Selasa, 06 April 2010

Syndrome Main Hakim Sendiri

Semakin tidak amankah kita? Pertanyaan ini mungkin tengah berkecamuk dalam pikiran kita hari-hariterakhir ini. Betapa tidak, pakar-pakar sering mengingatkan korelasi erat antara krisis ekonomi dengan kriminalitas. Meroketnya jumlah penduduk miskin (diperkirakan akhir tahun ini mencapai 118 juta jiwa), peningkatan pengangguran, merebaknya gelandangan dan pengemis serta WTS (naik sekitar 30% ), semakin ramainya anak jalanan (diperkirakan meningkat hingga 200% ), melambungnya masalah-masalah sosial, serta naiknya angka kejahatan begitu tegas dan sulit dibantah.

Kerawanan sosial, terutama problem kejahatan yang terus merugikan warga baik moril maupun materiil secara psikologis mendatangkan tekanan pada masyarakat. Pertanyaannya kemudian, sejauh mana upaya warga masyarakat dalam melindungl diri agar dapat diterima hukum ? Masalah inilah yang ingin penulis bahas berkaitan dengan tewasnya sembilan orang yang disangka kawanan pencuri sepeda motor oleh warga di Kecamatan Menganti, Gresik, Jawa Timur.

Peningkatan Kejahatan

Fenomena peningkatan kejahatan dapat kita lihat misalnya pada pencurian dengan pemberatan. Dibanding semester pertama tahun lalu yang dilaporkan sebanyak 20.260 kasus seluruh lndonesia. semester pertama tahun ini tercatat 24.567 kasus, atau meningkat21,15%. Sementara angka pencurian kendaraan bermotor ( curanmor ) meningkat dari 8.815 menjadi 9.817 kasus. Secara keseluruhan tingkat kriminalitas di Tanah Air hingga semester ini mengalami peningkatan dari 40.097 tahun lalu menjadi 46.325 kasus di tahun ini.

Data-data itu belum termasuk kasus kerusuhan 13-14 Mei lalu serta yang belakangan terjadi, yaitu penjarahan'tambak-tambak udang, perkebunan, tanah dan sebagainya. Semua peristiwa tadi memang dipaharni secara berbeda-beda oleh berbagai pihak. Eep Saifulloh Fatah, Dosen Fisip UI dalam tulisan Republik Para Bandit dengan mengutip studi dari Wobsbawm, Crumney, Perez dan Suhartono misalnya, melihat bahwa persoalan penjarahan itu tidak bisa semata-mata dilihat sebagai masalah kriminalitas an sich.

Berkaitan dengan peningkatan kriminalitas di negara kita, sangat relevan apabila yang mencuat adalah perasaan tertekan dan tidak aman akan kejahatan (fear of crime). Dalam minggu-minggu belakangan ini beredar kabar tentang meningkatnya bisnis senjata guna melindungi diri. Bahkan senjata berburu pun semakin ramai diminati pembeli pemula yang tidak pernah memegang senjata itu sebelumnya. Semua itu dilakukan untuk mengantisipasi merebaknya kejahatan tadi.

Main Hakim Sendiri

Aktivitas warga masyarakat dalam menanggapi fenomena kerawanan sosial memang mencakup banyak hal, seperti mempersenjatai diri, meningkatkan siskamling, ronda, membentengi pemukiman dengan tembok tinggi, membayar satuan pengaman dan lain-lain.

Di tengah suasana dan atmosfer seperti itulah kita mendapati sikap petugas keamanan yang mulai tegas terhadap penjarah, seperti terjadi di Tangerang beberapa waktu lalu serta sikap masyarakat dalam kasus tewasnya sembilan orang yang disangka kawanan pencuri sepeda motor oleh warga Desa Gading Watu dan Poteng, Kecamatan Menganti, Gresik, Jawa Timur (30/7).

Peristiwa ini tentu mengejutkan kita. Bagaimana tidak, hilangnya sembilan nyawa bukan jumlah yang sedikit. Mungkin korban-korban akibat keroyokan massal warga terhadap pelaku kejahatan yang tertangkap tangan sudah sering kita dengar, namun berita yang terakhir dengan korban sebanyak ini tidak pelak lagi menimbulkan pertanyaan. Apa yang sesungguhnya telah terjadi? Bagaimana sikap hukum pidana menghadapi kasus-kasus seperti ini? Bagaimana sesungguhnya response masyarakat menghadapi kejahatan di sekitarnya?

Pertanyaan terakhir itu secara ekstrem mungkin dapat dibagi ke dalam dua kelompok besar. Pertama sikap yang tidak responsif dalam mencegah terjadinya kejahatan dan timbulnya korban. Sikap ini dalam wacana hukum pidana dan kriminologi sering dicontohkan dengan kasus yang terkenal dari kota New York. yaitu, kasus penyerangan hingga tewas terhadap Kitty Genoves (28 tahun) yang terjadi di dekat apartemennya dengan saksi mata 38 warga sekitar tempat itu.

Sikap tidak responsif yang sering disebut Prof. Satjipto Rahardjo sebagai sindrom Kitty Genoves itu mungkin berkaitan dengan persepsi bahwa tugas keamanan adalah menjadi tugas polisi, bukan tugas warga yang telah lelah bekerja seharian dan ingin terlibat terlalu jauh dalam kasus seperti itu. Atau, keengganan warga untuk melapor kepada polisi saat itu, karena mereka tidak percaya kepada polisi.

