dalam pacaran, dan tindakan-tindakan yang mengarah kepada kekerasan tersebut.


Kesimpulan


Kekerasan dalam pacaran yang dilakukan oleh lelaki terhadap perempuan lebih dikarenakan pengharapan seksual yang diinginkan oleh lelaki dari hubungan yang dijalankan. Selain itu kekerasan juga dilakukan dengan mengandalkan kekuasaan dan kekuatan yang dimiliki oleh lelaki.

Membedakan antara cinta dengan kekerasan jika dibingkai dalam hubungan berpacaran memang sulit. Sebagian besar pasangan akan terkelabui dengan “cinta”. Bahkan ada anekdot yang menyatakan bahwa “kalau cinta, ....rasa coklat”. Semua hal yang dilakukan dan dialami dalam pacaran, walaupun sebenarnya tidak enak, tetapi yang dirasakan menjadi enak.

Perlu dibangun kesadaran bahwa cinta berbeda jauh dengan kekerasan. Tidak ada kekerasan dalam cinta. Dan cinta sejati tidak akan mengenal kekerasan.

Pacaran harus dibangun dalam kerangka kesejajaran, penuh pengertian dan saling menghargai. Setiap pasangan pacaran harus membuat kesepakatan-kesepakatan yang semestinya harus mereka taati dan tidak melanggarnya.

Akan tetapi lebih baiknya adalah menghindari pacaran. Karena dalam pacaran sebenarnya tidak terdapat mekanisme pertanggungjawaban. Jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan (atau malah diinginkan?) seperti kehamilan di luar nikah, maka orang yang tidak bertanggungjawab dengan mudah akan melarikan diri. Dengan dalih bahwa hubungan yang mereka lakukan adalah karena “suka sama suka”.

Selain itu hubungan ini membutuhkan banyak pengorbanan dan kewajiban layaknya suami-istri, sementara hak-hak yang didapatkan tidak sebanyak pasangan suami-istri. Akan tetapi jika cinta telah “membara”, mau bagaimana lagi. yang penting waspada dan bertanggungjawablah.


Daftar Pustaka


----------. 1978/1979. Kamus Istilah Sosiologi. Jakarta: Departemen sosiologi FIS-UI. Hal 103. Disadur dari Santi Kusumaningrum. Op.cit. Hal. 33.

KDRT, Kejahatan yang Tidak Terlaporkan”, dalam Info aktual Swara. Edisi No. 29, 19 Agustus 1999. disadur dari Santi Kusumaningrum. Ibid..

“Siapa Bilang dalam pacaran tidak ada kekerasan”. Lembar info, seri 23. Dapat dilihat di http://www.lbh-apik.or.id/fac-no.23.htm

Abbey, A.; Ross, L. T.; Mcduffie, D.; Mcauslan, P. Alcohol and dating risk factors for sexual assault among college women. Psychology of Women Quarterly 1996; 20(1)147-169.

Abbey, A.; Ross, L. T.; Mcduffie, D.; Mcauslan, P. Alcohol and dating risk factors for sexual assault among college women. Psychology of Women Quarterly 1996; 20(1)147-169. lihat pula: Abbey, A. Acquaintance rape and alcohol consumption on college campuses: How are they linked? College Health. 1991; 39(January):165-169.

Ageton, S. Sexual Assault Among Adolescents. Lexington, MA: Heath; 1983.

Arif Gosita. 1985. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta: Akademika Pressindo. Hal. 44. Disadur dari Santi Kusumaningrum. Op.cit. Hal. 25.

Arif Gosita. 1993. Masalah Korban Kejahatan: Kumpulan Karangan. Jakarta : akademika Pressindo. Hal 46.

Bachman, R; Saltzman, L.E. Violence Against Women: Estimates from the redesigned survey, Bureau of Justice Statistics, Special Report, U.S. Department of Justice, August 1995.

Bachman, R; Saltzman, L.E. Violence Against Women: Estimates from the redesigned survey, Bureau of Justice Statistics, Special Report, U.S. Department of Justice, August 1995.

Beberapa majalah untuk segmen ini diantaranya: Gadis, Kawanku, Cosmo Girls. Dan masih banyak lainnya.

Callie Marie Rennison, Intimate Partner Violence. available on the Bureau of Justice Statistics’ web site. Atau lihat di http://endabuse.org/newsflash/index.php3?Search=Article&NewsFlashID=287

Foshee, V.A.; Linder, G.F.; Bauman, K.E.; Langwick, S.A.; Arriaga, X.B.; Heath, J.L.; McMahon, P.M.; Bangdiwala, S. The Safe Dates Project: Theoretical Basis, Evaluation Design, and Selected Baseline Findings. Youth Violence Prevention: Description and baseline data from 13 evaluation projects (K. Powell; D. Hawkins, Eds.). American Journal of Preventive Medicine, Supplement, 1996; 12 (5):39-47.

Gary L. Hansen, Ph.D. Extension Specialist in Sociology, Cooperative Extension Service, University of Kentucky. available at http://www.nnfr.org/adolsex/fact/adolsex_viol.html

Gray, H.M.; Foshee, V. Adolescent Dating Violence: Differences between one-sided and mutually violent profiles. Journal of Interpersonal Violence 1997;12(1)126-141.

Gwartney-Gibbs, P. A.; Stockard, J.; and Bohmer, S. Learning courtship aggression: The influence of parents, peers and personal experiences. Family Relations1987; 36:276-282.

http//www.lbh-apik.org

Joanne Belknap.1996. The Invisible Woman: Gender, crime, and Justice . California: Wadsworth Publ.Co. Hal 170-171. Disadur dari Santi Kusumaningrum. Op.cit. Hal. 29.

Kanin, E.J. Date rape: unofficial criminals and victims. Victimology: An International Journal 1984;9(1): 95-108. lihat pula Muehlenhard, C. L.; Linton, M. A. Date rape and sexual aggression in dating situations: Incidence and risk factors. J. Counseling Psychology 1987;34:186-196.

KBBI. Edisi Kedua. Cetakan Ke-7 1996. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta; Balai Pustaka. Hal. 711.

Kilpatrick, D. G.; Best, C. L.; Veronen, L. J.; Amick, A. E.; Villeponteaux, L. A.; and Ruff, G. A. Mental health correlates of criminal victimization: A random community survey. Journal of Consulting and Clinical Psychology 1985; 53:866-873.

Koss, M. P.; Gidycz, C. A.; and Wisniewski, N. The scope of rape: incidence and prevalence of sexual aggression and victimization in a national sample of higher education students. J. Consult Clin. Psychology 1987; 55:162-170. lihat pula: Koss, M. P. The hidden rape victim: personality, attitudinal and situational characteristics. Psychology of Women Quarterly 1985;9:193-212. bandingkan dengan: Koss, M. P. Defending Date Rape. Journal of Interpersonal Violence 1992;7(1) 121-126.

Laporan Konferansi Dunia Ke-4 tentang Wanita tahun 1995. Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita Republik Indonesia, 1996. Hal 73. Disadur dari Santi Kusumaningrum. 1999. Kekerasan domestik Sebagai Bentuk Viktimisasi Struktural dalam Rumah Tangga: Fenomena Kerentanan Istri Sebagai Korban. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Hal 8-9.

Makepeace, J. M. Gender differences in courtship violence victimization . Family Relations1986;35:383-388. lihat pula: Makepeace, J. M. Life events, stress and courtship violence. Family Relations 1983;32:101-109.

Makepeace, J. M. Social factor and victim-offender differences in courtship violence. Family Relations1987; 36:87-91.

Makepeace, J. M., The severity of courtship violence and the effectiveness of individual precautions. Family Abuse and Its Consequences. New Directions in Research (Gerald T. Hotaling, David Finkelhor, John T. Kirkpatrick, Murray A. Straus, Eds.) 1988: 297-311.

Nursyahbani Katjasungkana. 1996. “Sang Peleceh”. Gatra. 29 April. Hal. 9. Dikutip dari Rocky Sistarwanto. 1997. Pelecehan Seksual (Tinjauan Kriminologis Terhadap Aspek Perilaku dan Reaksi Terhadapnya). Skripsi. Jurusan Kriminologi. Tidak Diterbitkan. Hal 15.