Sebagai kebalikan dari sikap tidak responsif adalah tindakan responsif warga dalam menanggulangi kejahatan. Sikap ini memang sungguh tepat kita lakukan mengingat tanggung jawab sosial kita serta kurangnya jumlah personel polisi yang memang bertugas untuk itu. Namun, hal ini menjadi problem apabila tindakan yang dilakukan justru berlebihan, bahkan melanggar hak asasi orang lain.

Fenomena terakhir ini oleh Prof. Satjipto Rahardjo sering dicontohkan dengan istilah “ sindrom arakan bugil", yaitu tindakan warga masyarakat untuk menanggulangi kejahatan susila di daerahnya dengan mengarak tersangka pelaku keliling desa dalam keadaan bugil. Dalam konteks kasus Menganti, Gresik itu kita dapat pula menyebut “sindrom main hakim sendiri”.

Hukum Dalarn Bela Paksa

Dalam konteks pembicaraan ini kita melihat bagaimana ketentuan hukum pidana mengatur mengenai pembelaan diri seseorang menghadapi kejahatan yang menimpa. Apakah tewasnya sang tersangka dapat dijustiflkasi hukum ?

Pasal 49 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan, "Barang siapa melakukan perbuatan, yang terpaksa dilakukannya untuk mempertahankan dirinya atau diri orang lain, mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, dari serangan yang melawan hukum dan mengancam dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum”.

Sesuai dengan rumusan itu, pembelaan diri tidaK boleh melampaui batas yang ditentukan, kecuali apa yang ditetapkan dalam ayat (2) dari pasal yang sama, yang berbunyi, "Melampaui batas pertahan yang sangat perlu, jika perbuatan itu sekonyong-konyong dilakukan karena perasaan tergoncang dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum ". Pasal 49 KUHP mengatur mengenai apa yang dikenal dalam hukum pidana sebagai bela paksa (ayat 1) dan bela paksa lampau batas (ayat 2). Dengan menggunakan dasar penghapus pidana pada pasal itu, orang yang terpaksa melukai pencuri rnisalnya dapat tidak dipidana asa1 tindakan itu sesuai dengan unsur-unsur bela paksa tersebut.

R. Soesilo (1988) menyatakan bahwa orang dapat mengatakan bahwa dirinya dalam "keadaan darurat” dan tidak dapat dihukum itu harus dapat memenuhi tiga syarat. Pertama, perbuatan itu harus terpaksa untuk mempertahankan (membela). Pertahanan atau pembelaan itu haruslah amat perlu, boleh dikatakan tidak ada jalan lain. Harus ada keseimbangan antara pembelaan yang dilakukan dengan serangannya. Untuk membela kepentingan yang tidak berarti misalnya, orang tidak boleh membunuh atau melukai orang lain. Bila penyerang dapat dibuat tidak berdaya misalnya, berarti pembelaan dengan kekerasan itu tidak dapat dipandang sebagai bela paksa.

Kedua, pembelaan itu hanya dapat dilakukan terhadap kepentingan-kepentingan yang disebut dalam pasal 49 itu, yaitu badan, kehormatan (dalam arti seksual) dan barang diri sendiri maupun orang lain.

Ketiga, harus ada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan sekonyong-konyong atau ketika itu juga. Jika, misalnya seorang pencuri dan barangnya telah tertangkap, sehingga orang tidak boleh membela dengan memukuli pencuri itu, karena pada waktu itu sudah tidak ada serangan sama sekali dari pihak pencuri.

Aturan mengenai dasar penghapus pidana itu juga dikenal dalam hukum pidana negara-negara lain. Dengan aturan-aturan tersebut sebenarnya hukum pidana memberi suatu sarana normatif kebolehan seseorang membela diri dari suatu serangan yang melawan hukum atau suatu tindak pidana. Namun, tentu saja agar hal itu tidak dilakukan secara semena-mena dan melecehkan hukum serta hak asasi setiap orang, hukum pidana juga memberi batasan normatif dengan menyebut syarat-syaratnya.

Jadi, jika kita melihat semata-mata secara hukum positif an sich, sehingga sindrom main hakim sendiri yang ramai terjadi dan tidak jarang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang (yang mungkin saja bukan pelaku sesungguhnya), itu sudah tidak memenuhi ketentuan lagi.

Namun, persoalannya tentu tidak sesederhana itu, sebab kita juga perlu melihat lebih jauh pada akar persoalan di dalam kehidupan sosial masyarakat. Berbagai faktor eksternal juga berpengaruh. Misalnya kekurangberdayaan petugas dalam melumpuhkan aksi-aksi penjahat, ketidakmampuan sistem peradilan pidana menurunkan atau menekan angka kejahatan, kekurangefektifan lembaga peradilan dalam membuktikan kesalahan pelaku atau kekurangberhasilan lembaga pemasyarakatan dalam meresosialisasi.


1 komentar:

  1. dengan pasal mana masyarakat yang melakukan tindakan main hakim sendiri dapat dijerat?

    BalasHapus