Roberts, J. "Criminal Justice Processing of Sexual Assault Cases," Juristat: Service Bulletin. Ottawa: Canadian Centre for Justice Statistics (1994): vol. 14, no. 7: p.1.

Rocky Sistarwanto. 1997. Pelecehan Seksual (Tinjauan Kriminologis Terhadap Aspek Perilaku dan Reaksi Terhadapnya). Skripsi. Jurusan Kriminologi. Tidak Diterbitkan. Hal 17.

Sugarman, D. B. and Hotaling, G. T. Dating violence: prevalence, context and risk markers. In: Pirog-Good, M. A. and Stets, J. E. (Eds.) Violence in dating relationships. New York: Praeger; 1989:3-32.

Sugarman, D. B. and Hotaling, G. T. Dating violence: prevalence, context and risk markers. In: Pirog-Good, M. A. and Stets, J. E. (Eds.) Violence in dating relationships. New York: Praeger; 1989:3-32.

Sugarman, D. B. and Hotaling, G. T. Op.cit.

Sumber: FBI: Uniform Crime Report, Washington, D.C.; U.S.Goverment Printing Office, 1975:49;1985:43;1989:47;1991:50, disadur dari Voigt, Lydia et.al. 1994. Criminology and Justice.McGraw-Hill, Inc. New York, London/Tokyo/Toronto. pp 70, lihat pula pp 296.

Sumber: FBI: Uniform Crime Report, Washington, D.C.; U.S. Goverment Printing Office, 1975:49;1985:43;1989:47;1991:50, disadur dari Voigt, Lydia et.al. Op.cit.

Thorne-Finch, R. Ending the Silence: The Origins and Treatment of Male Violence Against Women. Toronto: University of Toronto Press, 1992, p.13.

Tidak diketahu penulisnya. Tersedia di http://www.hc-sc.gc.ca/hppb/familyviolence/html/datingeng.html

Wolfgang, Marvin E. et.al., The Sosiology of Crime and Delinquency,New York/London/Sydney/Toronto: John Wiley & Son, Inc. pp 644-653 lihat juga Voigt, Lydia et.al. 1994. Criminology and Justice.McGraw-Hill, Inc. New York, London/Tokyo/Toronto. pp 296-297 atau Besharov, Douglas J. 1990. Recognizing Child Abuse. Ney York: The Free Press.

1 Sumber: FBI: Uniform Crime Report, Washington, D.C.; U.S. Goverment Printing Office, 1975:49;1985:43;1989:47;1991:50, disadur dari Voigt, Lydia et.al. 1994. Criminology and Justice.McGraw-Hill, Inc. New York, London/Tokyo/Toronto. pp 70, lihat pula pp 296.

2 Op. cit. Voight. pp 296.

3 Ibid. Pp 298.

4Wolfgang, Marvin E. et.al., The Sosiology of Crime and Delinquency,New York/London/Sydney/Toronto: John Wiley & Son, Inc. pp 644-653 lihat juga Voigt, Lydia et.al. 1994. Criminology and Justice.McGraw-Hill, Inc. New York, London/Tokyo/Toronto. pp 296-297 atau Besharov, Douglas J. 1990. Recognizing Child Abuse. Ney York: The Free Press.

5 Callie Marie Rennison, Intimate Partner Violence. available on the Bureau of Justice Statistics’ web site. Atau lihat di http://endabuse.org/newsflash/index.php3?Search=Article&NewsFlashID=287

6 Laporan Konferansi Dunia Ke-4 tentang Wanita tahun 1995. Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita Republik Indonesia, 1996. Hal 73. Disadur dari Santi Kusumaningrum. 1999. Kekerasan domestik Sebagai Bentuk Viktimisasi Struktural dalam Rumah Tangga: Fenomena Kerentanan Istri Sebagai Korban. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Hal 8-9.

7 “KDRT, Kejahatan yang Tidak Terlaporkan”, dalam Info aktual Swara. Edisi No. 29, 19 Agustus 1999. disadur dari Santi Kusumaningrum. Ibid..

8 Koss, M. P.; Gidycz, C. A.; and Wisniewski, N. The scope of rape: incidence and prevalence of sexual aggression and victimization in a national sample of higher education students. J. Consult Clin. Psychology 1987; 55:162-170. lihat pula: Koss, M. P. The hidden rape victim: personality, attitudinal and situational characteristics. Psychology of Women Quarterly 1985;9:193-212. bandingkan dengan: Koss, M. P. Defending Date Rape. Journal of Interpersonal Violence 1992;7(1) 121-126.

6. Kilpatrick, D. G.; Best, C. L.; Veronen, L. J.; Amick, A. E.; Villeponteaux, L. A.; and Ruff, G. A. Mental health correlates of criminal victimization: A random community survey. Journal of Consulting and Clinical Psychology 1985; 53:866-873.

9Roberts, J. "Criminal Justice Processing of Sexual Assault Cases," Juristat: Service Bulletin. Ottawa: Canadian Centre for Justice Statistics (1994): vol. 14, no. 7: p.1.

10 Foshee, V.A.; Linder, G.F.; Bauman, K.E.; Langwick, S.A.; Arriaga, X.B.; Heath, J.L.; McMahon, P.M.; Bangdiwala, S. The Safe Dates Project: Theoretical Basis, Evaluation Design, and Selected Baseline Findings. Youth Violence Prevention: Description and baseline data from 13 evaluation projects (K. Powell; D. Hawkins, Eds.). American Journal of Preventive Medicine, Supplement, 1996; 12 (5):39-47.

11 Sugarman, D. B. and Hotaling, G. T. Op.cit.

12 Makepeace, J. M. Gender differences in courtship violence victimization . Family Relations1986;35:383-388. lihat pula: Makepeace, J. M. Life events, stress and courtship violence. Family Relations 1983;32:101-109.

13 Abbey, A.; Ross, L. T.; Mcduffie, D.; Mcauslan, P. Alcohol and dating risk factors for sexual assault among college women. Psychology of Women Quarterly 1996; 20(1)147-169.

14 Bachman, R; Saltzman, L.E. Violence Against Women: Estimates from the redesigned survey, Bureau of Justice Statistics, Special Report, U.S. Department of Justice, August 1995.

15 Abbey, A.; Ross, L. T.; Mcduffie, D.; Mcauslan, P. Alcohol and dating risk factors for sexual assault among college women. Psychology of Women Quarterly 1996; 20(1)147-169. lihat pula: Abbey, A. Acquaintance rape and alcohol consumption on college campuses: How are they linked? College Health. 1991; 39(January):165-169.

16 Nursyahbani Katjasungkana. 1996. “Sang Peleceh”. Gatra. 29 April. Hal. 9. Dikutip dari Rocky Sistarwanto. 1997. Pelecehan Seksual (Tinjauan Kriminologis Terhadap Aspek Perilaku dan Reaksi Terhadapnya). Skripsi. Jurusan Kriminologi. Tidak Diterbitkan. Hal 15.

17 “A rapist doesn’t need a knife or gun to persued his defenseless victim to submit to his desires” ..J.L. Barkas. 1978. Murder, Rape, Theft, Assault, Crime Doesn’t Discriminate, we Are All Victims. New York: charles Scribner’s Sons. Hal 111. Dikutip dari Rocky Sistarwanto. 1997. Pelecehan Seksual (Tinjauan Kriminologis Terhadap Aspek Perilaku dan Reaksi Terhadapnya). Skripsi. Jurusan Kriminologi. Tidak Diterbitkan. Hal 17.

18 Arif Gosita. 1985. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta: Akademika Pressindo. Hal. 44. Disadur dari Santi Kusumaningrum. Op.cit. Hal. 25.

19 Joanne Belknap.1996. The Invisible Woman: Gender, crime, and Justice . California: Wadsworth Publ.Co. Hal 170-171. Disadur dari Santi Kusumaningrum. Op.cit. Hal. 29.

20 ----------. 1978/1979. Kamus Istilah Sosiologi. Jakarta: Departemen sosiologi FIS-UI. Hal 103. Disadur dari Santi Kusumaningrum. Op.cit. Hal. 33.

21 Arif Gosita. 1993. Masalah Korban Kejahatan: Kumpulan Karangan. Jakarta : akademika Pressindo. Hal 46.

22 Sugarman, D. B. and Hotaling, G. T. Dating violence: prevalence, context and risk markers. In: Pirog-Good, M. A. and Stets, J. E. (Eds.) Violence in dating relationships. New York: Praeger; 1989:3-32.

23 Thorne-Finch, R. Ending the Silence: The Origins and Treatment of Male Violence Against Women. Toronto: University of Toronto Press, 1992, p.13.

24 Gary L. Hansen, Ph.D. Extension Specialist in Sociology, Cooperative Extension Service, University of Kentucky. available at http://www.nnfr.org/adolsex/fact/adolsex_viol.html

25 KBBI. Edisi Kedua. Cetakan Ke-7 1996. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta; Balai Pustaka. Hal. 711.

26 Ibid. Hal 1084.

27 Beberapa majalah untuk segmen ini diantaranya: Gadis, Kawanku, Cosmo Girls. Dan masih banyak lainnya.

28 Gary L. Hansen, Op.cit.

29 Sumber: FBI: Uniform Crime Report, Washington, D.C.; U.S. Goverment Printing Office, 1975:49;1985:43;1989:47;1991:50, disadur dari Voigt, Lydia et.al. Op.cit.

30 Sugarman, D. B. and Hotaling, G. T. Dating violence: prevalence, context and risk markers. In: Pirog-Good, M. A. and Stets, J. E. (Eds.) Violence in dating relationships. New York: Praeger; 1989:3-32.

31 Foshee, V.A. et.al. Op. Cit.

32 . Makepeace, J. M. Gender differences in courtship violence victimization . Family Relations1986;35:383-388. lihat pula Makepeace, J. M. Life events, stress and courtship violence. Family Relations 1983;32:101-109.

34 “Siapa Bilang dalam pacaran tidak ada kekerasan”. Lembar info, seri 23. Dapat dilihat di http://www.lbh-apik.or.id/fac-no.23.htm

35 Bachman, R; Saltzman, L.E. Violence Against Women: Estimates from the redesigned survey, Bureau of Justice Statistics, Special Report, U.S. Department of Justice, August 1995.

36 Gwartney-Gibbs, P. A.; Stockard, J.; and Bohmer, S. Learning courtship aggression: The influence of parents, peers and personal experiences. Family Relations1987; 36:276-282.

37 Makepeace, J. M. Social factor and victim-offender differences in courtship violence. Family Relations1987; 36:87-91.

38 Gray, H.M.; Foshee, V. Adolescent Dating Violence: Differences between one-sided and mutually violent profiles. Journal of Interpersonal Violence 1997;12(1)126-141.

39 Ibid.

40 Ageton, S. Sexual Assault Among Adolescents. Lexington, MA: Heath; 1983.


41 Kanin, E.J. Date rape: unofficial criminals and victims. Victimology: An International Journal 1984;9(1): 95-108. lihat pula Muehlenhard, C. L.; Linton, M. A. Date rape and sexual aggression in dating situations: Incidence and risk factors. J. Counseling Psychology 1987;34:186-196.

42 Gary L. Hansen. Op.Cit.

43 Gwartney-Gibbs, P. A.; Stockard, J.; and Bohmer, S. Learning courtship aggression: The influence of parents, peers and personal experiences. Family Relations1987; 36:276-282.

44 Makepeace, J. M., The severity of courtship violence and the effectiveness of individual precautions. Family Abuse and Its Consequences. New Directions in Research (Gerald T. Hotaling, David Finkelhor, John T. Kirkpatrick, Murray A. Straus, Eds.) 1988: 297-311.

1 komentar:

  1. Untuk pertama kalinya
    saya menemukan blog
    yg benar-benar ilmiah
    Luar biasa!
    GBu

    BalasHapus